>>Nomor antrian 120, silahkan menuju teller dua<<
Begitulah mesin antrian memanggil nasabah yang menunggu giliran untuk dapat bertransaksi menggunakan layanan frontliner Bank Kring. Teller dua adalah Kinanti, ia sudah berdiri dan menyambut kedatangan nasabahnya dengan senyum manis.
Seorang ibu berusia empat puluhan tahun, namun masih terlihat cantik dan terawat menggunakan jilbab lebar itu, berjalan mendekati konter tempat Kinan berdiri. Baru akan meletakkan bukti transaksi penyetoran sejumlah uang, tiba-tiba dari arah belakang, datang seseorang yang menyerobot mendahului.
Ibu yang menjadi nasabah dengan nomor antrian 120 itu pun terlihat gondok.
"Permisi, Bu. Mohon maaf, ini giliran saya."
Ia tetap menegur dengan lembut. Si penyerobot antrian, ibu-ibu dengan sanggul tinggi, serta dandanan menor, tak lupa kebaya dan kain songket Palembang berwarna kuning yang dilampirkan di pundak, senada dengan kebaya yang ia gunakan, malah menatap sinis pada Ibu dengan nomor antrian 120 tersebut.
"Saya sedang terburu-buru," jawabnya acuh, lalu memalingkan wajah pada Kinan yang cekatan mengambil bukti transaksi penarikan yang sudah ia sodorkan. Tak lupa dengan buku tabungan.
"Loh mbak Kinan, ini gimana? Saya sudah antri lama, kok bisa-bisanya ibu ini yang didahulukan."
Ibu dengan nomor antrian 120 protes seketika. Ia tak terima dengan perlakuan Kinan. Rasanya tak adil. Harusnya, teller bisa mengendalikan situasi semacam ini. Tak layak membiarkan nasabah menunggu lama, lalu diserobot begitu saja. sementara pihak Bank, seolah membiarkan.
"Situ siapa? saya ini nasabah prima di sini, makanya bisa suka-suka saya!" kata ibu dengan kebaya kuning itu sambil dengan sengaja menggeser ibu dengan nomor antrian 120 ke belakang.
"Nasabah prima bagaimana maksudnya? sebagai sesama nasabah seharusnya Ibu harus bisa menghargai saya juga dong. Memangnya Ibu nomor antrian berapa?" tanya ibu dengan nomor antrian 120 mulai terlihat murka.
Ibu dengan kebaya dan songket kuning itu pun mengangkat dan memperlihatkan tangan kosongnya.
Seolah tak ingin percaya. Ibu dengan nomor antrian 120 menggeleng kesal.
"Bank macam apa ini? sama sekali tidak menghargai nasabah!"
"Mohon maaf ibu, bisa duduk saja dulu, setelah ini kami akan melayani ibu."
Kinanti menegur ibu dengan nomor antrian 120 lembut, walau menyisakan seringai kuda di wajah cantiknya. Tak bisa pula ia tutupi kekesalan atas ucapan ibu dengan nomor antrian 120 tersebut, yang mempertanyakan instansi tempat ia bekerja.
Ibu dengan nomor antrian 120 menatap sinis pada Kinan.
"Anda meminta saya untuk menunggu lagi, padahal ini adalah giliran saya. Saya sudah menanti lama, bahkan harus menunggu kalian selesai istirahat siang. Saya bahkan hendak menyetorkan dana perusahaan yang tidak terlalu kecil saya rasa. Hah! entah kenapa suami saya harus memilih bank ini sebagai tempat menyimpan dana."
Ibu dengan nomor antrian 120 mencoba menahan amarah, ia menarik nafas dalam lalu berbalik dan merogoh ke dalam tas samping yang ia kenakan, hendak menggapai telepon genggam.
Kinan tidak tahu berapa jumlah yang hendak disetorkan oleh ibu dengan antrian nomor 120 tersebut. Ia bersikap seolah tak peduli, dan melayani ibu dengan kebaya kuning tadi. Tak lama, pimpinan grup Kinan keluar, memberikan Otorisasi untuk pengambilan dalam jumlah di luar wewenang teller.
"Heh, memangnya berapa dana yang tak sedikit yang mau situ setor?"
Si ibu dengan kebaya kuning menyolek lengan ibu dengan nomor antrian 120, yang sudah membelakanginya, dan sedang sibuk melihat telepon genggamnya.
Ibu dengan nomor antrian 120 berbalik, wajahnya terlihat masam. "Anda bertanya pada saya?"
"Ya, situ!"
Dengan emosi yang hampir tak terkontrol, ibu dengan nomor antrian 120 mengangkat kertas transaksi penyetoran, lalu meregangkan untuk memperlihatkan secara jelas pada orang yang bertanya. Sekaligus pada teller yang sudah membuatnya gondok itu.
"Li… lima… pu… puluh…"
"Ya, lima puluh juta. Dan uangnya ada di dalam tas saya ini. Apa anda mau lihat?"
Ibu dengan nomor antrian 120 tegas memotong ucapan ibu dengan kebaya kuning, yang tampak gelagapan melihat nominal yang hendak ia setorkan.
Kinanti dicolek oleh pimpinan grupnya.
"Apa yang terjadi? Itu kan istri Pak Adit, pimpinan Malik Estate. Kacau loe. Malik Estate baru dapet dananya dari funding officer tiga bulan lalu. Masa loe nggak tau?"
Pimpinan grup berbisik pada Kinan.
"Nggak tau gue."
Namun, jawaban dari sang teller benar-benar membuat darah pimpinan grupnya menggelegar.
"Ibu Maya, mohon maaf. Mungkin bisa saya bantu langsung di ruangan saya saja."
Dengan sigap, pimpinan grup tersebut menyusul ibu dengan nomor antrian 120, yang bernama Maya dan membawanya masuk ke dalam ruangannya.
***
***
Maya mengeluarkan keluhannya atas kinerja Bank Kring, pada Kartika pimpinan grup dana.
"Sejujurnya, saya menolak berurusan dengan Bank manapun. Namun, karena suami saya berniat membantu pegawai Mbak Kartika yang sangat sering datang ke kantor membujuk agar menyimpan dana pada Bank ini. Saya pikir, ya sudahlah. Tetapi, saya tidak menyangka, begini tingkah polah Bank Kring sekarang."
Kartika hanya mampu mengangguk dan tersenyum kecut.
"Saya kenal dengan Dirutnya, Bapak Toni Hermawan. Apa perlu saya sampaikan keluhan saya langsung pada beliau?"
"Oh, jangan ibu. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian barusan. Saya berjanji, untuk seterusnya urusan ibu akan diperlancar. Ibu Maya bisa langsung menemui saya jika perlu apa-apa."
Kartika berkeringat dingin dibuatnya.
"Saya hanya tidak ingin mengganggu nasabah lain, karena merasa diprioritaskan. Tapi, ternyata, justru malah saya yang dipecundangi!"
"Iya ibu, sekali lagi saya mohon maaf."
"Mbak Kartika sebagai pimpinan, harusnya bisa mengatasi bawahan. Beritahukan tata cara dan tata krama yang baik pada setiap nasabah. Tolonglah, hargai setiap orang yang ingin berjalan dikoridor yang benar. Jangan bedakan nasabah, sama saja toh, manusia juga."
"Lagi pula, apa bedanya nasabah yang menabung sedikit dengan yang dananya banyak di sini. Namanya kan tetap nasabah. Bank ini takkan pernah ada kalau tidak ada nasabah yang bertransaksi di sini."
Maya kemudian menarik nafas dalam.
"Saya tidak jadi setor."
Kartika terlonjak shock. "Loh, Bu. Saya bisa bantu ibu dari sini kok."
Maya tak menggubris, ia lalu meraih telepon genggam yang berdering dari dalam tas.
# Sayang calling#
"Assalamualaikum, Mas."
{Waalaikumsalam, Dek. Gimana udah selesai?}
"Adek nggak jadi setor, ada trouble. Ini Putra sudah di parkiran katanya, Mas. Lagian jam kas mereka juga sudah tutup."
Maya melirik jam di pergelangan tangan. Baru jam dua siang. Bagaimana bisa jam kas Bank Kring sudah tutup saja. Ia hanya kesal, dan Adit pun mengerti.
{Oh begitu. Ya sudah, kamu jadi ke sini kan, Dek. Temani Mas lihat lokasi pembangunan kita yang baru.}
"Iya, Mas."
{Take care sayang. Assalamualaikum.}
"Waalaikumsalam."
Kartika rasanya tak sabar hendak membujuk Maya kembali, tapi, Maya malah masih sibuk dengan handphonenya. Kali ini, ia akan menelepon Putra, anaknya.
"Dimana, Bang?"
{Parkiran, Bun.}
"Jemput Bunda ke dalam."
{Tunggu ya Bunda.}
Dan saat telepon genggam itu dimasukkan ke dalam tas. Kartika nampak akan mengatakan sesuatu pada Maya.
"Sepertinya, besok saja saya kembali. Anak saya sudah datang."
Maya seketika memotong, tanpa didahului oleh Kartika.
"Itu transaksinya hanya sebentar kok, Bu Maya. Saya bisa uruskan saat ini juga. Sebentar ya, Bu."
Kartika segera berdiri, dan memanggil teller yang sedang tidak ada transaksi. Sialnya ternyata Kinanti lagi.
"Kenapa mesti gue?"
"Tolongin dong, kan ini ulah loe juga. Gue udah usaha nahan dia!"
Dengan menggerutu Kinanti masuk ruangan pimpinannya.
"Mana setorannya?"
Kartika pucat pasi mendapati perlakuan semakin buruk dari Kinan untuk nasabah yang sudah susah payah ia bujuk rayu agar mau menyetorkan dananya.
Tak ubah Kartika, Maya bahkan lebih tidak percaya, bahwa seorang teller bisa bersikap searogan ini. Gayanya sok sekali, tanpa basa-basi langsung saja menanyakan uang.
"Ini kenapa mbak Kartika? Saya nggak minta dia datang loh, saya bilang tidak jadi setor!"
Maya tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalan dari cara bicara ataupun raut wajahnya.
"Gimana sih ini!"
Sergah Kinan tak kalah sebal.
Kartika mendengus, ia menatap Kinan murka. Dan teller itu pun balas menatapnya tak kalah garang.
Maya yang berada di antara mereka, benar-benar dibuat tidak percaya dengan semua ini. Ada apa dengan Bank Kring? yang dulu pernah menjadi tempat ia bekerja, sebelum kasus video yang tidak ada apa-apa dan dibuat menjadi video yang ada apa-apanya, diviralkan, sehingga membuat karirnya hancur.
"Ya udah, balik loe sana!"
Kartika yang tadi duduk di kursinya, kemudian berdiri di samping Kinan, untuk membisikkan kalimat tersebut. Ia jelas sangat kesal dengan sikap Kinan yang susah sekali diatur.
"Nggak loe suruh, gue juga bakal balik!"
Tapi Kinanti malah tak beranjak. Ia seolah menantang Kartika, pimpinannya.
"Silahkan balik saja, Mbak Kinan, saya tidak butuh anda."
Maya dengan menekan amarah sekuat yang ia bisa, akhirnya dapat membuat Kinan beranjak dari tempat ia berdiri melawan Kartika.
Kinan keluar dengan kesalnya, hingga tak sengaja menabrak seseorang yang baru saja akan masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Maaf."
Suara pemuda itu membuat Kinan memalingkan wajah menatap ke arahnya.
Ternyata Putra, yang langsung terpana melihat kecantikan Kinan, walau dalam keadaan sedang kesal sekali pun.
Sementara Kinan, tak bereaksi apa-apa, lalu buru-buru pergi, saat suara Maya memanggil anaknya itu.
"Bang, ayo kita pulang."
Maya melihat Kinan pergi saat sadar ia akan mendekat. Tak mengapa, justru bagus. Gadis itu membuatnya sangat jengkel. Bagaimana bisa, dia diterima di Bank ini? Apa cuma cantik saja modal untuk bisa bekerja di sini sekarang?
"Putra."
Yang disebutkan namanya terkejut. Ternyata ia sampai tidak menyadari kedatangan Bundanya, hanya karena terpesona pada Kinan.
***
***
Hallo...
Annyeong haseyo...
Ketemu lagi... hehehe... Apakah ada saran dari pembaca semua? atau para reader masih menerima dengan lapang dada ceritanya.. hehehe...
Gomawo...
Gomapta...
Gomapseumnida...
Kamsahamnida...
Thank you...
Terima kasih...