Keesokan harinya, Rava kembali mengerjakan orderan ilustrasi. Namun, sejak bangun tadi sampai sekarang hari sudah siang, dirinya tak bisa konsentrasi. Wajahnya juga seperti terus dihinggapi hawa panas. Mengerjakan bagian-bagian tubuh karakter yang dibuatnya saja sampai harus mengulangi berkali-kali.
Bagaimana tidak, perempuan bule itu kembali ke kamarnya, duduk bersimpuh di titik yang sama seperti kemarin. Keberadaan sosok berbentuk manusia yang mengaku dari dunia lain itu saja sudah mengganggu pikiran Rava. Kali ini ditambah dengan pakaiannya. Ya, Lyra kini memang mengenakan baju bebas, bukan lagi busana perang absurd seperti kemarin. Namun, bagi Rava itu malah semakin parah.
Baju yang dipakai Lyra adalah bekas milik kakak Rava yang kini tinggal di luar pulau. Ukuran dada Lyra jauh lebih besar dari dada kakak Rava. Kaus yang dipakai jadi begitu ketat di bagian itu. Terlalu ketat, sampai bagian tengahnya terlihat agak menonjol. Jelas sekali dia tidak memakai bra.
Itu baru satu yang mengganggu pikiran Rava.
"Lyra." Akhirnya Rava berani menyebut nama wanita itu. "Celana kakakku kan banyak. Kenapa harus pakai yang itu?"
Sedari tadi, Rava menyiapkan mental untuk menanyakan hal tersebut. Celana yang dipakai Lyra sekarang adalah hadiah dari mantan pacar kakak Rava. Mantan pacar yang mesum. Kakak Rava tak pernah memakai celana itu sama sekali. Entah mendapat ilham dari mana sang mantan memberikan pakaian seronok seperti itu: semacam hot pants, tetapi pendeknya di luar nalar. Sebagian pantat siapa pun yang memakainya akan terekspos.
Sampai-sampai tadi Rava kaget bukan kepalang, mengira Lyra hanya memakai celana dalam saja untuk bawahan.
"Tidak ada yang muat. Lagipula aku nyaman memakai ini," jawab Lyra lugas.
Nyaman? Apa malah tidak kedinginan? Tidak risih terkena angin? Kalau Rava kedinginan saja, bulu-bulu tipis di kakinya akan berdiri. Dengan celana seperti itu, apa bulu kaki Lyra …. Memangnya wanita bule itu punya bulu kaki?
"Argh!" Karena pikirannya makin kacau, Rava beranjak dari duduknya. "Aku lapar. Kamu juga lapar, kan? Dari tadi kita belum makan. Ibu lagi pergi dan nggak masak. Kamu tunggu sini aja, jangan pergi-pergi …. Eh, boleh pergi, tapi kalau mau pipis doang …. Duh, omonganku jadi belibet. Pokoknya jangan ikuti aku."
Tak menunggu jawaban dari si gadis bule, Rava pergi ke dapur, meraih tiga bungkus mie instan goreng untuk dimakan berdua. Ia pun bisa menghela napas lega karena sudah jauh dengan perempuan itu. Bukan berarti dia tidak menyukai keindahan, tetapi kalau ditaruh di depannya langsung seperti ini, jantungnya tidak kuat juga.
Namun, ketenangan Rava hanya berlangsung sebentar saja. begitu mienya matang, dia menghela napas, membagi mie itu ke dalam dua piring. Dia akhirnya harus kembali ke perempuan yang membuat jantungnya terus berolahraga itu.
"Ini." Setibanya di kamar, Rava menyodorkan satu piring mie goreng kepada Lyra. Rava bisa menangkap sedikit perubahan ekspresi di wajah perempuan itu. Dari kemarin, Lyra hanya menunjukkan mimik kaku, tatapan matanya tajam dan mulutnya tak pernah tersenyum. Kali ini kedua alisnya sedikit mengedik.
"Maaf, nggak ada tambahan lainnya. Kami cuma punya ini," lanjut Rava, duduk di kasur tipisnya yang digelar begitu saja di lantai.
Sadar dirinya cukup dekat dengan perempuan berkulit mulus itu, Rava buru-buru mengubah posisi duduknya ke arah lain.
Lyra memperhatikan cara Rava makan dengan garpu, kemudian menirunya. Begitu makanan itu tiba di mulutnya, Lyra sedikit membelalakan mata. "Ini .... Enak sekali."
Rava melirik perempuan itu dan langsung melotot. Bagaimana bisa mata Lyra berkaca-kaca oleh makanan sejuta umat seperti ini?
"Ah, itu karena sebuah bahan ajaib," ceplos Rava seenaknya.
Napas Lyra tertahan. "Bahan ajaib? Apa berarti ini makanan mahal?"
"Bukan, semua orang bisa mengaksesnya dengan mudah. Tapi, bahan ini bisa bikin ketagihan dan katanya kalau kebanyakan bisa bikin penyakit. Bahan ini menurutku adalah salah satu penemuan paling hebat dalam sejarah umat manusia. The amazing .... The greatest .... The culinary revolution ...." Rava menyeruput mienya, lalu berbicara dengan mulut penuh. "The micin. The Mighty MSG."
Yang terdengar selanjutnya hanyalah denting peralatan makan yang beradu dengan piring. Rava menyesal telah memilih duduk terlalu dekat dengan Lyra. Rasa canggung yang muncul betul-betul menyiksanya. Mau pindah, dia merasa tidak enak juga.
"Umur kamu berapa, Rava?" Akhirnya Lyra membuka pembicaraan.
Kedua alis Rava langsung menaut. "18 tahun. Memangnya kenapa?"
"Di dunia ini, seharusnya orang seumuran kamu masuk sekolah, kan?"
"Iya ...." Rava menelan ludah. Dadanya seolah ditekan kuat-kuat. "Harusnya seperti itu, tapi .... Ah, aku nggak mau ngomongin itu. Maaf."
"Jadi, kamu mengisi hari-hari dengan melukis? Kamu menyukainya?"
"Aah. Iya, bisa dibilang begitu. Ini juga pekerjaanku. Aku membuat gambar dari pesanan orang. Yah, hasilnya nggak banyak, sih. Sekedar buat bantu-bantu ibu, bayar internet, sama jajan. Walaupun tablet gambar dan komputer itu bekas punya saudara, yang penting masih bisa dipakai."
Lyra menaruh piringnya yang sudah bersih ke lantai. "Apa kamu tidak mau lebih sukses dalam menggambar. Dengan menang pertarungan antar bidadari ini ...."
"Aku tidak tahu apa konsekuensinya nanti," sela Rava yang masih makan. "Maaf, tapi aku nggak bakal termakan janji manis kalian. Bisa saja, setelah mendapatkan keinginanku, aku harus membayar lebih. Terus, bagaimana bisa aku tahu kalau semua ini bukanlah siasat biar aku ngebantu kalian?
"Tapi ...."
"Aku sedang dalam tahap negosiasi menjadi ilustrator komik di sebuah platform besar. Impianku sebentar lagi tercapai," potong Rava lagi, memasukkan suapan terakhirnya ke mulut, kemudian menata piring.
Lyra sedikit menghela napas. "Baiklah, hari ini aku tidak akan terlalu memaksamu, tapi jangan anggap aku sudah menyerah."
"Terserah." Rava bangkit, hendak menuju dapur.
"Tapi sebelumnya .... Aku mau minta tolong."
Rava menghentikan langkahnya, mengerutkan kening ketika melihat Lyra memalingkan muka. Nada bicara perempuan itu juga terdengar agak aneh.
"Ajari aku mandi," lirih Lyra.
"Haaaaah!?" Jantung Rava seperti mau meledak. Otaknya kembali berpikir liar. Mengajari mandi? Memangnya Lyra bayi yang belum bisa mandi sendiri? Apa berarti Lyra mengajak dirinya masuk ke kamar mandi bersamanya? Mau bugil bersama? Otak perempuan ini sudah konslet, ya? Namun, tak perlu waktu lama sampai mulut Rava membentu kata "ooh" tanpa suara.
Sepertinya, tidak ada gayung di dunia asal Lyra. Barangkali, di sana pun bentuk handuk, sabun, dan samponya juga berbeda.
***
Percuma. Rava tetap tak bisa konsentrasi karena sosok Lyra sudah begitu menempel di otaknya. Dia sampai salah menggambar kaki perempuan di tokoh lelaki, membuatnya menjadi sesuatu yang super aneh. Badannya berotot, tetapi kakinya begitu feminim. Seharusnya, dia sudah mengirimkan sketsa ke pengorder sedari tadi untuk di-review, tetapi kalau seperti ini lama-lama dia bakal kena semprot karena telat.
"Rava!" Lyra membuka pintu kamar dengan begitu keras, sampai membuat Rava tersentak hebat.
"Apa, sih!? Bikin kaget aja!" umpat Rava. Melihat Lyra sudah mengenakan baju perang padahal rambutnya masih basah bekas mandi, Rava menghela napas. Pemuda itu menunjukkan ekspresi lelah, seperti habis berlari marathon. "Coba kutebak, kamu bakal bertarung melawan bidadari lain, kan? Sudah kubilang, aku nggak mau."
Piv yang entah muncul dari mana melompat ke pundak Lyra. "Ini bukan masalah bertarung antar bidadari saja. Ada kemunculan monster juga. Kamu pasti sudah baca berita tentang kerusakan-kerusakan yang tidak jelas sebabnya, kan? Itu sebenarnya ulah para monster. Ada pihak yang tidak suka dengan pemilihan ratu ini, sehingga mengirimkan monster-monster itu. Terlalu panjang kalau dijelaskan. Yang perlu kamu tahu, pihak ini sangat membenci pemerintahan kami."
"Monster?" Mata Rava membelalak lebar. "Monster katamu? Apa kalian nggak mempertimbangkan demokrasi saja untuk memilih pemimpin? Sistem yang menggunakan suara terbanyak dari rakyat untuk memilih pemimpin, kalian tidak pernah mendengar hal itu? Biar kalian tidak didatangi sama monster! Dari dulu, negaraku menggunakan sistem demokrasi, dan nggak pernah didatengin monster!"
Piv mengerjap-ngerjapkan matanya. "Walaupun kami memilih pemimpin dengan cara itu, sepertinya monster-monster itu bakal tetap dikirim. Ini bukan masalah sistemnya, tetapi siapa musuhnya. Umat manusia tidak punya musuh yang bisa mengirim monster."
"Iya juga, sih." Rava ikut mengerjap-ngerjapkan mata. "Kok, omonganku jadi nggak nyambung ...."
"Bukan saatnya membicarakan hal seperti itu," sela Lyra. Nada bicaranya sedikit tinggi. "Rava, ini masalah nyawa manusia. Jadi, ikutlah denganku."
Lyra tiba-tiba berjongkok dengan membelakangi Rava, menunjukkan punggung mulusnya yang terbuka.
Rava lagi-lagi cuma melongo. "Kamu lagi ngapain?"
Lyra menoleh kepada tuannya. "Aku akan menggendongmu ke lokasi. Bakal lebih cepat. Kemampuan fisik kami jauh di atas manusia biasa."
Bukannya naik ke punggung Lyra, Rava memilih untuk balas memunggungi sang bidadari. "Apakah ada bidadari lain di sana?"
"Ada, dan kemungkinan besar mereka akan membantu melawan monster. Monster-monster itu adalah musuh bersama para bidadari," jawab Piv.
"Kalau begitu biarkan mereka melawannya," timpal Rava dingin.
Piv melompat, berpindah ke pundak Rava. "Tapi, melawan monster juga akan dihitung untuk bisa membuka kunci kekuatan. Semakin banyak Lyra membunuh monster, semakin dekat dia ...."
"Sekali nggak, tetap nggak."
"Apa tuanku sepengecut ini?" serang Lyra datar, baru saja bangkit. "Sudah kubilang, ini tidak melulu tentang pertarungan antar bidadari ...."
"Aku nggak peduli dibilang pengecut!" potong Rava ketus. "Kalau masih mau bertarung, pergi saja sendiri!"
Lyra menggelengkan kepada tak percaya. "Tidak bisa, Rava. Tanpa kamu di sisiku, kekuatanku akan menurun drastis. Keberadaan dirimu akan membuat penggunaan energi di tubuhku akan lebih efisien."
Kedua tangan Rava tergenggam begitu erat. "Ya, mungkin monster itu akan membunuh banyak orang. Tapi, itu berarti, kalau aku berada di sana, nyawaku juga terancam, kan? Denger, kalau aku mati, ibuku bakal sendirian. Kakakku dulu kabur dari rumah dan nggak pernah balik lagi. Terserah kalian mau anggap itu cuma alasanku buat lari. Terserah. Sekali lagi, aku nggak peduli."
Melihat Rava yang kembali melukis walau dengan tangan bergetar, Lyra memegangi keningnya, meski ekspresinya masih belum berubah.
"Maaf, tapi aku terpaksa melakukan ini." Lyra maju dengan cepat, bergegas membopong tubuh Rava di depan, layaknya seorang pangeran membopong tuan putrinya. Setelah itu, sang bidadari keluar dari kamar dengan langkah cepat.
"Hei, kamu ngapain! Lepas ...." Tentu saja Rava berontak. Namun, setelah entah bagaimana sikutnya menyenggol bagian samping dada Lyra yang menyembul, ia langsung mamatung dengan mulut rapat. Apa yang dirasakan sikutnya seolah mengalirkan listrik ke seluruh tubuhnya, memicu otaknya berhenti bekerja, menghantarkan hawa panas ke wajahnya.
"Tutup pintunya," pinta Lyra saat mereka baru keluar dari pintu belakang.
Dan anehnya, Rava refleks melakukan apa yang diperintahkan. Dia sendiri tak tahu mengapa bisa begitu.
"Pegangan," lanjut Lyra, langsung melompat tinggi.
"AAAAAAA!!!!!" pekik Rava ketika melihat atap rumahnya menjauh.
Lyra melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya, membelah udara siang itu.
"Dengarkan aku!" seru Lyra, melawan desauan angin. "Aku akan menerangkan hal-hal yang perlu kamu ketahui."
Untuk chapter ini nggak ada ilustrasi karakter. Chapter selanjutnya kalian bisa ngeliat gambar mbak-mbak petarung lagi. Hehe.