Ku bolak-balik ponselku sambil berbaring telentang di atas kasur, ku angkat tinggi dengan tangan menjulur, kemudian menurunkannya sampai jarak beberapa senti di depan wajahkku, lalu mematikannya, menyalakannya lagi, membuka menu pesan berulang kali, membuka catatan panggilan barangkali ada yang terlewat. Tetap saja sepi, tak ada apapun disana kecuali pesan lama. terakhir kali dia kirim pesan padaku sudah lebih dari 3 hari lalu.
Aku murung, sudut bibirku mulai berkedut melengkung ke bawah menahan rasa pilu yang menyeruak di dadaku. Ini menyedihkan.
Lagipula memang ada sinyal saat orang sedang digunung? Otakku mencoba berasumsi positif, tapi perasaanku mengatakan sebaliknya. Apa aku di campakkan?
Apa aku di tinggal?
Apa dia mau putus dengan cara begini?
Huwaaaaa.....runtuh sudah dinding pertahananku, basah sudah pipiku, meler sudah hidungku.
Aku membenamkan wajahku pada bantal yang jadi basah seketika itu juga oleh air mata dan ingus yang berderai-derai. Ditambah hujan deras sedang melanda Yogya sedari pagi di hari minggu ini, membuat orang-orang malas beraktivitas dan memilih menarik selimut mereka lagi.
Akupun begitu, hanya membaringkan tubuhku di kasur ukuran single yang berseprai biru langit dengan motif kelinci dipermukaannya. Aku bilang pada mamah dan ayah masih sangat capek karena aktifitas kemarin dan mereka memaklumi.
Tentu saja tak bilang soal perutku yang nyeri, tapi syukurnya hari ini dia tak berulah, tak begitu nyeri seperti kemarin. Ku alihkan pandanganku pada jendela geser kamarku, hujan masih lebat, seperti melengkapi hatiku yang risau.
Aku tidak suka hujan.
Apa di gunung juga hujan ya? Jangan-jangan kena badai, terus gak kliatan jalannya, terus...
Huwaaaa....
sekali lagi ku bekap wajahku dengan bantal agar sesenggukanku tak terdengar hingga keluar kamar.
Ini benar-benar membuat frustasi, aku gak tenang.
Sudah kucoba untuk membaca ulang novel komedi romantis yang setia nangkring di rak buku kamarku, siapa tau bisa membuat aku lupa sejenak, tapi nyatanya tak seperti harapan. Aku malah tidak fokus dan makin teringat Bimo saat baca tokoh utama lelakinya, lalu ku coba baca novel fantasi sci-fi hadiah dari sepupuku dulu dan hasilnya pun sama saja. Tak bisa mengalihkan pikiranku yang sedang kalut. Akhirnya kuputuskan untuk tak menyentuh novel-novel itu dan memilih rebahan sampai beberapa kali aku tertidur kemudian bangun tergesa mengecek ponselku yang masih saja kosong, masih saja sepi.
Bimo nyebelin!
Mataku jadi sembab dan terasa bengkak karena menangisi dia seharian.
--@@@--
Senin pagi berjalan seperti biasa, yang tidak biasa adalah kepala sekolah sedang memanggil nama-nama kami yang minggu lalu mengikuti lomba dalam Bunkasai di UGM untuk berdiri ke tengah-tengah lapangan upacara. Berjejeran di depan tiang bendera agar di beri selamat oleh seantero warga SMA Teladan.
"Anak-anak bapak yang bapak sayangi, minggu lalu sekolah kita berhasil menorehkan prestasi kembali, tidak lain adalah berkat usaha teman-teman yang sudah mengikuti lomba dengan sungguh-sungguh"
Pak Baskoro Adithama, selaku kepala sekolah kami memulai dengan kata-kata yang terdengar bangga dengan torehan prestasi anak didiknya, tentu saja itu kami.
"Bapak panggil anak-anak bapak untuk berdiri ke depan, biar teman-teman kalian iri dan bisa lebih terpacu lagi lihat kalian. Yang jomblo jangan iri soal pacar aja, soal prestasi juga harus ya mblo..Hehehe"
Pak Bas memang garing, tolong dimaklumi.
"Dari ekstra kulikuler Jurnalistik, berhasil meraih juara pertama dalam lomba mading budaya Jepang, sekaligus juara bertahan selama 4 tahun berturut-turut festival di gelar. Inilah mereka...Rina Hidayati Nur, Annisa Khaira, dan Araya Shofi Hasan yang mewakili lomba, beserta seluruh anggota eksjur silahkan maju kedepan.
Tunjukkan pesonamu nak!"
Eeemm...oke, pura-pura tak dengar saja kalimat akhirnya...
Riuh menggema di lapangan upacara pagi itu, tepuk tangan terdengar meriah dengan siulan-siulan bersahutan yang entah siapa pelakunya, jujur aku malu untuk maju kedepan dan di tontonin semua orang, tapi akan ku simpan sendiri rasa malu ku untuk saat ini, aku berjalan sedikit terseok karena perutku nyeri lagi, padahal kemarin sudah enakan.
Selanjutnya giliran para peserta lomba kategori lainnya yang dipanggil oleh kepala sekolah. Kami semua berdiri di depan tiang bendera dengan menghadap ke arah barisan siswa dan membelakangi guru-guru.
"Juga tak lupa bapak ingin ucapkan terimakasih untuk para anggota pengurus OSIS kita yang sudah bersedia membantu mengkoordinir teman-temannya selama event, silahkan maju juga ke depan"
Ucap pak Bas mengakhiri sesi panggil-memanggil ini.
5 orang pengurus inti OSIS berjalan keluar dari barisan kelas mereka menuju barisan kami, mereka membuat satu barisan baru di bagian paling kiri dengan ketua OSIS berdiri di posisi paling depan lalu yang lain mengambil tempat berurutan sesuai jabatan mereka di belakangnya.
"Rangga goblok! Kakehan cangkem! A*U!!" (Rangga goblok, kebanyakan bacot! A*jg!!) begitulah kira-kira artinya.
Teriakan yang sangat lantang itu dilontarkan seseorang yang tak jelas siapa, kemudian menjadi sebuah provokasi bagi yang lain. Mereka bersahutan mengata-ngatai Rangga sang ketua OSIS dengan kata-kata kasar yang waw...
Iya! di depan guru-guru! di depan kepala sekolah.
Mereka tak gentar.
Ku taksir itu adalah mereka yang suka di kantin belakang karena kesal pada Rangga sebab sering di adukan pada pak Baroto seperti yang Bayu katakan kemarin.
Nisa yang berdiri di sebelahku seketika membuang pandangannya padaku sesaat setelah mendengar aksi itu, aku juga refleks melihat ke arahnya yang nampak syok, lalu dengan entengnya aku hanya menaikkan bahuku dengan tampang tak tertarik. Jujur saja sekarang ini aku senang melihat si anak setan itu di permalukan.
Tak perlu aku mengotori tanganku untuk nampar dia karena segala omongannya pada Bimo.
Berbanding terbalik dengan pak Baroto yang langsung melotot berang dan seperti sudah gatal pengen nampar muka siswa nakalnya satu persatu, yaitu anak-anak yang kompak mengatai anak OSIS tadi, pak Bas justru hanya senyum tenang lalu mulai bicara untuk menenangkan kekisruhan murid-muridnya.
"Sudah...sudah...tenang, jangan bikin ribut di sekolah. Kalau ada masalah selesaikan baik-baik" titah pak Bas dengan suara nya yang seketika menjadi berwibawa, tidak lagi seperti tadi yang selalu mencoba lucu.
Anak-anak yang tadinya ribut sekali mengatai si Rangga, kini mulai senyap setelah mendengar pak Bas bicara. Entah sihir apa yang dimiliki pak Bas hingga bisa dengan mudah meredakan mereka.
Kemudian pak Bas segera melanjutkan lagi niatnya yang tertunda karena insiden barusan, beliau turun dari mimbar untuk menemui dan menyalami kami satu per satu dengan ucapan selamat yang ia ujarkan dengan penuh rasa bangga, disusul oleh seluruh jajaran guru yang mengikuti langkah pak Bas menyalami kami.
Panas matahari pagi menyilaukan mataku, membuat kepalaku sedikit pening, aku merasa sudah tak kuat berdiri di barisan ini dan untunglah salam-salamannya berakhir dengan cepat, kami di izinkan kemvali ke barisan kelas kami.
Aku bisa menangkap sosok Bimo di barisan belakang kelasnya, entah dia ikut-ikutan memaki Rangga tadi atau tidak, aku tak tau. Dia masih disana tanpa terlihat ada keinginan untuk menyapa aku, atau memandangku dari tempatnya berdiri seperti biasanya ia berlaku.
Dia masih marah.
Kepalaku berdenyut seiring dengan mataku yang perih dan buram, kutahan sebisaku agar air mata tak jatuh, kalau aku nangis disini bisa-bisa jadi perhatian semua kawan sekelasku. Aku berusaha meneguhkan hati, walaupun terasa perih dan berat sekali dadaku.
Kuputuskan menjaga air wajahku agar nampak biasa saja tanpa ada segurat kegalauan meski sekilas dipandang.
Upacara usai dan kami kembali ke kelas masing-masing, belajar seperti biasanya sesuai dengan jadwal pelajaran hari ini, guru mata pelajaran pun silih berganti menemui kami dengan segudang tugas yang sudah mereka siapkan.
Kini bel istirahat sudah berdentang, seolah mewakili keluh kami yang lapar sehabis belajar. Koridor seketika ramai oleh siswa yang berjalan ke arah kantin termasuk aku dan beberapa orang kawan sekelasku.
Aku sangat malas makan, jadi kuputuskan untuk minum jeruk hangat saja. perutku tambah nyeri sejak tadi padahal sudah minum obat maag dari UKS yang diberikan Sari.
"Gak makan Ray? nanti tambah parah maag nya" Dwi mulai khawatir melihat tampangku yang katanya nampak pucat.
"Gak Wi, kalo aku makan perutku tambah sakit" ujarku beralasan.
"Paling gak diisi dikit Ray, nih makan nasi uduk punyaku aja, 3 suap juga gak apa-apa" Sari ikut-ikutan membujuk.
"Yaudah..."
Aku sedang sangat malas berdebat, kau pasti tau rasanya seperti sudah tak punya tenaga hanya sekedar untuk bicara panjang lebar, hanya begitu saja sudah terasa lelah.
Sari menyuap 3 sendok nasi uduknya ke mulutku, sesuai janjinya tadi hanya 3 suapan, untuk yang ke-4 langsung ku tolak dengan gestur tanganku. Dia hanya berdecak.
Usai mengisi perut, kami kembali ke kelas sambil masih saling ngobrol, aku hanya menimpali sesekali karena sudah tak fokus, kepalaku mendadak sangat pening, dan pandanganku menggelap, ku kerjapkan mata agar bisa fokus menatap lantai ubin koridor di depanku, keringat dingin sudah membasahi kening seiring dengan perutku yang tambah nyeri luar biasa.
BRUK!
Aku terjerembab ke lantai ubin itu sebab tersandung sesuatu, lutut serta pangkal telapak tanganku sukses lecet terkena gesekan pasir dan ubin kasar. Sekilas tadi tubuhku serasa sangat ringan.
Lalu aku mendudukkan pantatku diatas lantai ubin dan mengubah posisi lututku yang tadinya menjadi tumpuan saat terjatuh, aku meringis kesakitan, bukan karena lecet pada lututku atau pada pangkal telapakku, tapi karena perutku yang semakin sakit membuat rasa perih dari luka lecet kecil itu tak terasa.
Dwi, Sari dan beberapa kawanku yang berjalan di depan tadi kompak panik lalu buru-buru menghampiri aku yang sedang menyadarkan punggung ke tiang koridor sambil memegangi perut. Keringat dingin mulai membutir lagi di keningku, bersamaan dengan wajahku yang semakin pucat. Ini sakit sekali dan fixed maag ku kambuh parah.
"YaAllah Rayaa...kenapa? dimana yang sakit?" Dwi panik dan nampak berkaca-kaca sambil meniupi lututku yang lecet, sedangkan Sari sibuk membersihkan pasir yang nempel pada pangkal telapak tangaku yang satunya.
Ia juga meracau cemas.
"Ayok bawa Raya ke UKS ajaa" pekik Sari di sela-sela kepanikannya sambil berusaha menegakkan badanku untuk membopong aku ke ruang UKS. Dwi juga coba membantu dari sisi kanan.
"Minggir...." Suara berat seseorang terdengar dan membuat semua kawanku menoleh ke arah sumber suara, setelah itu aku tidak tahu lagi yang terjadi. Mataku seketika gelap.
Aku pingsan.
To be Continue
Suara siapa hayooo??
Bimo nitip pesen, katanya jangan lupa tinggalin komentar dan review kamu, kalo gak dia gak jadi baikan sama Raya ah..
hehe dasar Bimo! Jangan ngancem gitu geblek. ck
maaf ya readers, emang suka gitu Bimo.