Kelas bu Sondang sudah dimulai, kami mendengar penjelasan beliau dengan mata berat menahan kantuk meskipun masih pagi. Beliau menjelaskan soal sejarah dengan semangat dan suara keras khas orang Sumatera.
Tapi tetap saja, namanya belajar sejarah itu pasti bikin ngantuk, sama ketika harus belajar PKN. Dan aku termasuk tipe itu, mudah ngantuk jika hanya mendengar penjelasan guru di depan, ditambah lagi tadi aku sarapan nasi goreng dengan porsi yang tidak main-main di kantin belakang dengan Bimo, bawaannya ingin rebahan saja jika perut sudah kenyang begini.
Sedari awal aku datang tadi sebenarnya sudah heboh kasak-kusuk soal kejadian di warung mbah Rimbi kemarin. Ku tebak, satu sekolah sekarang sudah tahu masalah itu, karena mereka memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan alis mengernyit sebab masker yang ku pakai, sepertinya mereka penasaran bagaimana kondisi wajahku, dan ingin lihat langsung, tapi sayang tertutup masker.
Aku melenggang tidak peduli, malas meladeni banyak pertanyaan mereka nanti. Kawan sekelasku pun begitu, mengerubungi aku seketika saat aku baru saja masuk, tampak wajah-wajah khawatir mereka.
Dari merekalah aku tahu bahwa gosip peristiwa kemarin itu sudah berkembang sedemikian rupa dengan banyak taburan bumbu penyedap. Ada yang bilang kalau aku ditonjok sama pacar Sari, karena aku marah padanya sebab cemburu Sari lebih banyak waktu dengannya dibanding kami, bahkan sampai ada yang bilang pacar Sari itu ketahuan selingkuh denganku hingga Bimo ngamuk. Geleng-geleng kepala aku dibuatnya, benar-benar gila.
Karena itu, tadi Bimo sengaja mengikutiku ke kelas untuk meletakkan tas sebentar, kemudian ke kantin belakang untuk sarapan, sengaja ke kantin belakang agar aku tak perlu mendengar bisik-bisik orang yang bergosip dibelakangku.
"Panggilan untuk siswa yang bernama BIMO GENTAMA RAYA kelas XI IPA 3 dan ARAYA SHOFI HASAN kelas XI IPA 1, silahkan temui saya di ruangan."
"Saya ulagi, panggilan untuk siswa yang bernama BIMO GENTAMA RAYA kelas XI IPA 3 dan ARAYA SHOFI HASAN kelas XI IPA 1, silahkan temui saya di ruangan."
Suara microphone dari ruangan pak Baroto itu menggema ke seluruh sudut sekolah, dan sudah pasti semua orang mendengarnya. Seketika gaduhlah ruang kelasku, serempak menatap padaku karena mendengar namaku juga disebut.
Ini adalah pertama kalinya namaku dipanggil ke ruang kesiswaan karena terlibat masalah. Aku jadi khawatir, apa yang akan di lakukan pak Baroto padaku? telapak tanganku sudah basah oleh keringat karena gugup.
"Gimana nih Ray? kamu di panggil," Sari membalikkan badannya menghadapku dari kursinya. Tampak rasa bersalah tercetak jelas di wajahnya.
"Aku juga gak tau Sar, mudah-mudahan cuma di tanya-tanya aja, gak di skors." jawabku sekenanya, sekaligus menenangkan diriku sendiri.
Rasanya seolah aku habis membunuh orang dan akan diintrogasi oleh polisi. Ya! seperti itu kira-kira.
Tok tok tok
"Permisi ...."
Suara seseorang di depan pintu kelas yang terbuka membuyarkan keributan semua penghuni di dalamnya yang seperti dengungan lebah, semua kompak terdiam dan menatap orang itu. Ternyata itu Bimo.
"Mau jemput Raya Bu, permisi yah ... hehe" katanya pada bu Sondang sambil cengengesan.
"Ya, silahkan." ucap bu Sondang.
Aku berdiri, mulai berjalan ke arah pintu dimana Bimo berada.
"Permisi sebentar ya bu ...." ujarku pada bu Sondang sambil membungkukkan badan sedikit saat melewati beliau.
"Iya, bikin masalah apa lagi kelian? Kok sampai Araya juga di panggil?" tanya bu Sondang tiba-tiba.
"Ada deeeh ... urusan anak muda." jawab Bimo santai.
"Bah, bocah gila ini ...." balas buk Sondang dengan logat bataknya yang kental.
"Hahahaha ... permisi bu." katanya sambil terbahak. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Bimo menarik lenganku menuju ruangan pak Baroto, kami sama-sama diam hingga sampai di tujuan. Bimo mengetuk pintu dua kali lalu menekan gagang pintu panjang itu ke bawah untuk membuka daunnya.
"Permisi, bapak panggil kami?" tanya Bimo saat sudah menjolokkan kepalanya melalui celah pintu yang dia buka setengah.
"Iya! Masuk!" Suara berat pak Baroto seketika bikin aku ciut, merinding.
Bimo masuk dengan santai, tak lupa menarik lenganku untuk mengikutinya. Di dalam, sudah ada seorang perempuan paruh baya dengan tatapan sinis tertuju pada kami, sedang duduk di kursi ukuran satu orang yang diletakkan berjejer dua buah, berhadapan dengan kursi panjang ukuran dua orang yang dipisahkan dengan meja kaca rendah, dan terdapat dua buah kursi ukuran satu orang lagi yang diletakkan disudut-sudutnya menghadap ke meja rendah itu pula.
Pak Baroto duduk di salah satu kursi di sudut, aku dan Bimo duduk di kursi panjang berukuran dua orang, menghadap wanita itu dan posisi pak Baroto adalah di arah samping kanan kami.
Ya gitulah pokoknya, ngertikan?
Aku dan Bimo saling pandang sejenak setelah duduk, bingung karena tak kenal dengan wanita itu, dan untuk apa dia hadir di peradilan kami oleh pak Baroto? Kenapa menatap benci pada kami?
"Ekhem! kalian tahu siapa ibu ini?" tanya pak Baroto setelah berdeham.
Kami menggeleng, "Gak tahu pak." jawab Bimo.
"Beliau ini ibu dari siswa SMA Mandala yang kemarin kalian pukuli, langsung mengadu kesini karena anaknya masuk rumah sakit."
"Ooh ...," Bimo mengangguk-angguk sedangkan aku tertunduk diam.
"IYA! ANAK SAYA MASUK RUMAH SAKIT GARA-GARA KALIAN PUKULIN! PASTI DIKEROYOK SAMA KALIAN, PANGGIL YANG LAIN PAK! GAK MUNGKIN CUMA MEREKA BERDUA!!" cecar ibu itu dengan menggebu, aku sampai agak terlonjak saat dia mulai membentak.
"Saya yang mukulin anak tante." ucap Bimo masih dengan aura santainya, juga wajah datar menatap manik orang itu.
"GAK MUNGKIN CUMA KAMU! ANAK SAYA SAMPAI RETAK TULANG TANGANNYA, HIDUNGNYA SAMPAI PATAH! PASTI DIA DI KEROYOK SAMA KALIAN! PASTI! SAYA LAPORKAN KALIAN KE POLISI!! KAMU JUGA, PEREMPUAN TAPI KELAKUANNYA BINATANG!"
Hardiknya sambil menunjuk-nunjuk wajahku dengan tangan kiri.
"Kalau ngomong dijaga tante!"
Bimo tampak geram, sedikit mengeraskan rahang ketika memperingatkan ibunya Dika.
"BANYAK ALASAN!! KALAU SALAH TUH MINTA MAAF, BUKANNYA NYALAHIN ORANG! KALIAN YANG MUKULIN ANAK SAYA! PAK, HARUSNYA BAPAK PANGGIL ORANG TUANYA SEKALIAN!"
Kali ini tidak hanya pada kami dia ngamuk, tapi juga pada pak Baroto, membuat beliau memicing mata kesal terhadap kami.
"Ibu sabar dulu, biar kita yang beri pelajaran pada siswa kita, gak perlu lah rasanya sampai ke polisi bu, saya minta maaf atas nama murid-murid saya yang sudah bikin malu nama sekolah, kalau perlu di keluarkan, kami tidak akan segan mengeluarkan siswa yang bersangkutan."
Kami refleks menatap pak Baroto, dikeluarkan? Yang benar saja! Beliau membujuk orang itu seolah-olah tidak apa-apa mengorbankan kami asal nama sekolah tidak jadi buruk jikalau kasusnya sampai melibatkan polisi. Aku kini percaya bahwa beliau guru yang tidak bisa jadi panutan.
"Bapak yang bikin malu sekolah." Bimo nyeletuk.
"Apa kamu bilang?! Gak punya sopan santun kamu Bimo!!" pak Baroto murka. Wajahnya merah padam.
"Ngapain bapak menjilat ke dia? Anaknya yang salah, datang ke sekolah orang bikin onar, kalau kena pukul jangan nangis ngadu ke orang tua lah!"
"Menjilat kamu bilang?! Dasar kurang ajar! Tau apa kamu! Kamu juga Araya, bapak dengar kamu pacaran sama bocah tengik ini? Sekarang kamu ikut-ikutan bikin masalah, padahal kamu siswa yang cerdas sebelumnya, gak banyak tingkah."
Geram sekali aku rasanya, tapi memilih diam. Aku paham sekarang kenapa Bimo sangat melawan pada pak Baroto.
"SUDAHLAH GAK USAH BANYAK NGOMONG! SAYA MAU KALIAN MINTA MAAF DAN TANGGUNG JAWAB ATAS PERBUATAN KALIAN KE ANAK SAYA! SAYA LAPORKAN KE POLISI POKOKNYA!!"
Ibu Dika kembali membuka suara tak sabar mendengar perdebatan Bimo dengan pak Baroto, mulai mengancam lagi.
"Silahkan tante lapor polisi, sampai mati pun kami gak akan minta maaf, anak tante yang salah!"
"APA KAMU BILANG? MEMANG GAK PUNYA ETIKA KAMU INI YA! ORANG TUA NGOMONG BISANYA MEMBANTAH TERUS! INI NIH KALO ANAK GAK DIAJAR! OKE, SAYA LAPORKAN KE POLISI KALAU MEMANG ITU YANG KALIAN MAU!!"
"Jangan begitu bu, kita bicarakan secara kekeluargaan saja, selesaikan secara damai rasanya lebih baik." Pak Baroto lagi-lagi membujuk, takut sekolah kami masuk headline koran esok pagi.
"LHO, BAPAK KAN DENGAR SENDIRI DIA YANG MINTA SAYA LAPOR POLISI!" orang itu bicara sambil menunjuk-nunjuk wajah Bimo.
"Iya, lapor saja ke polisi, kami juga dengan senang hati memperpanjang masalahnya kok."
Bimo membuka masker yang aku pakai, memang tadinya takkan nampak memar dan bengkak pada pipiku karena masker yang ku pakai, selain itu, rambutku sengaja aku gerai untuk menutupi memarnya.
Aku hanya diam, sedikit menunduk, kini seisi ruangan hening, seperti terkejut karena lihat wajahku yang bengkak dan memar, serta ujung bibir membiru dan tampak luka. seperti korban KDRT.
"Sudah lihat kan? Anak tante yang pukul dia sampai jadi seperti itu! Menurut saya wajar kalau saya balas, untung gak sampai saya rontokin giginya!" kata Bimo geram.
"P-PASTI ADA ALASANNYA LAH KALAU DIKA SAMPAI MUKUL! PASTI KALIAN GANGGU DIA DULUAN!"
Masih juga orang itu berusaha membela anaknya. Pak Baroto memilih hening, entah memikirkan apa.
"Alasan apa sampai harus mukul perempuan? Anak tante itu banci, beraninya sama perempuan, tapi gak berani ngelawan waktu saya pukul." sanggah Bimo.
"HELEH, CUMAN BEGITU SAJA! SEBENTAR LAGI JUGA SEMBUH! ANAK SAYA ITU BISA JADI CACAT NANTINYA! POKOKNYA KALIAN HARUS TANGGUNG JAWAB!"
"Oke, kalau begitu kami boleh panggil orang tua kami juga kan?"
"PANGGIL! SURUH KESINI"
"Oke! Ray, telpon komandan. Bilang ibunya orang yang mukul kamu nuntut ke sekolah, minta ketemu."
"Hah?!" aku melongo, tak paham, serius Bimo suruh panggil ayah?
"Telpon ayahmu, bilang kita mau di laporkan ke polisi sama dia." ulang Bimo sambil menunjuk ibu Dika dengan tangan kiri. Sengaja. Orang itu melotot ke arah Bimo, mungkin dia pikir Bimo ini tidak sopan.
"Gila kamu Bim? Kalau ayah ngamuk bawa senjatanya gimana?"
"Ya bagus, sekalian bawa satu kompi dari KODIM, kalo perlu ajak semua ke kantor polisi, gak mungkin kan bawahan ayahmu diam kalo anak DANDIM-nya dipukul orang."
Bimo bicara dengan senyum liciknya, ah! aku paham permainannya sekarang. Ternyata dia berusaha menggertak ibunya Dika. Pinter juga ini anak!
"O-ooh ... iya deh, aku telpon ayah, kamu bawa HP gak? Hp-ku di tas." ujarku mulai mengikuti ritme permainan Bimo.
Bimo merogoh saku seragamnya, mengambil sesuatu, "Ada nih ...." katanya sambil menyerahkan ponsel miliknya.
"T-tunggu, siapa bapaknya?" tanya ibu Dika, mulai melunak.
"Letkol TNI Hasan Abidin, Komandan Kodim Yogyakarta."
Jawab Bimo santai tapi sanggup membuat pak Baroto dan ibunya Dika terkesiap, sudah pasti pak Baroto tidak mengetauhi pangkat ayah karena memang ayah tak pernah menbawa embel-embel pangkatnya untuk urusan pribadi, kecuali dalam situasi yang memang diharuskan menggunakannya oleh kesatuan.
Susah payah aku menahan tawa melihat ekspresi dua orang yang tadinya marah-marah, kini jadi terdiam, bingung harus bicara apa.
"Kalau tante marah karena anak tante saya hajar, berarti gak salah kalau keluarganya Raya juga marah dan menuntut anak tante yang seorang laki-laki tapi memukul perempuan sampai seperti ini. Mana yang lebih keterlaluan menurut tante? Kalau tante merasa punya hak marah pada kami dan minta tanggung jawab, begitu juga keluarganya Raya yang punya hak marah pada anak tante, saya gak bisa menjamin keselamatan anak tante kalau sudah ditangani oleh kesatuan, kemarin saja ayahnya Raya sudah ngokang senjata mau nyari anak tante saking marahnya."
Raut cemas dan keringat dingin jelas sekali terlihat di wajah ibunya Dika, pasti saat ini dia ketakutan setengah mati. Mau lapor polisi? Coba saja, yang jelas anggota ayah pasti akan datang ke kantor polisi ramai-ramai.
"Jadi bagaimana bu? masih mau di teruskan permasalahannya? Apakah ibu tetap ingin membawa kasus ini sampai ke kantor polisi?" pak Baroto dengan cepat menengahi situasi, sepertinya dia senang karena tak perlu membujuk-bujuk orang itu.
"Haaaah ... ya sudahlah gak perlu di perpanjang lagi! Jadi repot semuanya! Pokoknya saya mau mereka dihukum!" tukas ibu Dika, masih kesal tapi juga takut berurusan dengan ayah.
"Baiklah kalau begitu bu, jadi sudah diputuskan ini diselesaikan secara kekeluargaan ya bu. Saya akan beri hukuman untuk mereka paastinya bu." balas pak Baroto sok lembut.
Pada akhirnya, ibu Dika pulang dengan tangan hampa. Bimo tadinya akan di skors oleh pak Baroto, tapi setelah aku minta untuk di ganti saja hukumannya, mengingat senin depan sudah UAS, beliau menyetujui, Bimo hanya di hukum tidak dibolehkan mengikuti UAS di hari pertama, sebagai gantinya, dia harus mengerjakan UAS di ruang guru pada waktu lain, juga membersihkan seluruh ruang kelas XI pada waktu pulang sekolah setiap hari hingga UAS selesai.
***
"Kok kamu tau sih Bim pangkat ayah? Aku gak pernah cerita deh kayaknya." tanyaku pada Bimo setelah kami keluar dari ruangan pak Baroto dan sedang jalan kembali ke kelas.
"Kok kamu heran aku bisa tau? Yang kayak gitu sih gak susah dicari tau."
"Ooo ...." mulutku membulat menanggapi jawabannya.
"Kantin yuk, haus ...." ajaknya.
"Yok!"
"Traktir, kan udah bantuin tadi." todongnya.
"Dih, harusnya impas kan aku bantuin biar kamu gak di skors tadi."
"Ah, padahal aku mau diskors daripada disuruh bersih-bersih kelas." sungutnya padaku.
"minggu depan UAS Bimoo ... kalo di skors nanti ketinggalan dong kamu, lagian kalo bersih-bersih kan aku bisa bantu."
"Bener ya ... awas kalo kabur kamu pas aku bersih-bersih."
"Iyeee ... bawel!" ku cubit hidung bangirnya.
Nah loh, auto mingkem kan buk! ckckckck
jan maen-maen ama komandan, khan maen tuh ...
komen dibawah ❤❤❤