Bimo masih diam ditempatnya, sedangkan aku tak berani menatap pada manik jelaganya yang kini tampak semakin kelam. Dia seolah sedang berpikir keras.
Kami, kini duduk di gazebo halaman belakang rumahku, langit sore semakin nampak menguning, Bimo masih saja diam, tak bisa kugambarkan bagaimana gelisahnya aku saat ini.
Apa dia kecewa padaku?
Apa aku benar-benar gila?
Benar-benar sakit jiwa?
Kenapa bisa gara-gara mimpi bisa membuat aku jadi down separah ini.
"Kapan kamu mimpi yang pertama?" Bimo bicara-tiba-tiba, membuat aku sedikit terkejut.
"Waktu ... abis kejadian selebaran foto di mading dulu," ucapku sedikit ragu.
"Gak ada Ibas atau mas Bara waktu itu?" kembali dia bertanya, aku menggeleng.
"Gak ada aku di mimpi kamu yang itu?"
Aku menggeleng lagi.
"Mimpi tadi malem, tiba-tiba ada Ibas?"
"Aku mengangguk. "Sama mas Bara." timpalku.
"Aku gak ada?"
Lagi-lagi aku menggeleng, "Maaf Bim, gak ada kamu," ucapku lirih.