Pagi ini korden putih seakan menjadi saksi. Jika kini putih sudah tidak suci lagi. Semua telah berubah hanya dengan satu malam, berubah dengan cara yang menyakitkan. Deruan suara kipas angin seolah merintih, memaksa indera pendengaran yang enggan mendengar apa pun terlarut dalam perih. Bahkan, secercah cahaya mentari yang mengintip di sela-sela jendela, tampak mengejek begitu nyata.
Dan Dinda masih di sini. Memeluk tubuhnya sendiri dalam kesakitan yang tak bertepi. Dinda masih di sini, terbenam dengan isakan yang enggan berhenti. Dinda, tidak akan pernah bisa tersenyum lagi.
Seharusnya malam itu dia tidak pergi, menuruti ajakan teman-temannya untuk menghadiri pesta ulang tahun Panji. Karena pada akhirnya, delapan belas tahun itu akan dilalui dengan sesakit ini.
Dia ingat dengan jelas saat bagaimana percakapan menyedihkannya dengan sang pacar setelah kejadian menjijikkan itu. Dengan enteng, pacarnya menggap kejadian sebesar ini adalah angin lalu.
"Semuanya akan berakhir dengan sangat mudah, Jeng,"
Dinda bangkit dari duduknya, saat mendengar suara dengan nada tinggi itu dari luar. Suara dengan bahasa sangat baku, seolah menggambarkan jika suasana di sana sangat menegangkan.
Dinda masih berdiri di balik pintu kamarnya, memandang dengan seksama dari ujung matanya ada beberapa sosok yang ia kenal. Orangtua Panji, dan juga orangtuanya. Bersitegang karena kesalahannya.
Dinda masih ingat dengan jelas, bagaimana marah ayahnya saat mengetahui ini semua. Bahkan, ia sempat akan diusir dari rumah dan tak dianggap sebagai anak. Untunglah ia masih memiliki Ibu yang mengasihaninya, berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan keadilan atasnya. Mulai dari beberapa kali mendatangi rumah keluarga Panji tapi selalu diabaikan, kemudian mencoba melaporkan masalah ini ke kantor polisi. Namun sayang, musuh dari kebenaran yang dibawa oleh orang miskin adalah uang. Hingga akhirnya, apa yang diusakan sepenuh tenaga oleh orangtua Dinda hanyalah sia-sia belaka.
"Anak Ibu telah menghancurkan masa depan anak saya. Lalu, Ibu berkata seperti itu, Bu? Apa Ibu tidak pernah berpikir bagaimana masa depan anak saya? Bahkan, saya sendiri sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib anak saya setelah ini," jerit Nina—Ibu Dinda frustasi.
Dia berulang kali memukul-mukul dadanya dengan sangat keras. Sambil terisak karena sudah tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
"Lho, kok jadi putra saya yang salah, Jeng? Bukankah dua tahun terakhir ini mereka pacaran, kan?" kata Anggun—Mama Panji tidak terima.
Ternyata, pertemuan yang dibuat oleh keluarga Panji ini pun tak menghasilkan apa pun. Sebab bagi keluarga kaya itu, keluarga miskin adalah keluarga yang pantas dipandang sebelah mata.
"Kalau suka sama suka ya tidak bisa menyalahkan anak saya, dong. Itu anak Jeng Nina, kalau tidak merayu anak saya, mana mungkin, sih, bisa sampai terjadi seperti ini, Jeng. Yang harusnya disalahkan itu anakmu itu! Anak perempuan kok bisa-bisanya tidak tahu diri!" sindir Anggun.
Dinda melihat ibunya diam membisu. Dinda yakin, jika ibunya telah membuang semua harga diri, dan malu karena ulahnya. Dan itu berhasil membuatnya semakin merasa bersalah.
"Ya sudah, tidak perlu berdebat seperti ini. Saya punya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai orangtua Panji, tidak akan pergi dari tanggung jawab. Tapi biar bagaimana pun, kami akan bertanggung jawab dengan cara kami sendiri...," kata Agung—Papa dari Panji. "Saya akan memindahkan Dinda ke salah satu SMA terbaik yang mungkin letaknya agak jauh dari tempat ini. Agar semua hal-hal buruk yang mungkin nanti akan terjadi bisa segera diantisipasi. Kalian tidak perlu khawatir mengenai biayanya. Kami akan menanggungnya sampai nanti Dinda lulus SMA. Satu lagi, kami jamin tidak akan ada yang tahu masalah ini selain keluarga kita. Oleh sebab itu, Dinda bisa melanjutkan hidupnya, dan anak kami bisa melanjutkan hidupnya juga tanpa beban dari kalian. Bagaimana?"
"Anda pikir—"
"Saya bersedia!"
Dinda tersentak dengan jawaban ayahnya yang memotong ucapan ibunya. Dinda bisa melihat dengan jelas, jika wajah ibunya kini sedang memandang ayahnya tanpa kata-kata.
"Pak, Bapak ini bagaimana—"
"Mau bagaimana lagi, Buk? Memangnya dengan Ibuk ngotot atas kebenaran-kebenaran ini, anak Ibuk itu akan bisa kembali seperti dulu lagi? Biar bagaimanapun, apa yang dilakukannya ini sudah fatal, Buk. Dan hanya ini cara satu-satunya untuk mengatasi semuanya! Bapak sudah angkat tangan, Bapak sudah nggak mau lagi membahas dan mendapat penolakan dari Ibuk!"
Dinda melihat, ibunya berlari masuk ke dalam kamar. Sementara ayahnya, telah sibuk dengan beberapa dokumen yang telah dibawa oleh orangtua Panji. Untuk kemudian, mereka saling berjabat tangan menandakan jika perjanjian itu telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Lagi, Dinda hanya bisa menangis. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa pun. Menolak pun tak mungkin, sebab masih diizinkan tinggal di rumah ini oleh ayahnya, Dinda sudah merasa bersyukur.
*****
Dan, setelah kedatangan orangtua Panji ke rumahnya. Kurang lebih seminggu, Dinda akhirnya benar-benar dipindahkan di salah satu SMA terfavorit di kotanya. Meski memang jarak antara sekolah, dan rumahnya terbilang cukup jauh. Oleh sabab itu ayahnya mengambil keputusan jika ia harus tinggal di kos-kosan. Alasan yang cukup klise untuk mengusir anak perempuannya dari rumah, karena dengan tinggal di kos yang bisa ditempuh jalan kaki menuju sekolah akan lebih baik, dari pada harus pulang—pergi dari rumah yang memakan waktu kurang lebih dua jam.
Lagi, Dinda menghela napas panjang. Tanpa bantahan, tanpa ucapan. Dia terus menjalani apa yang telah ayahnya perintahkan. Bahkan ibunya sempat beberapa kali mencoba membantah tapi hal itu berakhir mentah. Yang bisa ibunya lakukan hanyalah, menangisi kepergian Dinda. Semua rasa khawatir, dan cemas karena pisah jauh dengan anaknya selama kurang lebih satu tahun setengah benar-benar membuatnya resah. Jika bersamanya saja ada cowok jahat yang berhasil menyakiti putri kecilnya, lalu bagaimana saat jauh darinya.
Tapi, lagi-lagi Ibu Dinda tak bisa berbuat banyak. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberikan secuil doa. Dari sayatan-sayatan hatinya yang kini telah terluka.
"Di sini kos-kosan putri. Namun demikian, kalau ada temanmu yang berkunjung diperbolehkan, kok, Dik. Tapi waktunya dibatasi. Mayoritas anak-anak dari SMA Airlangga kos di sini. Dan tentu, sebagian lainnya para pekerja juga mahasiswa. Kamu tahu kan, tempat ini strategis, makanya Ibu membuat beberapa tempat kos di sini," jelas pemilik kos kepada Dinda. Sambil mengajak Dinda menuju ke kamarnya.
Tempat kos di sini terbilang dalam kawasan yang cukup elit. Rupanya, orangtua Panji menganggap pemberian semua ini lebih dari setimpal untuk membayar harga diri Dinda. Tapi, Dinda tidak membantah, sebab rasa dendam dan sakit telah mematikan hatinya.
Dinda memandang tempat kos itu, setelah gerbang depan, ada sebuah pos satpam. Untuk kemudian, ada taman di tengah-tengah bangunan yang berisikan kamar-kamar berlantai dua. Di sisi kanan ada sebuah ruangan besar, seperti ruang tamu, setelahnya dapur, dan kamar mandi di luar. Meski kata Ibu kos, di dalam kamar juga disediakan kamar mandi masing-masing.
"Ini kamarmu, ya, Dik. Dan ini kuncinya, di sana kamu ada satu teman lagi. Saat ini dia sedang sekolah, sekolahnya sama dengan sekolahmu, kok. Semoga kamu betah ya, Dik. Ibu tinggal dulu," kata Ibu kos lagi, memberikan sebuah kunci kepada Dinda.
Ambar nama Ibu kos itu, usianya memang tidak terlalu pantas dipanggil dengan Ibu. Akan tetapi, Dinda lebih nyaman jika menyebutnya seperti itu.