Haris memainkan sebuah gitar ketika sedang berada di kantin, sehingga beberapa anak yang sedang ada di sana memperhatikannya yang sedang memainkan alat musik tersebut sambil menyanyikan beberapa lagu yang bisa dibilang lagu yang sudah cukup lama sejak perilisannya.
"Aishiteru bukti cinta untukmu … namun yang kuberi tak pernah kau hargai. Demi cinta kita ku korbankan segalanya, sem-"
"Lo kenapa sih, Ris? Galau?" Jian memotong nyanyian Haris.
"Gak tau ih, perasaan gak gue apa-apain kok malah galau? Aneh." Haris meringis saat Rein mencubit pinggangnya.
"Shh sakit, Cinta! Gue nyanyi lagu itu bukan berarti gue galau ye. Mendung juga belum tentu hujan, kok?" Haris kembali memetik senar gitarnya dan melanjutkan nyanyiannya yang sempat terhenti itu.
"Btw, itu gitar siapa? Kek kenal gue." Jifran memperhatikan gitar yang sedang Haris mainkan itu.
"Ini gitar gue. Ris, gue minta balik! Gue mo ngamen." Mereka yang ada di meja itu langsung menatap seseorang yang tiba-tiba datang untuk mengambil gitarnya kembali.
"Oh punya lo, Lin. Pantes aja kek pernah liat," ucap Jifran.
"Jadi lo minjem punya si Galin? Elah gak modal," cibir Bastian.
"Gue nyewa 3 rebu perjam, yoi, Lin?"
"Dikira warnet kali, ya. Dahlah, males gue ketemu kalian." Galin langsung melangkah pergi setelah ia mendapatkan gitarnya kembali.
"Dikira bapak lo bangga lo kek gitu, ha?!" Rein berdiri dan ia berteriak ke arah Galin yang sudah melengos pergi.
"Bangga dong, gue kan ganteng!" Rein meringis mendengar responan dari Galin. Sedikit membahas tentang Galin, ia merupakan teman sekelas Jifran. Ia memiliki perawakan yang tampan, tinggi dan berkulit putih. Ia juga merupakan kapten basket dan tentunya ia juga sangat famous.
Bel masuk pun berbunyi setelah setengah jam mereka beristirahat. Semua murid yang ada di kantin langsung berhamburan menuju ke kelas mereka masing-masing.
"Rein, sekarang pelajaran apa, sih?" Tanya Haris ketika mereka sedang menaiki tangga yang menuju ke kelas mereka di lantai 3.
"Matematika peminatan," jawab Rein. Haris mendengarnya saja sudah malas. Ingin rasanya ia bolos saja tapi ia sudah berjanji pada Rein untuk tidak membolos lagi.
"Anak-anak, hari ini kita latihan saja ya. Soalnya Ibu lihat dari hasil ulangan harian minggu kemarin nilai yang KKM hanya ada 4 orang saja. Jadi, ibu tidak akan melanjutkan materi kalau kalian belum pada mengerti tentang materi ini."
"Baik, Bu."
Rein melihat ke arah belakang tepatnya pada meja Haris. Ia melihat Haris nampak sama sekali tak memperhatikan ke depan, ia hanya terus memainkan bulpoin yang sedang ia genggam itu.
"Ibu tulis dulu ya, soalnya." Welin selaku guru MP langsung menulis beberapa soal di papan tulis. Ini adalah kesempatan bagus untuk Rein mengirimkan pesan pada Haris.
'Ting!'
Haris langsung membuka handphonenya dan melihat ada pesan masuk dari Rein.
My Wife: Ris, perhatiin dong! Gue gak mau ya lo dikeluarin gara-gara lo gak merhatiin. Kek gak tau bu Welin aja, lo.
Haris langsung melihat ke arah Rein yang ternyata sedang memperhatikannya. Haris membuat simbol ok dengan tangannya. Setelah Rein melihat itu ia pun langsung kembali fokus ke depan dan mulai mencatat soal yang sudah tertera di papan tulis.
"Oke, kalian tulis dulu lalu kerjakan, ya. Kalau semuanya sudah beres nanti kita akan bahas sama-sama."
"Rein, presentasi Sejarah giliran kelompok lo kan hari ini?" Tanya Sheril dengan berbisik pada Rein yang ada di sampingnya dan Rein hanya menganggukan kepalanya mengiyakan.
• • •
"Haris! Haris tunggu dulu!"
Haris bersandar pada motornya dan Rein berdiri tepat di hadapan Haris dengan posisi mereka saat ini yang masih berada di parkiran sekolah. Haris melipat kedua tangannya di dada sambil menatap wajah Rein.
Haris mengeluarkan sebuah novel romance yang tak sengaja ia temukan di dalam tas Rein saat ia hendak meminjam bulpoin pada Rein di saat jam pelajaran terakhir. Rein yang menyuruh Haris untuk langsung mengambilnya sendiri dari dalam kotak pensil miliknya karena saat itu Rein sedang sibuk mempersiapkan presentasi dengan kelompoknya. Karena Haris penasaran dengan novelnya, akhirnya ia membuka dan sedikit membaca novel tersebut. Dan betapa terkejutnya ia saat membuka cepat satu persatu halamannya. Haris menjadi kesal.
Haris memberikan kembali novelnya pada Rein. "Ayo kita pulang sekarang!"
"Haris, nanti dulu!" Haris yang saat itu hendak memakai helm pun mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Rein.
"Apa lagi sih, Rein?" Tanyanya malas.
"Haris jangan ngambek kek gitu dong. Inikan udah lama."
"Iya udah lama. Tapi lo masih simpen, udah itu lo bawa ke sekolah. Gue gak suka. Kalo emang misalnya lo pengen kek gitu, lo harus usahain agar gue gak pernah tau, Rein."
Karena dengan sebegitu cintanya Rein terhadap Sakti waktu itu, sehingga ia niat sekali mencoret nama pemeran utama dalam novelnya dan menggantinya dengan namanya dan juga Sakti. Di setiap lembarnya ia coret tidak ada satupun yang terlewat.
"Lo wajarin aja dong, Ris. Gue suka sama dia gak sebentar. Jadi wajar aja kalo gue sampe kek gitu. Tapi itu udah lama, lo harus ngerti! Lagian gue bawa ke sekolah juga karena gue lagi baca ulang novelnya kok bukan bernostalgia atau apa."
Haris menghela napasnya lalu kembali mengambil novel itu di tangan Rein. "Gue bakal ambil ini dan gak akan pernah gue kasih lagi sama lo."
"Lo mau apain novelnya?"
"Lo gak perlu tau." Suasananya semakin menegang, mereka berdua saling menatap serius satu sama lain.
"Ck, lo kalo lagi cemburu ngeselin banget sumpah." Rein berdecak sebal seraya menatap kesal ke arah Haris.
"Makannya, jangan bikin gue jealous!"
"Tau dah, gue gak ada niatan sama sekali. Lo nya aja yang kepoan. Udah ah gue pulangnya naik taxi aja. Asal lo tau, gue benci sama lo tau, gak?!" Rein berjalan meninggalkan Haris di parkiran.
Rein melihat Haris sama sekali tidak menahannya ataupun mengikutinya. Ia seperti tidak peduli dengan kekesalan Rein. Sudah kali kedua mereka bertengkar hanya karena sebuah novel milik Rein dan ia sangat tidak suka akan hal itu. Ia tidak suka akan kecerobohannya dan ia tidak suka akan Haris yang terlalu cemburu pada masalalu.
Selama di perjalanan pulang, Rein terus-menerus menyeka air matanya yang jatuh. Rein merasa sangat kesal pada pria itu. Sebenarnya ia mengira jika Haris akan berusaha memperbaiki semuanya di tempat itu juga. Tapi, rupanya dugaan Rein benar-benar salah. Haris dan dirinya ternyata sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah untuk kebaikan hubungan mereka saat itu.
"Sebegitu salahnya gue di mata lo, Ris? Lo bahkan sampe gak meduliin gue pulang sendiri kek gini. Lo gak ada niatan gitu buat nyusul gue dan ajak gue buat ngelurusin semuanya? Lo bener-bener gak ngerti, lo bener-bener cowok yang gak peka, kenapa lo gak paham sama perasaan gue, Ris?"
•To be Continued•