BAB 3
Jakarta, 13 Agustus 2011
Suasana riuh dalam auditorium gedung serba guna seketika mencapai puncak. Tim-tim naga yang mengikuti turnamen nasional se-Indonesia pada hari itu tampak mulai memasuki lapangan pertandingan satu per satu. Masing-masing pendukung memberi semangat pada tim dan daerah masing-masing. Waktu itu, Sumatera Utara tentu saja diwakili oleh dua tim – tim Solidaritas Abadi dan tim Gagak Hitam. Memang sudah menjadi rahasia umum kedua tim ini selalu bersaing tiada henti dan akhirnya hari ini kedua-duanya berhasil mewakili Sumatera Utara masuk ke babak final turnamen atraksi naga se-Indonesia di Jakarta.
"Lihat, Bang Rendy… Tiga bersaudara Makmur langsung disambut dengan keriuhan dari gadis-gadis muda, yang menurutku datang ke sini bukan untuk menonton pertandingan, melainkan untuk melihat dan menikmati ketampanan mereka saja," kata Ahmad Sentosa kepada Rendy Ibrahim yang duduk di sampingnya.
"Soal muka, okelah… Aku mengaku kalah… Tapi, soal atraksi naga, belum tentu. Kita lihat saja nanti… Tim Gagak Hitam yang akan juara satu pada pagi hari ini," kata Rendy Ibrahim dengan sebersit senyuman sinis pada wajahnya.
Rendy Ibrahim mencibir sembari mendelik tajam ke tim Solidaritas Abadi yang baru saja melangkah masuk ke lapangan pertandingan. Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh masih membahana di sekeliling arena pertandingan. Sesekali ada beberapa teriakan gadis-gadis muda yang memanggil-manggil nama Erick Vildy, Erwie Vincent, dan Erdie Vio.
Erick Vildy tetap cool dan menata barang-barang mereka. Tampak Erdie Vio yang melambai-lambaikan tangan kepada para hadirin. Lambaian tangannya disambut dengan kericuhan yang lebih intens dari gadis-gadis muda tersebut. Erwie Vincent hanya tersenyum-senyum hangat ketika namanya berkali-kali dipanggil oleh gadis-gadis muda tersebut.
"Kurang kerjaan deh, Die.." kata Erick Vildy sedikit geli, "semakin kau melambai-lambaikan tanganmu kepada gadis-gadis muda itu, ributnya itu akan semakin mengerikan."
Erdie Vio tergelak, "Ya namanya aku melambai-lambaikan tangan pada para penggemarku. Aku sungguh tidak menyangka nama kita akan harum sampai di Jakarta sini. Sebagai rasa terima kasihku pada para penggemarku yang sudah bersusah payah datang ke sini, aku melambai-lambaikan tangan loh…"
"Yah kan tim kita sudah berkali-kali mengikuti turnamen nasional, Bang Erdie," kata salah satu anggota tim Solidaritas Abadi. "Beberapa kali juga kita masuk tiga besar. Setiap kali kita menang, kan Abang bertiga yang diwawancarai, masuk TV dan masuk majalah."
"Tentu dong…" kata Erdie Vio dengan tingkat kepercayaan dirinya yang memang paling tinggi di antara ketiga bersaudara Makmur, "Kan kami bertiga yang paling ganteng, jelas kami bertigalah yang dicari oleh para wartawan, apalagi para wartawati."
Semua anggota tim Solidaritas Abadi meledak dalam tawa.
"Tolong ya, Die… PD-mu itu… Tinggi banget…" kata Erick Vildy juga meledak dalam tawa.
"Mudah-mudahan kali ini kita bisa juara satu," tukas Erwie Vincent, masih dengan mimik wajahnya yang tenang dan lemah lembut.
"Kenapa, Wie?" tanya Erdie Vio.
"Kalau kita juara satu, penggemar kita akan bertambah banyak. Dan akan ada lebih banyak penggemar yang suka dengan kita karena sepak terjang kita dalam dunia naga dan barongsai, bukan karena hal lain…" kata Erwie Vincent sedikit menyeringai.
Erick Vildy menyeringai, "Mudah-mudahan, Wie… Terus terang, kadang sakit telingaku dengan sorak-sorai dan sambutan yang riuh itu…"
Erdie Vio tergelak, "Wie Wie memang idealis nan romantis dari dulu. Memang bagus sih kita bisa juara satu di turnamen kali ini. Nama tim kita akan semakin dikenal oleh banyak orang dan bisnis tentunya akan semakin laris. Oleh karena itu, semangat ya, semuanya… Oke…?"
"Oke…!" jawab seluruh anggota tim Solidaritas Abadi serempak.
"Maaf…" terdengar sebuah suara bapak-bapak yang rendah dan berat di belakang mereka.
Serta-merta semuanya berpaling. Mereka mendapati seorang bapak-bapak awal lima puluhan berdiri di sana, di tengah-tengah para kru dan petugas lapangan yang sedang bertugas mempersiapkan segala sesuatu sebelum turnamen dimulai.
"Ya…? Ada yang bisa kami bantu…?" tanya Erdie Vio dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi.
"Ya… Ini… Ini… Itu…" bapak-bapak itu tampak ingin meminta suatu pertolongan, tapi tampak juga ia tidak enak hati dan sedikit merasa bersalah.
"Ada apa, Pak?" tanya Erwie Vincent.
"Ada yang bisa kami bantu, katakanlah… Kami akan membantu sebisa mungkin," kata Erick Vildy sedikit tersenyum simpul.
"Begini, Anak Muda… Saya lihat sambutan para gadis muda itu terhadap kalian bertiga itu tidak buruk juga ya…"
Erwie Vincent hanya diam sambil tersenyum-senyum penuh arti. Erick Vildy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Hanya Erdie Vio yang langsung membalas kalimat pembuka bapak-bapak itu dengan sebersit senyuman cerah.
"Jadi begini, Anak Muda… Artis ibu kota yang kami undang sebagai acara pembukaan turnamen kali ini mendadak sakit diare tadi. Juru bicara dan manager-nya menelepon ke sini lima menit yang lalu. Tentu saja itu mustahil bagi kami untuk mencari artis pengganti dalam waktu yang tidak lebih dari setengah jam. Jadi… Jadi… Saya ingin bertanya… Apakah… Apakah kalian bersedia mengisi sedikit saja acara pembukaannya?"
Erdie Vio mengerling-ngerling penuh arti kepada kedua saudaranya yang lain. Sementara itu, Melisa dan anggota-anggota yang lain langsung bersorak riuh karena ketiga bersaudara Makmur ditawari job yang mendadak nan spesial seperti ini.
"Bagaimana ya, Pak…? Kami…" kata Erick Vildy belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Kami mohon sekali, Anak Muda…" kata si bapak-bapak itu. Tampak kecemasan mulai menghiasi wajahnya.
Erwie Vincent menyimpulkan dalam hati pastilah si bapak-bapak ini akan dimarahi oleh atasannya jika ada salah satu saja aspek acara yang berantakan.
Ketiga bersaudara Makmur saling bertukar pandang sejenak.
"Oke, akan kami rundingkan dulu, Pak," kata Erwie Vincent akhirnya.
"Akan kami kabari lagi sepuluh menit sebelum acara dimulai. Bisakah…?" tanya Erdie Vio masih dengan senyumannya yang cerah.
"Oke… Saya ada di pojok sana, Anak Muda… Kalian bisa menemukan saya di sana," kata si bapak-bapak menunjuk ke pojok yang lain dari auditorium tersebut. "Thanks sekali… Thanks very much, Anak Muda… Thanks sekali karena sudah mau membantu."
Ketiga bersaudara mengangguk mantap. Si bapak-bapak itu berlalu begitu saja dengan cepat. Kontan Melisa dan anggota-anggota tim Solidaritas Abadi yang lain kembali bersorak-sorai.
"Datanglah masalah… Dari mana seorang pemain naga bisa menjadi penyanyi dan penari di acara pembukaan turnamen seperti ini?" Erick Vildy mulai menggerutu.
"Jangan khawatir, Bang…" kata salah seorang anggota tim. "Kan waktu SMP dulu, Abang bertiga pernah membawakan satu lagu yang ada tariannya juga di acara perpisahan. Aku masih ingat loh… Lagu itu kalau tidak salah bertema semangat dan gairah masa muda. Cocok kan lagu itu dibawakan di sini juga?"
"Lagu itu…" dahi Erwie Vincent sedikit mengerut. "Aku sudah lupa… Harus lihat liriknya sekali lagi."
"Dan harus lihat tariannya sekali lagi di Youtube," kata Erick Vildy bertopang dagu dan menghela napas panjang.
"Aku masih ada simpan videonya kok, Rick," kata Erdie Vio tergelak lagi diiringi dengan sorak-sorai dari seluruh anggota tim. Jelas tampak Erdie Violah yang paling bersemangat mengisi acara pembukaan turnamen naga kali ini.
"Jadi kita bawakan lagu itu saja dan pembagian liriknya seperti waktu acara perpisahan di SMP itu?" tanya Erick Vildy lagi kepada kedua saudaranya.
"Iya… Kira-kira begitulah…" kata Erwie Vincent mengiyakan dengan senyum dikulum.
"Jangan salahkan aku jika bagian lirikku dan tarianku salah-salah ya… Sudah lama… Sudah lupa-lupa ingat…" kata Erick Vildy.
"Jangan khawatir. Kami berdua akan menyegarkan kembali ingatanmu," kata Erdie Vio sambil mengerling penuh arti kepada Erwie Vincent. "Aku akan minta waktu sepuluh menit tambahan kepada si bapak-bapak itu. Kita akan briefing sebentar di belakang sebelum kita maju."
"Iya… Iya…" Erick Vildy sedikit menggerutu, tapi dia ikut juga ketika dua saudaranya berjalan ke pojok lain auditorium yang ditunjuk-tunjuk oleh si bapak-bapak tadi.
"Kami ke sana dulu ya… Jaga barang-barang di sini ya…" pesan Erwie Vincent.
"Semangat, Abang-abang… Ayo! Kalian bisa!" teriak beberapa anggota tim Solidaritas Abadi.
Erdie Vio membalas dengan lambaian tangan kepada rekan-rekannya dalam tim Solidaritas Abadi. Melihat ketiga bersaudara Makmur menyeberangi auditorium dan menjumpai sang MC, tentu saja kericuhan dan sorak-sorai dalam auditorium kembali terdengar.
"Jadi bagaimana, Anak Muda…?" tanya sang MC yang berumur awal lima puluhan tadi.
"Lagunya sudah ada di HP ini. Bisa kan dicolokkan langsung ke sound system- nya?" tanya Erwie Vincent memberikan telepon genggam saudaranya kepada salah satu petugas sound system tersebut.
"Dites dulu ya…" kata sang MC.
Ternyata bisa. Muncullah musik pembuka lagu yang pernah mereka bawakan bersama-sama juga dalam acara perpisahan SMP.
"Thanks banget ya, Anak Muda. Tanpa kalian, saya tidak tahu lagi bagaimana arrange acara pembukaan turnamen ini," kata si MC.
"Kami minta waktu sepuluh menit lagi bisa? Untuk briefing sebentar…" tanya Erdie Vio.
"Bisa… Bisa… Sepuluh menit lagi, kalian stand by langsung di sini ya…" kata si MC.
Ketiga bersaudara Makmur mengangguk.
"Oh ya, Anak Muda…" suara si MC menghentikan langkah-langkah ketiganya. "Nanti kalian mau saya panggil dengan apa ya? Kalian kan tampil trio kan? Tak mungkin dong aku panggil nama kalian satu per satu. Aku akan memanggil nama tim kalian juga – tim Solidaritas Abadi, tapi, selain nama tim harus ada satu nama lain yang mewakili kalian bertiga seluruhnya, sehingga tidak terjadi kekakuan dalam penyebutan nama-nama pengisi acara."
Ketiga bersaudara Makmur saling berpandang-pandangan lagi.
"Kau yang biasanya paling kreatif, Die," kata Erick Vildy.
"Terserah kau saja, Die," sahut Erwie Vincent.
"Mmmm…" tampak Erdie Vio menekur agak lama. "Bagaimana kalau 3E saja?"
"Huruf depan nama kita ya… Boleh juga…" Erick Vildy mangut-mangut.
"Bolehlah…" kata Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santai.
"Panggil saja 3E dari tim Solidaritas Abadi," kata Erdie Vio ke MC yang masih menunggu jawaban mereka.
"Okelah kalau begitu… Sepuluh menit lagi ya…" kata si MC.
Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Erick Vildy menunggu dengan deg-degan di samping arena pertandingan. Erwie Vincent memandang ke sekelilingnya dengan sebersit senyuman simpul. Erdie Vio yang paling percaya diri di antara ketiga bersaudara Makmur. Dia memberikan senyumannya yang paling cerah kepada para gadis muda yang mulai bersorak riuh begitu melihat mereka bertiga berdiri di samping MC.
"Oke, Hadirin… Turnamen naga se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 13 Agustus tahun 2011 akan kami mulai. Acara pembukaan turnamen naga se-Indonesia pada pagi hari ini adalah sebuah lagu semangat anak muda dan impian masa muda – dibawakan langsung oleh 3E dari tim Solidaritas Abadi," teriak sang MC.
Tentu saja itu menjadi kejutan bagi sebagian besar hadirin yang hadir pada pagi hari itu. Gadis-gadis muda, anak-anak perempuan, dan ibu-ibu setengah baya bahkan ada yang sampai berdiri memberikan applause untuk penampilan 3E pada pagi hari itu.
Rendy Ibrahim dan Ahmad Sentosa saling bertukar pandang sejenak. Kedua-duanya sungguh tidak percaya! Selain mengikuti turnamen naga di Jakarta, 3E ternyata juga kebagian jatah mengisi acara pembukaannya. Benar-benar di luar prediksi mereka sebelumnya!
Tiga E memasuki arena pentas. Musik mulai terdengar. Lagu dan tari mengalun ke seantero auditorium pagi hari itu.
***
Tiga E mengumpulkan kembali seluruh anggota timnya karena giliran mereka akan segera tiba.
"Oke… Akan kuulangi sekali lagi ya skenario atraksi kita ya… Tiga empat berapa set?"
"Dua set, Bang," jawab si pemegang tiang tiga.
"Oke… Habis itu ada ombak delapan, lima enam kepala buntut, M2M, tidur atas, baru masuk ke pasca kipas, kipas, dan roda ya… Semuanya sudah paham ya…" kata Erdie Vio.
Semuanya mengangguk mantap.
"Oke… Habis itu, kuo ciang long, teddy bear, dan sien feng. Bisa ya… Bagian sien feng ini sebaiknya nanti kita ulangi lagi. Usahakan semaksimal mungkin jangan sampai ada kesalahan. Oke…?" kata Erdie Vio lagi.
"Dan jangan lupa juga pos awal dan pos akhirnya ya… Nanti kita peragakan sekali lagi," sahut Erick Vildy. "Bagaimanapun juga, pos awal dan pos akhir ini juga ikut menentukan penilaian para dewan juri."
Semua anggota mengangguk. Sementara itu, sambil mendengarkan rangkuman skenario yang ada, Melisa menyusun kembali rumus-rumus musik pengiring yang ada.
"Wie… Musik kuo ciang long besar bagaimana itu? Jadi lupa-lupa ingat aku…" kata Melisa sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
"tang cer… tang cer… tang… chi tang chi tang chi chi tang…" kata Erwie Vincent sambil memberi peragaan melalui sepasang stick tambur yang dipegangnya. "Bagianmu adalah simbal besar, jadi agak sulit. Konsentrasi aja sih…"
"Oke… Konsentrasi… Konsentrasi… Aku harus konsen…" kata Melisa seraya balik ke tempat duduknya semula sambil mulutnya komat-kamit tak jelas, menghafal-hafal rumus-rumus musik pengiring yang akan dimainkan nanti.
Lima belas menit kemudian, nama tim Solidaritas Abadi dipanggil. Segera setelah itu, suara tambur, gong, dan simbal mengalir dengan kencang di seantero auditorium. Liukan naga dan mutiara naga mulai menari-nari di tengah-tengah hiruk-pikuk dan sorak-sorai yang berkumandang ke seisi auditorium.
***
Nama-nama tim juara harapan sedang diumumkan dalam tiga bahasa. Ketika dewan juri mengumumkan nama-nama tim juara utama, semuanya terkesiap di tempat masing-masing.
"Juara tiga tahun ini adalah tim dari Sumatera Utara – tim Gagak Hitam…" kalimat itu disambut dengan meriah oleh para hadirin. Tampak raut wajah Ahmad Sentosa dan Rendy Ibrahim yang agak kecewa meski mereka masih tersenyum. Namun, penilaian juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
"Juara dua tahun ini jatuh pada daerah Jakarta sendiri – tim Angkasa Raya," kalimat ini juga disambut dengan meriah oleh para pendukung tim Angkasa Raya.
"Juara satu tahun ini adalah… Inilah yang paling ditunggu-tunggu tahun ini, Hadirin…" MC sengaja melambatkan tempo pengumumannya sehingga menambah ketegangan sendiri di hati setiap orang yang hadir di auditorium tersebut, "Juara satu tahun ini jatuh lagi pada daerah Sumatera Utara – tim Solidaritas Abadi."
Sontak seluruh hadirin bersorak riuh dan tepuk tangan membahana ke seisi auditorium. Tiga E dipanggil maju ke arena pertandingan untuk menerima piala bergilir, piala nasional tetap, medali-medali, piagam-piagam penghargaan, serta hadiah utama berupa satu unit sepeda motor.
Sudah bisa ditebak, muka Rendy Ibrahim dan Ahmad Sentosa menjadi sehitam arang begitu mendengar nama Solidaritas Abadi diumumkan.
Muka mereka bahkan lebih hitam lagi tatkala banyak anak-anak perempuan, gadis-gadis muda, wanita-wanita muda, dan bahkan ibu-ibu setengah baya yang turun ke arena pertandingan memberikan cinderamata-cinderamata tertentu kepada 3E. Rendy Ibrahim menghentakkan kakinya sekali ke lantai sebelum ia meninggalkan auditorium dengan kesal.
Keriuhan dalam auditorium tersebut berlangsung selama beberapa saat. Banyak penggemar yang minta berfoto. Banyak wartawan-wartawati yang datang mewawancarai 3E setelah itu. Kilatan sinar kamera berpendar ke mana-mana.
***
Sydney, 15 Juli 2018
"Masih juga memandangi foto pertandingan pada tahun 2011 itu, Rick?" tanya Melisa yang melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Erick Vildy pagi itu.
Erick Vildy memasukkan kembali foto itu ke dalam dompetnya.
"Tidak… Hanya terlihat ketika aku mau mengambil kartu ATM- ku tadi," kata Erick Vildy berusaha tampil setenang mungkin. "Aku mau bayar biaya rumah sakit ini tadi. Aku tak tahu kau sudah menyelesaikan pembayarannya kemarin malam."
Melisa mengulum senyumannya.
"Kapan sih aku bisa keluar dari sini, Mel?"
"Besok sudah bisa keluar. Aku sebelum ke sini, sudah ke SMA tempat kerja barumu itu. Aku sudah mintakan izinmu untuk hari ini. Kau istirahatlah dan pulihkan tenagamu kembali."
"Dari mana kau tahu tempat ngajarku yang baru?" tanya Erick Vildy sedikit terkejut.
"Tentu saja aku tahu. Informanku kan banyak, Rick," kata Melisa sembari membuka rantangan yang dibawanya. Diletakkannya rantangan itu di atas meja geser. Meja segera digeser ke hadapan si pasien.
Erick Vildy melahap bubur pagi itu hanya dalam beberapa menit.
"Hmm… Bilang saja kau sudah lapar berat pagi ini," kata Melisa mengulum senyumannya lagi.
"Bubur ayamnya enak sekali. Meski tadinya aku berharap kau memasakkan nasi ayam buatku, bubur ayam ini oke juga kok…" kata Erick Vildy sedikit menyeringai.
"Pagi-pagi tidak boleh makan nasi – susah dicerna. Lagipula kondisimu masih belum stabil. Besok pagi baru boleh makan nasi," kata Melisa lagi sembari membereskan rantangannya dan memasukkannya kembali ke tas.
Pas Melisa berpaling ke arah Erick Vildy lagi, dilihatnya lagi-lagi lelaki itu melihat ke foto pertandingan mereka pada tahun 2011 lalu.
"Masih bilang foto itu tidak sengaja terlihat olehmu ketika kau mengambil kartu ATM- mu tadi," kata Melisa dengan sebersit senyuman skeptis.
"Kita akhirnya berhasil meraih juara satu, Mel. Dalam turnamen naga se-Indonesia waktu itu, kita berhasil meraih juara satu – sama sekali tidak ada kesalahan. Namun, itu menjadi juara satu yang pertama sekaligus terakhir," nada suara Erick Vildy berubah menjadi rendah dan datar.
Melisa Rayadi menghela napas panjang.
"Setelah itu masih ada turnamen lagi di Batam. Saat itu kita hanya mendapat juara dua. Di sanalah kau bertemu dengan Stella Kuangdinata. Setelah itu, masih ada satu lagi turnamen naga nasional di Jakarta. Masih ingat kan? Juga dapat juara dua kan? Kan 3E diminta foto-foto buat pictorial book yang hasilnya dipampangkan di layar besar auditorium sebelum kalian bertiga menyanyi mengisi acara pembukaannya juga. Habis itu, baru tim Solidaritas Abadi sudah jarang ikut pertandingan apa pun. Kau sudah jarang memperhatikan sanggar lagi, begitu juga dengan Erwie, begitu juga dengan Erdie. Bayangkan saja apa yang akan terjadi pada para anggota Solidaritas Abadi jika ketiga kapten mereka sudah tidak begitu memperhatikan dan mempedulikan mereka. Aku yang terlalu naif rupanya. Di dunia ini, ternyata tidak ada yang namanya keabadian."
Erick Vildy melihat ke jendela kamarnya dengan sorot mata menerawang.
"Iya… Iya… Mungkin aku sudah terlalu fokus dengan Stella, sehingga aku mengabaikan sanggar Solidaritas Abadi. Begitu juga dengan Erwie, begitu juga dengan Erdie. Mungkin kami sudah terlalu terobsesi pada perempuan itu sehingga bisa sampai buta dan tidak tahu dia menjalin hubungan dengan kami bertiga dalam saat bersamaan."
"Dan sampai detik ini kau bahkan belum bisa melupakannya…" kata Melisa Rayadi langsung membalikkan badannya. Dia tidak ingin Erick Vildy melihat genangan air matanya.
"Aku… Aku…" Erick Vildy tak kuasa menyelesaikan kalimatnya.
"Ke mana 3E sekarang…?" celetuk Melisa masih dengan posisi badan yang sama. "Ke mana 3E yang dulunya begitu kompak, sehati, sejiwa, satu pandangan, satu jalan, dan satu impian?"
Lama sekali Erick Vildy menekur tanpa sanggup memberikan jawaban yang memuaskan.
"Apakah… Apakah 3E… 3E benar-benar sudah bubar? Benarkah itu…?" kali ini Melisa Rayadi berbalik dan Erick Vildy melihat sorot mata yang nanar.
"Aku sendiri saja tidak tahu apa posisiku sekarang di hati kedua saudaraku, Mel," kata Erick Vildy menghela napas panjang. "Bagaimana aku bisa memberimu jawaban apakah 3E benaran sudah bubar atau tidak…?"
"Yang harus disalahkan atas semua ini adalah gadis terkutuk itu! Untung sekarang dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jika ia masih hidup, akan kukejar dia ke mana pun juga dan membuat perhitungan dengannya," kata Melisa sedikit geram.
Melisa Rayadi berpaling lagi ke arah jendela seraya menerawang jalanan kota Sydney yang tidak terlalu padat pagi itu.
Lama sekali keduanya tenggelam dalam kebisuan dan kekakuan.
"Mel…" panggil Erick Vildy akhirnya.
Posisi berdiri Melisa Rayadi tetap tidak bergeming.
"Aku… Aku…" Erick Vildy kesulitan mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya sekarang. Dia bukanlah laki-laki yang bodoh. Dia bukannya tidak tahu bagaimana perasaan wanita ini terhadapnya selama ini. Namun, selama ini bayangan Stella senantiasa mengungkung pikiran dan memorinya. Bayangan itu senantiasa membuatnya takut untuk menjalin cinta yang kedua.
"Terima kasih ya…" kata Erick Vildy akhirnya. "Thanks banget karena selama ini kau sudah banyak membantu dan menolongku. Kau selalu mendukungku selama belasan tahun ini. Aku tahu sampai seribu kali pun aku mengucapkan terima kasih, itu takkan bisa membalas jasa-jasamu kepadaku. Aku tahu…"
"Aku tidak menginginkan balas jasa, Rick…" kata Melisa lagi. Kali ini tampak sepasang bahunya gemetaran. Erick Vildy bisa melihat jelas wanita itu sedang menahan isakan tangisannya yang sudah berada di ujung bendungan.
Erick Vildy merasa terperengah kali ini. Astaganaga, Rick, Rick! Tegakah kau melihat wanita yang benar-benar mencintaimu ini meneteskan air mata demi kau? Kau laki-laki macam apa sih! Kau bukan laki-laki sejati jika kau tak bisa menghapus rinaian air mata itu dengan tanganmu sendiri!
Erick Vildy perlahan-lahan turun dan berdiri di samping tempat tidurnya.
"Ya… Aku tahu aku tidak bisa memberikanmu apa-apa untuk membalas segala kebaikanmu padaku itu. Aku… Aku tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan. Aku hanya bisa memberikanmu… memberikanmu… cintaku…" kata Erick Vildy setelah akhirnya ia mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya.
Serta-merta Melisa Rayadi berpaling. Perasaan terkejut dan bahagia berbaur menjadi satu dalam padang sanubarinya. Kali ini, dibiarkannya air matanya mengalir dengan bebas. Tawa dan tangis mengalir dengan bebas. Erick Vildy tersenyum hangat. Ia merentangkan sepasang tangannya.
Tak ayal lagi, Melisa Rayadi terjun ke dalam pelukan tersebut. Air matanya terus mengalir membasahi bagian dada sang pangeran pujaan. Erick Vildy mengangkat kepala sang putri pujaan. Perlahan-lahan, tangan naik dan menyeka ekor mata yang tergenang oleh air mata yang menganak sungai. Kembali Melisa Rayadi merebahkan kepalanya ke dada sang pangeran pujaan.
Pelukan ini… Pelukan yang sudah kudambakan, sudah kuharap-harapkan selama belasan tahun… Aku akhirnya bisa memilikinya – murni hanya untukku seorang… Inikah kebahagiaan yang selalu dinanti-nantikan oleh setiap wanita dengan cinta sejati mereka?
Melisa Rayadi hanya bisa tenggelam dalam kebisuan. Dia tahu kata-kata apa pun takkan bisa melukiskan kebahagiaan yang dia rasakan detik ini. Serasa ada bunyi-bunyian manis yang diturunkan dari surga.