Amara menatap gadis yang saat ini duduk di hadapannya. Gadis yang merupakan sekretaris dari suaminya, terlihat sangat polos saat ini. Tanpa sadar Amara menarik sudut bibirnya.
Desy menatap sekeliling, mulai menilai cafe yang dipilih oleh Amara. Ia cukup menyukai suasana tempat ini. Menurutnya, sangat menenangkan.
"Siapa namamu?" Tanya Amara membuka pembicaraan.
Desy langsung memusatkan pandangannya pada Amara. "Desy, Ibu bisa memanggil saya Desy." jawabnya.
Amara mengangguk-angguk. "Kamu sudah lama bekerja menjadi sekretaris Daneil?" Kembali Amara melayangkan pertanyaan.
Sempat mengernyit, pada akhirnya Desy mengangguk. "Lumayan Bu, sekitar dua tahunan yang lalu."
Amara baru saja akan membuka suara kembali saat seorang pelayan datang membawakan pesanan yang sebelumnya sudah mereka pesan. Setelah pelayan itu berlalu, Amara kembali memandang Desy.
"Makanlah dulu," ujarnya mengingat kini sudah waktunya jam makan siang.
Mendengar itu Desy mengangguk. Ia kemudian mengambil sebuah pancake pisang dan mulai menyantapnya. Um... Ini sangat enak menurutnya. Selera Istri bos memang tidak perlu diragukan lagi.
Sedangkan itu, Amara sendiri hanya meminum minumannya. Tak berminat untuk memakan salah satu makanan yang sudah ia pesan. Tatapannya tak lepas dari Desy yang saat ini terlihat sangat menikmati cake-nya.
Desy yang mulai menyadari jika dirinya sedari tadi di perhatikan oleh Amarapun dengan segera menelan makanan di mulutnya, lalu menyedot minumannya. Melirik pada cake Amara yang tak disentuh, kemudian menatap si empu.
"Ibu tidak makan?" Tanyanya penasaran.
Amara melirik pancake-nya, kemudian menggeleng. "Saya masih kenyang, kamu saja lanjutkan makanmu." ujar Amara.
Desy mengangguk. Kemudian melanjutkan memakan cake-nya. Jujur saja, jika saat ini Ia sangat kelaparan karena berkeliling mencari hadiah yang pas untuk Neneknya yang berulang tahun nanti malam.
Saat melihat piring pancake Desy sudah kosong, Amara mendorong piring pancake-nya. "Makanlah," ujarnya.
Desy menggeleng, menolak. "Saya sudah kenyang Bu, kalau boleh mau saya bungkus saja untuk adik-adik saya nanti." ucapnya kemudian meringis, menyadari apa yang baru saja Ia ucapkan.
Amara mengernyit. "Adik kamu berapa?" Tanyanya penasaran.
"Dua Bu, satu perempuan berumur tujuh tahun, satu lagi laki-laki berumur lima tahun." jelasnya.
Amara mengangguk. "Saya juga punya Adik, usianya tujuh belas tahun."
Desy mengangguk. Ia tahu hal itu. Bukankah Amara pernah membawa Adiknya ke kantor.
"Saya tahu Bu,"
Amara tersenyum. "Adikmu ada dua, tapi ini cuman satu." ujarnya menunjuk pancake di piringnya.
Desy menggeleng tak masalah. "Nanti biar dimakan berdua,"
Lagi-lagi Amara dibuat tersenyum. Wanita itu kemudian memanggil seorang pelayan.
"Saya mau yang seperti ini tiga dibungkus ya," ujarnya pada pelayan perempuan, yang langsung mengangguk.
Desy terdiam. Ia ingin bertanya apakah itu untuk dirinya tapi kalau bukan akan sangat memalukan karena Ia seperti mengharapkan. Tapi jika itu memang benar untuk dirinya, kenapa malah dipesankan yang baru.
"Hei!" Desy tersadar dari lamunannya saat Amara menjentikkan jarinya di hadapannya.
"Maaf Bu, pesan banyak sekali untuk Pak Daneil ya?" Tanyanya meringis malu karena mungkin saja setelah ini Ia dianggap terlalu ingin tahu.
Amara mengernyit, sebelum kemudian menggeleng. "Ini untuk Kamu," ujarnya.
"Eh, tapi Bu. Tidak usah, mana banyak banget."
"Itu untuk kedua adik kamu dan nenek kamu,"
Desy terperangah, mengetahui betapa baiknya wanita di hadapannya. "Tapi, Nenek saya nggak bisa makan manis Bu." ujarnya kemudian.
"Owh.. kalau begitu itu untuk Kamu,"
Desy mengangguk. "Terimakasih." ucapnya.
Amara mengangguk. "Tidak masalah,"
"Em... By the way bisa nggak kamu tidak memanggilku Ibu, kesannya Aku tua banget. Padahal kita seperti hanya seumuran," pinta Amara disertai dengan kekehan.
Desy terdiam mendengar itu. Ia juga berpikir jika mereka mungkin saja hanya seumuran, tapi wanita itu Istri bosnya akan tidak sopan jika Ia memanggil tanpa embel-embel Ibu.
"Tapi anda Istri Bos Saya, akan tidak sopan jika Saya memanggil Anda tanpa Ibu." ujarnya tak enak.
"Boleh nggak kalau Saya meminta Kamu menjadi temanku?"
Mata Desy membola. Teman? Ia jadi teman dari istri bosnya? Apakah ini mimpi?
"Saya? Jadi teman Ibu?" Tanyanya tak percaya.
Amara mengangguk mantap. "Iya,"
"Tapi saya ini bawahan suami Ibu Lo?"
"Kenapa memangnya? Bukan suatu hal yang besar untuk di perdebatkan," ujarnya.
Desy tersenyum. "Ibu serius?"
Kembali Amara mengangguk. "Iya, mulai sekarang panggil Amara ya?"
Desy mengangguk. "Iya,"
"Desy, boleh saya bertanya tentang Daneil?" Tanya Amara kini dengan wajah yang lebih serius.
Desy mengernyit. Bukankah Amara adalah istrinya, kenapa malah bertanya dengannya. Tapi tak urung Ia mengangguk.
"Boleh kamu menceritakan tentang Daneil, sepanjang kamu bekerja dengannya?"
Desy mengerjap. "Maaf tentang apa ya Ra? Setahu Aku Pak Daneil itu sangat em... Dingin." ujarnya.
Amara mengangguk, kemudian menunduk dengan wajah murung. Terlihat tak puas dengan jawaban Desy.
Desy yang melihat itu, entah kenapa mendadak menjadi tak enak. "Tapi kalau Aku boleh bercerita, Aku ingin menceritakan beberapa hal tentang Pak Daneil pada Kamu Amara."
Amara langsung mendongak. "Apa?" Kedua bola matanya memancarkan rasa penasaran yang sangat kentara.
"Tapi, saya harap Kamu tidak merasa sedih setelah mendengar ini." ujarnya dan mendapat anggukan pelan dari Amara.
"Kamu ingat, kalau Kamu sering mengantarkan makan siang untuk Pak Daneil, suami kamu?" Tanyanya menatap Amara seksama.
Amara mengangguk. "Ya,"
"Dia tidak pernah memakan makanan pemberian kamu, dia selalu membuangnya atau terkadang memberikannya kepadaku atau cleaning servis." Beritahu Desy dengan sorot mata kasihan.
Amara terdiam untuk beberapa saat, rasanya ah... Sangat sakit sialan! Jadi, selama ini makanan yang Ia bawakan selalu di berikan pada orang lain? Bahkan yang lebih parah, dibuang. Mendadak wajah Amara menjadi tanpa ekspresi.
"Apa lagi yang kamu tahu?" Tanyanya kini dingin, terdengar sangat marah dalam ucapannya.
"Perempuan itu, perempuan yang selalu datang ke kantor Pak Daneil."
Kening Amara mengernyit. "Siapa?"
"Aku juga tidak tahu dia siapa, tapi jika tidak salah namanya Alexa."
Alexa? Amara merasa nama itu tak asing. Sekilas Ia mengingat pernah mendengar nama itu. Tapi, kapan? Di mana?
Ah, nama yang dulu mengirimkan pesan untuk Daneil. Pesan yang terdengar sangat intim, layaknya pasangan suami istri. Jadi, wanita itu juga sering ke kantor suaminya.
"Apa hubungannya dengan Daneil?"
"Aku tidak tahu, Karena saat Aku masuk di perusahaan suamimu. Wanita itu sudah terlebih dahulu mengenalnya. Jadi, Aku pikir dulu dia adalah pacar suamimu. Makanya Aku sempat kaget sewaktu Kamu datang untuk pertama kali ke kantor dan mengatakan jika kamu itu istri dari Pak Daneil." Jelasnya.
Amara mengangguk. "Kamu tahu apa yang mereka lakukan jika wanita itu datang?"
Desy terperangah. Tentu Ia tahu apa yang mereka lakuka saat wanita jalang itu datang. Ya, menurut Desy. Alexa kini tak lebih dari seorang jalang.
Melihat Desy yang tak menjawab pertanyaannya dengan raut wajah tak enak itu, membuat Amara dapat menyimpulkan sendiri jawabannya.
"Apa mereka sering melakukannya?"
Desy hanya mengangguk pelan.
"Ouh..." Amara menarik nafas dalam-dalam, ketika sesak tiba-tiba menghimpit dadanya.
Untuk beberapa saat hening. Amara terlihat berusaha menerima fakta yang baru saja Ia ketahui. Sesekali terdengar tarikan nafas dari wanita itu.
"Em... Amara boleh Aku tahu, bagaimana Kamu bisa menikah dengan Pak Daneil. Ah, maaf Aku terlalu penasaran ya. Ak--ku hanya--"
"Kami dijodohkan," potong Amara dengan bibir tersenyum, senyum yang terlihat pedih.
Pantas saja, harusnya Desy mengetahui itu. Pak Daneil terlalu dingin untuk ukuran lelaki. Belum lagi, Ia sempat pernah mendengar jika bosnya itu paling anti berkomitmen.
"Terimakasih untuk informasinya, boleh Aku meminta nomor ponselmu?" Tanya Amara kemudian.
Desy mengangguk, menerima ponsel yang diulurkan oleh Amara. Ia mulai mengetikan sederen nomor di sana. Setelah selesai Ia kembalikan ponsel itu pada sang pemilik.
"Aku akan mengantarmu pulang," ujar Amara bangkit berdiri, diikuti oleh gadis itu.
Sebelum keluar dari cafe. Amara terlebih dahulu ke kasir, membayar makanan mereka dan mengambil cake yang tadi Ia pesan untuk dibungkus. Lalu, Ia berikan kantung kresek berisi cake itu pada Desy.
"Jangan menatapku kasihan seperti itu, Aku tidak apa-apa." ujar Amara tersenyum pada Desy yang sedari tadi menatapnya kasihan.
"Ah, tentu."
"Rumahmu di mana?"
"Nanti biar Aku tunjukan jalannya."
Amara hanya mengangguk.
***
Daneil memfokuskan pandangannya pada seseorang yang saat ini berdiri sekita satu meter di depannya sana. Di tangan orang itu memegang sebuah bola. Di mana Daneillah yang saat ini memegang pemukul baseball.
Sebelum kemudian suara peluit bersamaan dengan orang di depan sana melambungkan bola. Daneil berlari dengan pandangan pada melambungnya bola. Dan, Yap! Daneil berhasil memukul bola itu hingga melambung tinggi jauh. Dengan segera lelaki itu berlari.
Tak berapa lama, permainan baseball itu berhenti dengan kemenangan di tangan tim Daneil. Tercetak jelas wajah puas Daneil.
"Memang tidak perlu diragukan lagi, kemampuan anda Pak Daneil." ujar seorang lelaki paru baya. Yang hanya dibalas senyuman tipis oleh lelaki itu.
"Ya, sudah selalu memenangkan tender besar. Dan dalam permainan baseballpun kau tetap juaranya," yang lain ikut menimpali. Kemudian semua yang ada di sana tertawa.
Di saat para rekan-rekan kerjanya itu berlalu menghampiri istri mereka masing-masing yang sudah siap membawakan minumana. Maka hanya Daneillah yang sendirian, tak membawa istrinya. Lelaki itu langsung mengambil minuman yang memang sudah disediakan untuknya.
Sejujurnya Daneil lebih senang menghabiskan hari minggunya di ruang kerjanya. Tapi, mengingat jika kini ada sosok lain yang juga tinggal di rumahnya membuat Daneil memutuskan untuk mengiyakan ajakan dari salah satu rekan kerjanya untuk bermain baseball.
"Pak Daneil, kemana istrimu? Aku dengar kamu sudah menikah, sedikit terkejut karena Aku merasa tidak menerima undangan darimu." tanya seorang lelaki yang terlihat paling seumuran dengannya. Di sebelah lelaki itu seorang wanita yang tengah hamil berdiri, bisa Daneil tebak jika wanita itu pastilah istrinya.
"Ah ya Pak Daneil, Aku juga sempat mendengar rumor itu." Timpal rekan kerja Daneil yang lain.
"Rumor itu tidak benar," ujar Daneil tersenyum sinis.
"Oh, jadi kau belum menikah." Angguk lelaki yang tadi bertanya.
"Kenapa belum juga menikah, padahal usia anda sudah sangat matang untuk menikah Pak Daneil?" Kembali suara tanya terdengar.
"Aku tidak berminat,"
Jawaban yang membuat semua orang di sana terperangah. Saling pandang, sebelum kemudian menggeleng pelan. Sudah bukan rahasia di kalangan mereka, jika Daneil adalah pebisnis yang tak menyukai sebuah ikatan pernikahan.
Nb. Gimana nih? Gemes nggak sama Daneil?
Atau sama Desy yang ngasih tahu ke Amara?
maaf kalau besok mulai jarang update, soalnya aku lagi banyak urusan di real life aku😞
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius