Descargar la aplicación
12% Was My Sweet Badboy / Chapter 51: Hujan sore itu, kita ... makan indomie

Capítulo 51: Hujan sore itu, kita ... makan indomie

Minggu UAS sudah tiba, seperti yang kau tahu, Bimo dilarang ikut UAS di hari pertama di kelas, jadi dia harus puas menjawab soal di ruang guru sendirian. Siangnya, setelah ujian usai, Bimo juga harus menggantikan semua orang yang piket untuk membersihkan seluruh ruang kelas yang di pakai siswa kelas XI, sudah pasti aku bantu pekerjaannya itu, karena ruangan yang harus di bersihkan itu banyak, dari XI IPA saja sudah ada 6 kelas, belum XI IPS yang jumlah nya lebih banyak.

Kawan-kawan Bimo yang hari itu terlibat pun, cukup tahu diri untuk membantu, walau sekedar buang sampah saja, atau menghapus tulisan di papan tulis. Sari juga menebus kesalahannya dengan membantu membersihkan 5 ruang kelas bersama Dwi. jadi sisanya aku dan Bimo yang selesaikan.

Hari itu, pak Baroto tidak bilang bahwa anak yang lain tidak boleh membantu Bimo, jadi beliau hanya bisa melotot kesal saat tahu kami gotong-royong meringankan pekerjaan pacarku itu. Hehehe.

Aku dan Bimo masih membersihkan ruang kelas terakhir, sedangkan kawan-kawan yang lain sudah pulang dari 30 menit yang lalu, ruang kelas ini milik kelas XI IPS 4, kelasnya Anjar dan Agus.

Setelah mengangkat kursi-kursi dan membalikkannya diatas meja, aku kemudian mulai menyapu lantai, tapi terusik dengan kerjaan Bimo di meja nomor 3 dari belakang, entah apa yang sedang dia lakukan. Bimo terlihat mengorek laci meja itu lalu tertawa-tawa seperti menemukan sesuatu yang lucu di sana.

"Ngapain sih Bim? Obat kamu abis?" tanyaku ngawur.

"Hahaha. Abis, kamu minum kemarin," dijawab dengan asal pula.

"Enak aja!" sewotku, "Ada apa sih? nemu apaan?" melangkah aku ke arahnya setelah meletakkan sapu, penasaran dengan apa yang sedang dia lakukan.

"Siniii ...," katanya sambil masih terkekeh, lalu melambaikan tangan ke bawah menyuruhku untuk mempercepat langkah. Segera aku berjongkok di hadapannya, menyamai posisinya saat ini.

"Astaghfirullah ... Hahahah," aku tertawa setelah lihat apa yang sedang dipegang Bimo, itu adalah kertas kecil yang digulung, tapi panjangnya itu yang tidak main-main, panjang sekali jika di ulur, tampak tulisan kecil-kecil di dalamnya.

"Wkwkwk niat banget bikin contekan," Bimo tertawa.

"Gimana cara liatnya ini tulisannya aja segede kuman," kataku masih sambil terkikik.

"Hahahah, ada lagi tauk," katanya sambil merogoh ke dalam kolong meja.

"Liat nih." Bimo mengeluarkan sebuah majalah dewasa yang di sampul dengan sampul yang awam digunakan untuk buku tulis, tujuannya tentu saja untuk menyamarkan majalah itu agar tak ketahuan guru.

"Astagaaaa ... ini meja siapa sih? kurang kerjaan banget bawa ginian," kataku heran, sambil sedikit curiga jika Bimo juga begini, siapa tahu kan? aku tak sekelas dengan dia soalnya.

"Meja si Agus," jawab Bimo lalu terkekeh lagi.

"Tau dari mana meja Agus?" tanyaku dengan alis terangkat, seolah sedikit tidak percaya pada jawabannya.

"Baca nih, meja siapa lagi kalo bukan meja dia." kata Bimo sambil menunjuk sebuah tulisan dari tip-ex di bagian kaki meja, tulisannya 'Agus♡Sinta' tapi nama Sinta disitu sudah di coret silang, sepertinya aku tahu sebabnya.

"Hahahahaha ... ini mantannya Agus yang mahasiswi itu bukan?" tanyaku ke Bimo. Dia mengangguk sambil cengengesan.

"Iya, yang bikin dia mabok susu beruang se-krat, besoknya mencret," tawa Bimo kembali terdengar, aku pun ikut ngakak.

"Ahahahh, Ya Allah ... gak jelas banget si Agus," cibirku, tentu saja orangnya tak dengar karena sudah pulang, tapi mungkin telinganya tiba-tiba gatal karena sedang kami gibahin.

"Hehe, sekarang udah punya gebetan baru dia," ucap Bimo sambil mengambil majalah dewasa tadi, lalu berjalan ke meja guru.

"Mau di apain Bim?" tanyaku penuh curiga, sepertinya dia punya rencana aneh. Kuikuti langkahnya ke meja guru.

"Ada deeh ...." kini ia duduk di kursi guru, meletakkan majalah itu di meja, lalu mengambil spidol dan menulis nama 'Agus Hariyadi' di sampul majalah tersebut dengan huruf berukuran besar dan mencolok, kemudian ia masukkan majalah itu ke laci meja guru.

"Eh, ntar kena dong si Agus," kataku pada Bimo sambil menatapnya heran, buat apa dia lakukan itu?

"Hahaha, emang biar dia kena denda. Wkwkwkw," lagi-lagi ia tertawa puas. Jahil juga ini bocah.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, karena aku tak pernah begitu pada kawanku, justru biasanya berusaha menutupi kesalahan kawanku dari guru, lah ini, malah sengaja dia buat agar kawannya di sanksi oleh guru. Benar-benar tak paham aku dengan cara berpikir cowok.

"Udah beres kan? Yok pulang yang!" Bimo sudah meraih bahuku sebelum aku sempat menjawab, lalu membimbingku jalan mengikutinya.

"Eh, belom kelar aku nyapunya Bim ...." ucapku sambil menunjuk-nunjuk gagang sapu di belakang kami.

"Udah ajalah, ngapain bersih-bersih amat, ntar diangkat jadi cleaning service kita sama kepala sekolah gara-gara kamu kerajinan," sahutnya asal.

"Ish ... ngawur!!"

"Hahahaha"

Kami berjalan masih dengan posisi dia merangkul bahuku, tak perlu khawatir dilihat orang, karena sekolah memang sudah sepi. Sebelum pulang, kami harus memberi tahu pak Budi untuk mengunci ruang kelas yang kami bersihkan tadi, beliau memang selalu berada di pos satpam dekat pagar utama sekolah, jadi kami bisa sekalian memberitahu beliau sambil keluar area sekolah.

Jam kini menunjukkan pukul 2 siang, tapi langit hari ini tak nampak cerah sedikit pun, malah sepertinya hujan akan segera turun.

"Bim, mau ujan deh kayaknya," aku berteriak pada Bimo dari balik punggungnya, saat kami sedang melaju di atas motor.

"Iya, kalo ujan nanti mampir berteduh aja, aku gak bawa jas hujan," jawabnya dengan teriakan pula, agar aku dengar.

"Oke!" balasku singkat.

Sudah tahu akan hujan, Bimo tidak juga memacu motornya lebih kencang, padahal aku sudah gelisah melihat langit gelap yang menggantung di atas kami.

Dengan cepat, gulungan awan gelap itu kini berubah jadi rintik hujan yang lama kelamaan makin deras curahnya, Bimo membelokkan motornya ke sebuah warung makan di pinggir jalan, kalau di Yogya, biasanya disebut 'Burjo' berasal dari kata bubur kacang ijo yang disingkat. Kenapa dinamai seperti itu? Jangan tanya aku, mana aku tau.

Buru-buru kami turun dari motor dan masuk berteduh di dalam warung itu.

"Permisi Mas, numpang berteduh ya ...," ucap Bimo segera setelah memasuki warung sederhana itu.

"Oiyo, monggo ... masuk aja dek," kata mas penjaga warung sembari mengaduk teh panas pesanan pelanggannya.

Bimo kemudian menarik lenganku menuju bangku panjang di sudut warung yang berpasangan dengan meja besar panjang di depannya, ia lepas jaket jins yang ia pakai, lalu membantu mengeringkan seragamku yang sedikit basah dengan jaketnya itu, kemudian Bimo membuka kemeja seragamnya pula, menyisakan kaos polos putih yang ia kenakan sebagai baju lapis. Memang tak pernah betah dia untuk pakai seragam terlalu lama.

Hujan semakin deras, seolah curahnya tak terkendali, atap warung pun terdengar gemerisik kuat sekali, aku jadi takut atapnya roboh kena air hujan yang deras. Bisakah?

Refleks aku beringsut ke Bimo dan tutup telinga. Aku memang takut hujan badai begini dibanding suara petirnya, rasanya jadi was-was dan tak tenang.

Bimo nampaknya paham kenapa sikapku begitu, lalu ia pesankan teh hangat dan indomie rebus untuk kami makan sore itu, bersama gorengan sebagai pelengkap.

"Kamu takut?" tanyanya padaku, sambil menatap wajahku lekat.

Aku mengangguk meng-iyakan tanya Bimo, mungkin mukaku sudah pucat sekarang dengan telinga yang masih ku tutup.

"Minum teh nya dulu, biar anget," katanya kemudian.

"Iya."

Kucoba menyendok teh hangat, meniupnya sebentar, lalu menyesapnya. Rasa hangat sedikit menjalar di kerongkonganku. Kuulangi lagi kegiatan menyesap teh hingga berkali-kali, sudah seperti anak kecil. Bimo hanya terkekeh.

"Udah ngembang mi rebusnya tuh. makan gih," titahnya lagi.

Aku beralih, dari teh hangat ke indomie rebus spesial dengan telur dan taburan bawang goreng yang menggoda iman, ku aduk perlahan dan tak lupa menambah kecap juga sambal agar lebih nampol rasanya.

"Udah bilang mamah kalau pulang nya telat Ray?"

"Belum, nanti aja deh, kan nanti pulang sama kamu juga, mamah pasti ngerti lah." kujawab sambil menyeruput kuah indomie. (Jadi laper)

"Terserah kamu, aku gak tau apa-apa ya kalo mamah ngomel karena kamu gak ngabarin." Bimo juga bicara sambil makan, kami memang lapar saudara-saudara.

"Iyaaaa ...," balasku tak peduli.

Hujan masih saja deras, tapi aku mulai sedikit tenang karena Bimo tak henti-hentinya ngajak aku ngobrol, bicara apapun yang berhasil membuatku lupa dengan hujan diluar sana, lupa dengan suara hujan beradu dengan atap yang bikin aku pengang dan pening biasanya.

Teh hangat habis, begitu pun indomie rebus spesial dengan telor bertabur bawang goreng tadi, sudah tandas sampai kuah-kuahnya. Eh, aku merasa sedang iklan.

Hujan sudah mulai mereda, tampak jalanan aspal yang basah sedang di gilas oleh berbagai kendaraan yang menderu, menyipratkan air becekan kemana-mana.

Bimo sudah bayar, dan sekarang sedang mengambil motornya, kami memutuskan pulang karena hari sudah mulai petang, hujan selama 2 jam tadi membuat kota terasa sendu dan gelap bagiku. Pokonya aku tak suka hujan.

Aku pakai jaket jins Bimo tadi, kalau diingat-ingat, sepertinya sudah banyak jaket atau hoodienya yang pindah ke lemariku. Kami melaju pelan karena jalanan licin, rintik gerimis masib setia menemani kami pulang, kupeluk Bimo dari belakang, menyandar pada punggung hangatnya yang lebar.

Tiba-tiba, sebuah mobil mini bus 'sejuta umat' (sebut saja Avanza) berwarna biru gelap melaju kencang dari arah belakang kami, dan sukses membuat kami seketika mandi air genangan jalan berlubang, ingin ku berkata kasar, tapi tak jadi karena Bimo sudah mewakili.

Sumpah serapah ia layangkan untuk pengendara itu, tapi tetap saja percuma karena mobil itu sudah jauh dan pasti tak dengar Bimo merutuk. Seisi kebun binatang ia sebut dengan mulutnya, seolah dia itu ibunya malin kundang yang bisa ngutuk orang.

"Sabar Bim, mungkin orang itu sedang kebelet, makanya ngebut buru-buru." Aku hanya bisa menenangkan sambil mengelus punggungnya dari belakang.

"Kebelet mati, iya!"

Aku hanya bisa geleng-geleng, Biim ... Biim ... ckckck.

Catat ya! Aku pernah di sembur air genangan becek gara-gara mobil ngebut dijalan bareng Bimo.

-Desember 2008-


REFLEXIONES DE LOS CREADORES
MORAN94 MORAN94

Na'as, wkwkwk

pengen mi rebuuuuusss -____-"

komen di bawah ❤❤

Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C51
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión