Angkasa memasuki gedung hotel berbintang lima di pusat kota. Menaiki lift dan menekan tombol lift angka lima.
Angkasa menuju lantai lima dimana sebuah restoran berbasis private room berada. Angkasa menghampiri waiters disana dan memintanya mengantarkan pada sebuah ruangan yang telah dipesan dengan nama perusahaan papanya, Putra's group.
Angkasa mengetuk pintu yang di tunjukkan oleh waiters tadi, membuka pintunya perlahan mengintip kedalam ruangan.
"Rei, masuk nak." Angkasa menghela nafasnya lega, saat tahu hanya mamanya yang duduk didalam ruangan itu.
"Sini duduk, mama udah pesenin makanan. Bentar lagi makanannya dateng sekalian nunggu papa juga mau sampe."
"Papa udah pulang ke Indo ma?"
"Baru aja pulang, langsung otw kesini katanya. Sekalian minta kamu buat makan malam bareng."
Angkasa mengangguk perlahan, tapi tangannya sangat terkepal kuat.
"Rei, kamu udah jauhin si tetangga sebelah kamu?"
"Belum ma."
"Mending cepet dijauhin, nanti kalau papa kamu tahu bisa gawat. Apalagi udah pulang di Indo."
"Gak semudah itu ma, lagian cuma temenan aja, apa salahnya sih?" Angkasa menggigit bibirnya kuat-kuat. Tak rela jika dirinya harus menjauhi Lily, baru saja dirinya berbaikan dengan Lily, tak sanggup jika harus menjauh lagi.
"Mama gak masalah, papa kamu yang masalah. Lagian kalau nanti orangnya matre kayak Keila gimana?"
"Mama!" Mama Angkasa terkejut saat anak lelakinya membentaknya dengan nada penuh kemarahan.
"Tolong ma, jangan sebut nama itu lagi. Biarkan dia beristirahat dengan tenang."
"Maaf, mama gak bermaksud."
"Lagian ma, Lily itu beda dari yang lain."
"Iya, mama minta maaf ya. Mama begini juga demi kebaikanmu." Mama Angkasa menghela nafas. "Tapi jika nanti papamu tahu dan minta kamu untuk menjauhinya, jangan kamu tolak ya?" Angkasa berdeham, meminum air mineral yang tersedia dihadapannya.
Angkasa menoleh saat pintu ruangan itu dibuka, menampilkan sosok ayahnya yang hampir satu tahun ini tidak dilihatnya.
Mama Angkasa segera bangkit, membantu papanya menggantung jas pada gantungan pakaian yang tersedia di dalam ruangan itu.
Papa Angkasa mengambil tempat didepan Angkasa, tepat disamping istrinya.
"How are you dear?"
"Fine. Your son too."
"Minta makanan segera diantar kemari, setelah ini aku masih harus ke kantor, mengecek beberapa hal." Mama Angkasa keluar ruangan untuk segera memberitahu waiters agar makanan cepat dihidangkan.
Kini tinggal Angkasa dan papanya yang ada diruangan itu. Angkasa sama sekali tak terintimidasi mendapat tatapan tajam dari papanya.
Tak ada yang mustahil bagi papanya untuk mengetahui apa-apa saja yang Angkasa kerjakan, semasa dirinya tidak mengawasi anaknya secara langsung.
"Kamu berpacaran Rei?"
"Enggak pa."
"Kamu yakin?"
"Iya pa. Papa gak perlu khawatir, dia cuma teman aku."
"Bagus. Kamu gak boleh pacaran." Keadaan kembali menjadi hening, namun Angkasa tidak membiarkan hal itu.
"Papa sehat?"
"Tentu. Kamu gimana? Sudah cukupkah bersenang-senang sebagai model?"
"Apa?! Rei cari uang dengan cara Rei sendiri papa sebut bersenang-senang?"
"Ya, apalagi. Kamu cuma ingin dikagumi bukan? Karena mendapat wajah tampan turunan dari papa." Papa Angkasa memanglah sangat tampan walaupun sudah sedikit berumur. Proposi tubuh yang bagus, karena sering berolah raga. Rahang tegas, tatapan mata tajam, alis tebal, hidung yang menjulang dan bibir tipis, jangan lupakan kumis dan jenggot tipis yang mulai tumbuh itu.
Angkasa merupakan jiplakan terbaik dari ayahnya. Karena berdarah campuran Bule dari ayahnya dan ibunya yang dari Indonesia, membuat Angkasa menjadi pemilik wajah lokal dengan pahatan yang sempurna.
"Papa pasti tahu kalau aku gak begitu. Aku bahkan menyamar jadi cupu disekolah dan itu berhasil." Papa Angkasa tertawa mendengar penuturan anaknya yang sembrono.
"Tinggalkan penampilan cupu itu, kamu seperti pengecut."
"Mau papa apasih? Aku jadi model dikira pamer. Nyamar jadi cupu malah dibilang pengecut. Aku cuma memanfaatkan dengan maksimal aja dengan apa yang papa turunkan sama aku. Apa aku salah?" Edy tampak berfikir sejenak.
"Segeralah kembali mempelajari perusahaan. Kalau bukan kamu siapa lagi? Papa rasa kamu sudah cukup bermain-main. Juga dengan perempuan yang tinggal disebelah rumah tantemu. Jauhilah dia." Angkasa menggeram, menggenggam hpnya kuat-kuat.
"Papa ingatkan. Sangat mudah menjadikannya bernasib sama seperti Keila."
"Rei minta, papa jangan sentuh dia pa!"
"Kalau begitu jauhi dia dan kembalilah belajar di perusahaan, tinggalkan dunia model."
Ini yang Angkasa benci dari ayahnya. Menganggap kecil usaha Angkasa yang ia bangun dari nol dan selalu mengatur semua hal tentang kehidupan Angkasa.
"Kenapa diam saja? Jawab papa." Angkasa hampir mengatakan ya, jika mamanya tidak segera datang kembali bersama beberapa pelayan yang membawa hidangan berbau harum.
"Rei gak bisa turuti mau papa sekarang."
"Maksud kamu?"
"Dari kecil Rei sudah berusaha mati-matian untuk belajar tentang perusahaan. Rei hanya meminta jeda yang sebentar saja papa sudah ribut meminta Rei segera kembali."
"Papa tidak suka dibantah! Kurang menuruti apa lagi? Ingin keluar rumah? Silahkan. Jadi model? Silahkan. Tapi ada waktunya. Terlalu lama akan membuat ilmu yang sudah kamu pelajari menghilang."
"Papa jangan khawatir, Otakku tidaklah sebodoh itu untuk melupakan pembelajaran yang papa berikan padaku selama ini."
Angkasa bangkit dari duduknya. Sudah tak tahan dengan amarah terhadap Edy, papanya.
"Mama sama papa nikmati aja makanannya. Kak Sean sendirian dirumah, gak ada yang jaga."
"Papa pegang kata-katamu tadi Rei. Buktikan pada papa kalau kamu memang pintar." Angkasa melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk segera pergi dari sana, membuka pintu dengan kasar tanpa berniat menutupnya.
Angkasa sudah keluar dari ruangan saat mamanya masih ingin mempertahankan anaknya agar tetap berada disini, sedih, karena jarang berkumpul makan bersama satu keluarga.
Namun rasanya mama Angkasa harus menelan pil pahit kembali. Padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lama. Mungkin ini salahnya juga, tidak bisa menjadi penengah antara suami dan anaknya.
*
Angkasa membanting hp hadiah dari olimpiade dengan keras ke lantai, menimbulkan keretakan dilayarnya. Angkasa menatap pantulan dirinya dari layar yang pecah itu. Benar-benar menggambarkan dirinya saat ini.
Angkasa sudah cukup stres karena ayahnya, ditambah lagi dengan pesan spam yang terus dikirim oleh sebuah akun dengan username 1stwinner_. Walau sudah di blokir, blokir itu kembali terbuka dengan sendirinya.
Membuat Angkasa memijat pelipisnya yang berkedut kesakitan.
*
Lily berjalan gontai menuju rumahnya membawa sekantung plastik berisi salep bekas luka untuk Aster. Lily bernyanyi lagu anak bintang kecil. Berharap satu bintang muncul dilangit kota yang mustahil terlihat kecuali jika ada pemadaman listrik bergilir.
Lily menyadari seseorang sedang terduduk diatas motor didepan rumahnya. Lily berjalan mengendap-endap dari arah belakang, berniat mengejutkan Angkasa.
Tinggal beberapa langkah lagi saja, namun Angkasa menyadari kehadirannya, membuat rencana Lily gagal.
"Ketahuan deh. Hehe." Angkasa turun dari motornya dan segera mengahampiri Lily. Lily memandang wajah tampan Angkasa yang sangat berantakan itu. Berfikir, kira-kira kejadian apa yang baru saja dilaluinya? Hingga membuatnya terlihat sangat kacau.
Lily membawa Angkasa masuk kedalam pelukannya. Mengelus-elus punggung lebar itu, memberikan kekuatan dan kesabaran.
"Ada apa?" Angkasa menggeleng-gelengkan kepalanya, enggan menjawab pertanyaan Lily.
"Gak mau cerita nih." Angkasa masih terdiam, mempererat pelukannya.
Lily melepas pelukannya, melihat raut wajah Angkasa, sudut matanya terlihat memerah. "Kamu nangis?"
"Enggak, masa cowok nangis?"
"Jangan bohong."
"Iya, aku tadi nangis dikit. Pikiran aku lagi kacau. Kenapa?"
"Kamu mau tahu caranya supaya pikiran kamu teralih dari masalah kamu sekarang?"
"Kayak gimana?"
"Kayak gini."
Lily memegang kedua bahu Angkasa membantunya berjinjit agar bisa mencapai tinggi Angkasa.
Pikiran Angkasa seketika kosong saat bibir lembut Lily menyentuh pipinya dengan cepat.
Jika ada mawar merah disana, mungkin warna pipi Lily bisa disamakan dengan bunga itu.
__
Cobalah! Semoga berhasil.