Setelah menghantarkan Alena pulang ke rumah, Panji diam-diam pergi ke tempat dimana dia hampir menabrak Arini tadi. Entah kenapa dia ingin kesana dan bertemu lagi dengan Arini. Rasanya ada panggilan dari hati nuraninya sendiri untuk menyambangi wanita yang dulunya pernah dia nodai itu.
Tentu dia tidak bakal lupa dan sampai kapanpun tidak akan pernah lupa dengan perbuatannya dimasa lalu bersama Arini di dalam kamarnya. Dalam hatinya seperti ingin menolak kejadian memalukan itu, tapi mau gimana lagi kejadian itu benar-benar memang terjadi.
"Kenapa aku seperti ini."Panji merasakan ada yang aneh pada dirinya. Semenjak Arini pergi dari rumahnya, hampir dia melupakan Arini.
"Tapi aku tadi lihat dia, seperti sedang hamil."sambil menyetir pikiran Panji masih ingat dengan perut Arini yang terlihat buncit itu.
Panji menjadi bingung sendiri. Kali ini dia ingin bertemu karena ingin menanyakan kabar Arini atau dia ingin tahu kalau Arini tengah hamil. Tentu kehamilan Arini tidak ada hubungannya dengannya. Tapi entah kenapa dari dalam hatinya yang paling dalam, dia ingin mengetahui siapakah laki-laki yang telah menikahi Arini sehingga sekarang Arini hamil.
Setibanya di tempat saat hampir menabrak Arini, Panji langsung memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Dia langsung berjalan keluar mengahampiri toko sayur tempat Arini dikerubungi ibu-ibu tadi.
"Bu mau tanya."ibu penjual melihat Panji langsung menyelanya.
"Mas yang tadi hampir menabrak mbak yang hamil tadi kan?"ibu yang ditanya Panji malah menunjuk kearah Panji sambil mengingat kejadian sebelumnya.
"Iya bu. Kalau boleh tahu mbak yang hampir saya tabrak tadi rumahnya dimana?"Panji tidak mau bertele-tele.
"Mas mas, untungnya mbaknya tadi nggak papa sama kandungannya."ibu tadi mengelus dadanya.
"Kalau rumahnya saya nggak tahu mas. Soalnya kalau saya lihat-lihat sepertinya dia warga baru disini.."jawab ibu tadi sambil mengingat Arini.
"Ya sudah bu. Makasih."Panji langsung pergi dan kembali ke mobilnya.
Panji mengendarai mobilnya mondar mandir di sekitar jalan dekat toko sayur itu. Panji merasa curiga kalau Arini tinggal di salaha satu gang masuk di pinggir jalan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari toko sayur tadi. Entah kenapa dia memiliki insting yang kuat kalau Arini tinggal disana.
"Kalau dilihat, gang ini masuk ke kompleks perumahan."batin Panji sambil mengendarai mobilnya dengan pelan-pelan.
Panji ragu kalau Arini punya rumah disana. Secara kalau dilihat kompleks rumah itu terlihat mewah-dan bagus.
Setelah Arini menata barang belanjaannya di kulkas, terlihat ada beberapa tumpukan sampah di dapur. Arini langsung mengambilnya dan membuangnya di depan rumah agar diambil petugas kebersihan.
"Arin."Arini berdiri dan menoleh kebelakang saat sedang meletakkan beberapa sampah di depan rumahnya.
"Panji."nafas Arini seketika langsung tersengal-sengal. Jantungnya serasa berhenti berdetak ditambah lagi dadanya sudah sesak sekali. Dia tidak menyangka Panji sudah berdiri di depannya. Bagaimana Panji bisa tahu tempat tinggalnya.
"Kamu tinggal disini?"Panji menatap rumah Arini yang berwarna mint itu. Arini masih diam saja.
Arini terus memandangi wajah Panji tanpa berkedip. Dia kemarin mimpi apa bisa bertemu dengan Panji langsung. Kayaknya baru tadi pagi dia bertemu dan sekarang bertemu lagi. Bahkan kini dia dihampiri Panji langsung di rumahnya.
"Kamu sudah menikah?"Panji tertuju pada perut Arini yang sedang buncit itu. Arini tidak menjawab pertanyaa Panji.
"Ayo ikut aku."karena Arini tidak merespondnya sama sekali akhirnya Panji menuntun Arini masuk ke dalam mobilnya. Dia menuntunnya dengan pelan-pelan agar tidak terlihat memaksa dan orang-orang tidak curiga padanya. Di sebelah rumah Arini nampak ada beberapa orang di depan rumah.
Arini nurut dan pasrah saja ketika tangan Panji menarik tangannya untuk masuk kedalam mobil. Setelah mereka berdua di dalam mobil, Panji langsung menancap gas mobilnya. Arini hanya memandangi kaca mobil Panji. Dia masih tidak percaya dengan kejadain hari ini.
"Aku harus memberitahunya mengenai anak ini."Arini membatin sambil menunduk dan melihat perutnya.
"Kenapa pertanyaanku tidak kau jawab?"Arini langsung menoleh kearah Panji yang sedang mengemudikan mobil itu.
Arini masih diam saja sambil memandangi wajah Panji. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Panji. Memang tidak ada perubahan yang menonjol pada diri Panji, hanya saja Arini merasa kangen sekali pada laki-laki itu. Sudah lama dia bersembunyi untuk menjauhi Panji.
"Aku mau bicara sama kamu."Panji meminggirkan mobilnya di tempat sepi. Arini melihat sekitarnya nampak sepi.
"Arin, jawab jujur pertanyaanku ini."Arini menelan air liurnya.
"Apa kamu sudah menikah?"pertanyaan Panji membuatnya langsung tersentak dia sudah menduga kalau arah pembicaraan Panji bakal menuju kesitu.
Arini menggelang dengan pelan. Tatapannya masih fokus kearah Panji.
"Terus itu bayi siapa?"Panji menunjuk kearah perut Arini yang buncit itu. Arini langsung mengikuti arah telunjuk Panji yang tidak lain menuju ke perutnya itu.
Arini tidak menjawabnya malahan tatapan Arini semakin sendu dan seperti berkaca-kaca. Panji semakin penasaran.
"Arin….itu anak siapa?"suara Panji sudah mulai tidak bersahabat. Arini sudah tahu kalau Panji bisa saja marah kalau pertanyaannya tidak segera dijawab.
"I…Ini"Arini terbata-bata saat menjelaskannya.
"Apa aku memberitahunya saja."batin Arini yang sudah bingung.
"Arin."Panji langsung menggenggam tangan Arini berharap segera dijelaskan. Panji sudah merasa deg degan dengan jawaban Arini.
"Aku tengah mengandung anak kamu."Panji mendengarnya serasa dihantam palu besar di dadanya sehingga membuatnya serasa bergetar. Perasaan Arini yang sedari tadi sesak kini sepeti lepas dan lega.
Panji refleks melepaskan tangannya dari tangan Arini. Arini paham dengan keadaan laki-laki itu. Pasti Panji terkejut dengan pernyataannya tadi. Arini tadinya hendak menyembunyikannya. Tapi ini sudah waktunya, Panji untuk tahu mengenai kehamilannya itu.
"Astaga dia mengandung anakku gara-gara kejadian dulu."Panji membayangkan kejadian dulu yang pernah dia lakukan pada Arini.
"Apa i..itu benar-benar anakku?"Panji membulatkan matanya kearah Arini. Tidak mungkin juga Arini berbohong pada Panji karena selama ini Arini tidak pernah berhubungan dengan laki-laki layaknya pacaran.
"Apa kamu lupa dengan kejadian itu. Hah."Arini kembali mengingat kejadian ketika Panji merenggut mahkota yang selalu dijaganya sambil meneteskan air mata. Dia sedih ketika harus mengingat kejadian kelam itu.
"Ok. Ok. Aku ingat. Terus kenapa kamu tidak memberitahunya dari awal."Panji terlihat frustasi. Arini menduga kalau Panji tidak suka dengan apa yan telah didengarnya tadi.
"Aku mau memberitahumu dari awal. Tapi aku takut."jawab Arini sambil menunduk.
"Tapi dengan seperti kayak gini apa menjadikan keadaan lebih baik?"suara Panji terdengar mulai meninggi. Arini menjadi takut.
"Terus aku harus gimana?"Arini langsung mendongakkan kepalanya karena Panji malah terkesan memarahinya dan membentaknya.
"Kalau kamu kayak gini, kenapa kamu nggak menggugurkannya."Panji terlihat merah matanya.
Plak
Arini langsung menampar pipi mulus Panji. Tidak peduli kalau laki-laki yang ditamparnya itu adalah mantan anak dari majikannya sendiri bahkan sekarang adalah ayah dari anak yang dikandungnya.
Dia tidak sampai hati mendengar perkataan Panji barusan. Laki-laki mana yang sampai kepikiran untuk membunuh anaknya sendiri. Itu lah yang sejak dulu dia takutkan. Panji tidak menerima keadaannya. Walaupun seratus persen itu salah Panji dan dirinya hanya menjadi korban.
"Apa kamu bilang. Gugurin. Hah."Arini tidak bisa menahan rmosinya. Dirinya merasa marah sekalia.
Panji terkejut dan tercengang. Baru kali ini dia melihat Arini sebegitu marahnya padanya. Selama bekerja di rumahnya, Arini selalu tunduk dan nurut padanya dan mamahnya. Tapi sekarang malah berbanding terbalik. Sorot mata Arini nampak memendam emosi yang begitu membara.
"Aku sudah menduganya kalau kamu tahu pasti tidak akan menerima anak ini. Ternyata benar saat kamu tahu kalau anak ini anak kamu, kamu malah nyuruh aku gugurin. Sungguh kamu laki-laki jahat."Arini meneteskan air matanya.
"Kan kamu tahu, kita sama-sama masih muda. Apa kamu sudah siap menyandang status ibu?"Panji masih berani berbicara.
"Ya aku sudah siap. Puas kamu."jawb Arini dengan mantap.
"Kalau aku tentu belum siap."jawab Panji terlihat tanpa beban.
"Kamu dengar baik-baik. Memangnya aku tadi tanya sama kamu untuk bertanggung jawab sama anak ini? Nggak kan. Jadi kalau kamu tidak siap ya sudah. Aku nggak memaksamu."Arini berbicara sambil menahan rasa sakit hatinya yang begitu sakit sekali. Dia yang saat ini menjadi korban dari Panji malah harus menanggungnya sendiri. Tetesan air matanya semakin banyak membanjiri keningnya. Jujur dalam hatinya, dia sangat membutuhkan pertanggungjawaban dari Panji. Tapi mau gimana lagi kalau Panji tidak mau bertanggungjawab.
"Anak ini nggak bersalah. Anak ini hadir karena memang sudah digariskan untuk hadir disini. Jadi dengan setulus hatiku, aku akan membesarkan anak ini sendirian. Walau tanpa kamu."Arini berbicara sambil mendekat kearah Panji. Panji merasa tersindir. Dia merasa kalau dirinyalah yang bersalah atas semua ini.