Descargar la aplicación
15.76% Naara: Blind Sword / Chapter 29: Ch.28: Pintu Masuk Tanah Randa

Capítulo 29: Ch.28: Pintu Masuk Tanah Randa

Hah?

Niin baru saja membuka mata dan merasa terkejut juga bingung dengan keberadaannya sekarang. "Di mana ini?" Ia bangun lalu berdiri dan terpaku pada hamparan stalagmit di depannya juga aliran sungai yang begitu tenang nan jernih, pemandangan tersebut memiliki keindahan tersendiri, memberikan suasana dingin dan menenangkan pada tempat yang sepertinya adalah gua.

Selang lima detik ia disadarkan dengan sebuah pergerakan dari arah sebelah kanannya. Sekitar dua meter darinya, Naara sedang berdiri seperti patung, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Guru." Ia berjalan mendekat. "Ini di mana lalu yang lain?"

Tidak ada jawaban. Tanpa berkata apa-apa, Naara mulai berjalan dan seperti biasa Niin akan mengikutinya seperti ekor.

Berjam-jam sudah mereka berjalan melewati rute yang sangat rumit namun mereka belum juga menemukan ujung gua tersebut.

Kadang-kadang mereka harus naik turun, melompat bahkan tidak jarang harus memanjat semua itu karena susunan dan ukuran bebartuan yang tidak beraturan.

Napas Niin benar-benar sudah seperti cicak, ia sudah sangat kelelahan mengikuti langkah  kaki Naara yang lebar. "Guru ... hah ... hah ... bi-bisakah ... kita berhenti ... hah ... sebentar," ucapnya berhenti dengan napas terputus-putus tapi orang yang diajak bicara tidak menggubris sama sekali.

Melihat itu, Niin hanya bisa menarik napas sangat dalam sampai paru-parunya terasa penuh dengan oksigen kemudian melepasnya dengan kasar setelah itu ia berlari menyusul Naara.

Detik berganti ke menit dan menit berganti kembali ke jam, Niin yang berjalan di belakang Naara semakin kesulitan mengangkat kakinya dan mengikuti langkah jenjang Naara. "Guru ... hah ... tunggu  ... hah ...." Dengan sekuat tenaga ia berusaha agar tidak tertinggal namun kemudian ia tersadar akan sesuatu. Ia menengok kiri kanan bergantian dan merasa tidak asing dengan pemandangan di sekitar, entah cuma perasaannya atau mereka memang kembali ke tempat semula.

"Gu-Guru ki–"

Bruuk!

"Ah." Niin melangkah mundur sesaat setelah menabrak Naara yang berhenti mendadak.

"Sebenarnya yang buta di sini aku atau kau," sinis Naara.

"Ma-maaf ... tapi Guru  sepertinya kita kembali ke tempat awal." Niin melangkah untuk  berdiri di samping Naara sambil melihat aliran sungai dan memerhatikan setiap bentuk bebatuan yang ada di sana. Tidak salah lagi mereka kembali ke tempat awal mereka berjalan.

Naara tidak memberikan respon apa-apa, kalau bukan karena pergerakan kulit di pertengahan alisnya yang terlipat, Niin akan  berpikir kalau Naara tidak mendengarnya.

Niin mengedarkan pandangan dan sesuatu tiba-tiba memikat perhatiannya. Sekitar tujuh meter dari tempatnya berdiri, di celah dinding gua terdapat sebuah benda berwarna merah. "Apa itu?" Ia berjalan mendekat dan ditemukannya sebuah kotak merah, persis seperti kotak cincin tapi apa yang benda itu lakukan di gua? Karena penasaran, ia pun membukanya dan ....

AAAGH!

Kotak tersebut mengeluarkan cahaya putih yang sangat menyilaukan, karena kaget Niin langsung melemparnya.

Mendengar teriakan Niin, Naara  segera berlari menuju gadis itu. "Ada apa?"

Kotak itu masih memancarkan sinar lalu tidak lama samar-samar sebuah sosok terlihat di dalamnya.

"Lope."

"Hah?" Niin mengesot mundur.

Lalu ....

"Looope lope lope lope lope." Tawa tersebut adalah tawa dari  makhluk yang sosoknya  kini terlihat jelas bersamaan dengan menghilangnya sinar yang keluar dalam kotak.

"Ce-cebol!" Niin segera merangkak, berdiri dan berlindung di balik punggung Naara. Dari sana ia mengintip sosok di depan, seorang nenek gemuk yang tingginya sedikit lebih tinggi dari lutut, bergaun merah, berdandan glamor dan memiliki sepasang sayap kecil di punggungnya.

"Sembarangan kau menyebutku cebol." Sepasang kaki bersepatu merah sosok tersebut melangkah mendekat.

Niin langsung menyembunyikan kepalanya di balik punggung Naara.

"Siapa kau?" dingin Naara.

"Aku Nenek Lope. Heum." Sosok tersebut mengamati Naara dari bawah sampai atas.

*

Reen berdiri di padang rumput terbuka, menatap bunga-bunga merah dan putih yang mekar di bawah pohon. Saat melihat bunga yang berwarna merah ia teringat dengan Naara.

"Mereka cantik sekalikan?" Suara tersebut berasal dari gadis berambut merah muda yang baru saja berdiri di sampingnya.

"Hm." Reen hanya memberi satu anggukan pelan tanpa mengalihkan pandangan sama sekali.

"Ada apa?" tanya Naena menyadari ekspresi Reen yang seperti sedang memikirkan sesuatu.

Reen tidak langsung menjawab, baru setelah lima detik berselang ia membuka suara. "Aku tidak tahu kenapa tapi ... Naena." Ia beralih menghadap pada lawan bicaranya.

Naena terlihat serius  mendengarkan.

"Naara ... tidak tahu kenapa saat bersama Naara aku merasakan perasaan aneh tapi aku tidak tahu apa. Naena, menurutmu apa mungkin dulu aku dan Naara saling mengenal? Kenapa aku–" Reen berucap sambil memegangi kepalanya namun ucapannya terpotong saat tangan yang memegang kepalanya dipegang lalu diturunkan Naena.

"Jangan memaksakan diri, Reen," ucap gadis itu.

"Tapi–" Lagi-lagi ucapan Reen terpotong saat melihat tatapan Naena menajam. "Maaf, aku tidak bermaksud." Ia melihat Naena dengan sedih lalu beralih melihat bintang.

"Maaf." Kali ini kata itu tiba-tiba terucap oleh Naena sebelum ia berlari meninggalkan Reen dengan mata berkaca-kaca.

"Naena! Tu-tunggu ada apa?!" Reen berlari mengejar.

"Naena berhenti! Ada apa?" Reen berhasil meraih tangan gadis itu dan terkejut saat melihat Naena menangis. "Naena .... ada apa?"

Dengan kepala tertunduk Naena meminta maaf dan mengutarakan ketakutannya selama ini. " ... aku tahu ini buruk tapi aku tidak ingin kalau kau mengingat masa lalumu, aku takut setelah kau ingat kau berubah, aku takut kalau kau meninggalkanku." Ia mengangkat kepala dan seketika itu juga matanya bertemu dengan mata Reen yang sedang menatapnya.

Reen, ia menarik senyum tipis sementara satu tangannya bergerak untuk menghapus beberapa air mata di wajah mulus Naena.

Dengan tangan yang memegang pipi Naena ia meyakinkan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi. " ... aku hanya ingin tahu siapa keluargaku, apa mereka mencariku, mereka masih ada atau tidak? Apapun itu, Naena, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, jadi jangan khawatir."

"Reen ...."

Kunang-kunang bermunculan dari sela-sela dedaunan, terbang lambat di sekitar mereka, perlahan tangan Reen yang masih memegang tangan Naena, menarik dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya.

Langit berbintang, bunga-bunga dan kunang-kunang, alam punya caranya sendiri dalam menciptakan suasana romantis.

*

"Hey, apa yang kau lakukan?! Turunkan aku dasar tidak sopan!"

"Gu-Guru lepaskan dia, kalau dia mati kita bisa terjebak di sini selamanya."

Naara sedang mencekik dan mengangkat tubuh Nenek  Lope setinggi yang ia bisa. Naara melakukannya bukan tanpa alasan melainkan ia naik pitam saat Nenek Lope menuturkan bahwa untuk keluar dari gua, ia dan Niin harus menikah.

Gua tersebut merupakan pintu masuk menuju Tanah Randa, tanah misterius yang letaknya tidak bisa dipastikan. Bisa dibilang hanya orang-orang apes atau paling sial saja yang bisa menemukannya.

Nenek Lope menuturkan lagi kalau mereka yang sudah masuk ke gua tersebut tidak akan bisa keluar kecuali mengikuti prosedur dari  pemegang kunci yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nenek Lope.

Kotak merah tadi adalah kunci gua, saat kotak dibuka maka Nenek Lope akan muncul sebagai pembimbing jalan menuju Tanah Randa dan pintu keluar karena kebetulan pintu masuk dan pintu keluar tanah tersebut berbeda.

Adapun prosedur yang berlaku adalah apabila seseorang tiba di gua dan membuka kotak maka untuk masuk ke Tanah Randa serta keluar darinya maka orang tersebut akan diberi sebuah cincin dan harus jadi pembantu Nenek Lope selama sebulan, jika dua orang dengan dua jenis berbeda maka mereka akan diberi cincin pernikahan yang berarti mereka harus menikah, jika dua orang dengan jenis sama maka mereka akan diberi cincin persahabatan, jika lebih dari dua mereka akan diberi cincin persahabatan dan kekeluargaan.

"Kau bisa menghidupkannya lagi," ucap Naara mengencangkan cekikannya sambil terus bertanya dingin bagaimana cara untuk keluar dari tempat tersebut. Menurutnya semua  prosedur itu hanya akal-akalan Nenek Lope saja.

Mendengar itu sesaat Niin terdiam karena Naara berucap seolah itu adalah hal mudah padahal untuk menghidupkan orang butuh banyak darah dan hal tersebut memiliki efek samping yang sangat buruk baginya. Setelah terdiam ia berusaha membujuk Naara supaya melepaskan Nenek Lope.

Ia berbisik pada Naara, meminta agar membiarkannya bernegosiasi pada Nenek Lope.

Naara yang tidak pernah percaya pada Niin langsung menolak namun saat Niin berusaha membuatnya mengerti kalau hanya Nenek Lope yang bisa membantu mereka keluar dari tempat itu jika dia dibunuh maka mereka bisa terjebak di sana lebih lama. Setelah terlihat menimbang-nimbang Naara akhirnya melepaskan Nenek Lope dan pergi menjauh lalu duduk di sebuah bongkahan batu.

Ukhuk ... ukhuk ... ukhuk ....

Nenek Lope terbatuk-batuk, ia merasa nyawanya akan tercabut.

Niin bertanya bagaimana keadaan nenek dan meminta maaf atas nama Naara.

Nenek Lope yang diperlakukan seperti itu tentu saja marah bahkan ia memutuskan tidak akan membantu mereka keluar dari gua namun setelah dibujuk dengan susah payah oleh Niin akhirnya kemarahannya mereda.

Waktu terus berjalan, setelah meminta maaf, Niin mulai bernegosiasi. " ... Ne-Nenek, bagaimana kalau nenek memberikan kami cincin persahabatan atau pertemananan saja, ma-maksudku kami ini guru dan murid jadi tidak bisa menikah."

"Tidak bisa kenapa? Apa masalahnya dengan guru dan murid, huh, dan lagi pria dan wanita itu tidak bisa berteman. Kalau kalian mau keluar kalian harus mau menikah kalau tidak mau terserah, itu adalah prosedurnya," jelas Nenek Lope sambil bersedekap.

'Bagaimana ini?' Niin melirik Naara, sekarang ia bingung harus apa.

"Kalau tidak mau aku pergi saja."

"Tu-tunggu tunggu, baik kami akan menikah!"


REFLEXIONES DE LOS CREADORES
Ogi_457 Ogi_457

terima kasih sudah membaca :")

jika berkenan jangan lupa tinggalkan jejak ^^

Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C29
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión