Descargar la aplicación
6.77% Angkasa dan Lily / Chapter 29: 29. Hujan Air Mata

Capítulo 29: 29. Hujan Air Mata

"Lily!" Satu bentakan itu berhasil membuat Lily menoleh tanpa melepaskan jambakannya. Angkasa menghampiri Lily dengan emosi yang beruap-uap.

"Siapa lo? Gak usah ikut campur." Ucap Doni yang tidak mengenali Angkasa.

"Lepasin Doni Ly." Lily tak mengindahkan kata-kata Angkasa, menatap Angkasa garang.

Lily beralih menatap seorang gadis yang berdiri diantara para kerumunan. Ya, gadis yang pernah berduet bersama Angkasa.

Lily kembali memperhatikan Angkasa yang tidak menggunakan penampilan cupunya. Apakah Angkasa tadi pergi terburu-buru dan berbohong untuk mengurus Kak Sean hanya karena bertemu Sindi?

Sindi menghampiri Angkasa dan menggandeng lengannya. Lily tak percaya bahwa Angkasa diam saja saat Sindi melakukan itu.

"Kamu gak denger omongan Angkasa Ly?"

"Lo Angkasa?" Lily menguatkan jambakannya agar Doni berhenti bertanya. Rena saat ini sama bingungnya dengan Doni. Sedangkan Yuli yang sudah tahu masih berusaha membujuk Lily agar berhenti bertengkar.

"Lo ngapain disini sama Angkasa?" Tanya Lily pada Sindi.

"Aku? Aku pemilik cafe ini. Kenapa?" Perlahan Lily melepaskan jambakannya, begitu juga Doni. Lily menatap teman-temannya, kenapa mereka tidak bilang cafe ini milik Sindi, kalau tau Lily tidak akan sudi menginjakan kaki kesini.

Sungguh, sorot kekecewaan tidak bisa Lily sembunyikan saat ini. Bahkan sesering apapun Lily memikirkannya, Lily tidak bisa menemukan alasan dibalik perbuatan Angkasa padanya.

"Selama ini lo nyembunyiin penampilan lo yang kayak gini Sa?" Tanya Doni yang kemudian ditahan oleh Yuli, agar tidak bertanya lebih.

Lily menatap Angkasa dengan mata yang berkaca-kaca, rasanya ingin meluapkan semua isi didalam kepalanya.

Suasana disekitar semakin ramai, saat menyadari sang juara kontes menyanyi berada disana. Lily mengambil tasnya ketika sinar dari kamera mulai menyoroti mereka.

Menatap Angkasa sebentar yang sama sekali nampak tidak terganggu dengan gandengan tangan Sindi. Lalu segera pergi dari sana diikuti Yuli dan Rena.

Doni mendekat kearah Angkasa. "Lo utang penjelasan sama gue." Setelah mengatakan itu Doni pergi menyusul teman-temannya yang sudah keluar dari cafe.

*

Tidak ada satupun dari Rena dan Yuli berani mengatakan sesuatu pada Lily. Mereka mengikuti langkah cepat Lily dari belakang.

Salah Lily, berharap pada orang yang tidak memiliki hubungan apapun padanya. Papanya saja bisa melukainya apalagi orang luar.

Amarah Lily memuncak, memang satupun dari semua orang di dunia ini tidak dapat dipercaya. Satu luka yang didapatkannya membuka semua luka yang hampir tertutup.

"Ly, kamu gak apa-apa?"

"Kok kalian gak bilang sih, kalau yang punya cafenya Sindi?!"

Lily melirik Rena dan Yuli yang terlihat menjaga jarak dengan Lily. Tatapan mereka terlihat ketakutan bagi Lily. Namun Lily tak bisa menyalahkan mereka, sikap Lily yang meledak-ledak seperti inilah yang membuat semua orang menjauh darinya.

"Kalian sini aja tunggu Doni ambil mobil, aku duluan."

"Tapi Ly."

Lebih baik Lily segera pergi dari sana, tidak ingin melihat tatapan-tatapan tidak menyenangkan dari semua orang yang melewatinya.

Berjalan di jalanan kota di sore hari, langit mulai menggelap seperti hatinya sekarang. Lily membiarkan kakinya terus melangkah membawanya kemanapun.

*

Lily memasuki rumahnya, berjalan dengan cepat mengabaikan mama dan adiknya yang berada di ruang tamu. Entahlah, Lily hanya ingin cepat-cepat menjatuhkan dirinya ke ranjang empuk dan mulai memejamkan mata. Menidurkan jiwa dan raganya yang kelelahan.

Lily terlalu lama berjalan, saat sadar Lily sudah berada didepan rumah. Lily terbangun, duduk di pinggiran ranjang melihat kedua kakinya yang mati rasa.

Tak berniat untuk bebersih diri atau mulai membuka buku, Lily hanya ingin memejamkan matanya secepat mungkin.

Rohnya hampir saja pergi ke dunia mimpi ketika Aster datang mengetuk pintu kamar.

"Kenapa dek?"

"Kalau mau tidur lepas sepatunya dulu kak." Lily melirik kakinya, ah dirinya terlalu malas melepasnya.

"Tapi disuruh turun sama mama, mama mau ngomong."

Lily bangkit dengan malas. Kakinya sudah minta ingin di istirahatkan. Tapi menolak perintah mamanya bukanlah gaya Lily.

Lily melihat mamanya dan Aster sudah ada disana. Meja makan terlihat rapi, sama sekali tidak ada makanan tersaji. Sebenarnya Lily sangat lapar saat ini.

Begitu Lily duduk, Lily segera memijat kedua kakinya yang berhasil melangkah dengan baik walaupun rasanya seperti remuk.

"Mama mau bicara apa?" Tanya Aster to the point. Sepertinya Aster sama penasarannya dengan Lily.

Lily menatap mamanya yang terlihat menahan amarahnya, entah mengapa mamanya menghela nafas kasar.

"Ma, Lily capek nih. Mau cepet-cepet tidur."

"Tunggu dulu."

Desi memijat pelipisnya. Baru saja mendapat info dari para tetangga, kalau beberapa hari lalu, Arya suami yang akan menjadi mantan suami itu datang ke rumah ini saat dirinya sedang dirawat.

"Mama denger papa kesini pas mama lagi dirawat. Bener?"

"Masa ma?" Aster terkejut bukan main. Kalau saja tahu papanya itu kemari, Aster tidak akan mengalah lagi dan melawan papanya yang membuat mama dan kakaknya yang menderita.

"Iya, kalian sempet ketemu sama dia gak?"

"Enggak ma. Kalau aku lihat papa mungkin sekarang papa ada di rumah sakit."

"Kamu Ly?"

Lily memutar otaknya, mengingat kejadian dimana papanya datang dan mengatakan akan mengambil hak asuh miliknya dan Aster.

"Jawab mama Ly! Kamu ketemu sama papa kamu?!" Lily tersentak dari lamunannya. Lily tidak pernah melihat mamanya semarah ini, apalagi sampai membentaknya.

"Iya ma."

"Mama denger papa kamu mau ambil hak asuh kalian. Mama gak mau itu terjadi. Mama mau kalian jangan temuin papa kalian lagi."

Aster terkejut dengan perkataan mamanya. Desi menatap anak perempuannya yang hanya tertunduk diam.

"Kamu kenapa Ly? Jangan-jangan kamu udah tahu dan berencana pergi sama papa kamu?! Iya!"

Seluruh tubuh Lily bergetar hebat, bagaimana Lily harus menjawab agar mamanya tidak salah mengartikan. Lily sudah benar-benar lelah, tidak

Melihat kediaman Lily membuat Desi semakin marah. Tidak ingin anak-anaknya direbut oleh iblis yang telah melukai mereka.

"Kamu gak inget Ly, bekas luka dibelakang leher kamu itu karena papa kamu. Kamu masih ingin pergi?"

Lily mengernyit heran, kenapa mamanya mengatakan hal yang tidak masuk akal itu?

"Bukan gitu ma maksud Lily."

"Pergi! Kamu pergi aja. Keluar dari rumah ini! Pergi!!" Semua benda yang ada di meja itu dilemparkan ke arah Lily.

Lily hanya diam, membiarkan mamanya melampiaskan emosi padanya. Aster menghampiri Desi dengan tertatih-tatih, menahannya untuk tidak menyakiti kakaknya.

"Ma udah ma. Kakak pergi dulu cepetan."

Dengan tubuh bergetar, Lily bangkit berjalan keluar, menatap mamanya yang sebelum keluar.

Air mata Lily menetes, melihat mamanya yang menangis meraung-raung, Lily hanya bisa memaklumi mamanya yang mungkin sedang banyak beban.

*

Lily terduduk lemas di salah satu kursi taman. Menatap lampu taman yang indah, tidak cocok untuk suasana hatinya yang berantakan.

Lily harap ketika pulang nanti mamanya sudah jauh lebih tenang dan keadaan menjadi jauh lebih baik keesokan hari.

Lily kelelahan dan lapar, namun dirinya tidak membawa apapun selain seragam dan sepatunya saat keluar tadi. Lily hanya bisa bersabar, menunggu malam semakin larut agar saat pulang mamanya sudah tertidur.

Lily meraba pipinya, perasaan Lily sudah tidak menangis lagi, tapi kenapa ada tetesan air jatuh di pipinya.

Lily menatap langit dan seketika hujan lebat turun. Dibalik datangnya hujan pasti ada berkah, Lily tidak bisa mengutuknya.

Lily bangkit dengan kaki bergetarnya, hendak mencari tempat untuk berteduh. Huh, jika saja dirinya punya sedikit uang saja, mungkin Lily sudah berada didalam cafe yang nyaman.

Ah cafe. Lily tersenyum miring.

Kaki Lily berhenti berlari, mendapati sosok laki-laki berpayung, yang dengan kurang ajar membuat hatinya terobrak-abrik akhir-akhir ini.

Tapi entah mengapa Lily tersenyum bahagia melihatnya, bahkan Lily rela diterjang basah dari air hujan hanya untuk tetap bisa menatapnya.

Saat laki-laki itu berjalan mendekat, seolah-olah Lily hanya bisa mendengar suara langkahnya yang menginjak genangan air dan semua objek selain mereka berdua terhenti.

Lily harap, laki-laki itu tidak melihat air matanya yang datang, menyatu dengan rintik hujan.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C29
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión