Descargar la aplicación
7.16% KETIDAKSENGAJAAN BERAKHIR SALING CINTA / Chapter 25: Part 25 Pergi

Capítulo 25: Part 25 Pergi

Arini dengan cepat mengemasi pakaiannya biar Panji tidak melihatnya. Kebetulan ini baru jam 2 siang sedangkan Panji pulang kerjanya jam 4 sore. Selama mengemasi pakaiannya, Nyonya Diana tidak berhenti memandangi Arini dari balik pintu.

Jujur Nyonya Diana merasa berat sekali saat melepaskan Arini. Selama Arini bekerja di rumahnya, tidak sedikitpun Arini membuat kesalahan dan mengecewakannya malah sebaliknya Arini justru dengan sabar melayaninya.

Arini mengemasi pakaiannya sambil menahan rasa sedihnya yang teramat mendalam. Ingin rasanya air matanya jatuh tapi sekuat tenaga dia berusaha menahannya. Sudah cukup dia menangis tadi hingga membuat matanya sembab dan wajahnya tidak karuan sekarang. Dalam hatinya merasa hancur saat ini.

"Nyonya saya pamit dulu ya."Arini sudah menata dan mengemasi pakaian-pakaiannya dan sudah dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Dia bersyukur selama bekerja di rumah Nyonya Diana, dia diberi gaji . Jadi gajinya itu bisa digunakannya untuk hidup sendiri di luar sana.

"Kamu hati-hati ya."Nyonya Diana melihat Arini begitu memprihatinkan. Wanita masih muda baru lulus SMA tapi sudah harus menghadapi kejamnya kehidupan.

"Ya Nyonya makasih atas kebaikaan Nyonya kepada saya selama ini."Arini menoleh kearah Nyonya Diana sebelum pergi meninggalkan rumah majikannya itu.

"Kasihan kamu nak. Kamu harus berpisah dengan keluarga ayahmu."Arini memandangi Nyonya DIana yang tidak lain adalah nenek dari anak yang dikandungnya itu.

"Tunggu sebentar."Nyonya Diana berlari kearah Arini yang sedang membawa tas ransel. Kemudian dia memberikan sepucuk amplop kepada Arini.

"Ini bawa. Gunakan uang ini untuk kebutuhan kamu dan anak kamu."Arini terharu dengan kebaikan Nyonya Diana.

"Andai saja nyonya tahu kalau anak ini adalah cucu nyonya."Arini menerima amplop dan tidak tahu apa isinya. Arini merasa senang Nyonya Diana masih perhatian dengannya dan cucunya itu. Arini sampai-sampai menitihkan air matanya lagi.Begitupulan kedua mata Nyonya Diana juga terlihat berkaca-kaca.

Arini melangkah dengan kaki yang berat. Seharusnya dia tidak pergi dari rumah itu. Dia dan anaknya berhak untuk tinggal disana karena memang itu adalah keluarga dari ayah anaknya. Tapi mau gimana lagi dia sadar diri, keluarga Panji pasti tidak akan menerima anaknya secara latar belakang mereka berbeda.

Setibanya Arini di pagar, Nyonya Diana hanya bisa melihat Arini dari balik kaca jendela rumahnya. Pak Mansyur yang ada di pos satpam tidak sengaja melihat Arini membawa tas ransel. Kemudian Pak Mansyur menghampiri Arini yang terlihat hendak pergi itu.

"Mbak Arini mau kemana kok bawa tas segala?"Pak Mansyur mendekati Arini yang sudah membawa tas ransel. Dilihat wajah Arini nampak sembab kayak habis menangis.

"Oh ya saya mau pamit juga sama Pak Mansyur."Arini berusaha bersikap biasa-biasa saja agar Pak Mnasyur tidak curiga padanya.

"Pamit kemana mbak?"Pak Mansyur kaget dengan maksud Arini itu.

"Saya tidak bisa melanjutkan kerja disini lagi pak."jawab Arini yang nampak sedih tapi pura-pura biasa-basa saja. Jujur dia masih ingin bekerja di rumah Nyonya Diana. Tapi dia telah memilih kepeutusan sendiri.

"Lho kenapa mbak?"Pak Manyur tidak menyangka kalau Arini akan berhenti dari pekerjaannya itu. Secara selama ini Arini tidak pernah mempunyai masalah di rumah majikannya.

"Saya ada urusan pak. Jadi saya harus berhenti dari pekerjaann ini."Arini bingung harus mencari alasan apa. Tidak mungkin juga dia menceritakan alasan sebenarnya kenapa dia berhenti dari pekerjaannya. Sudah cukup nyonya Diana saja yang tahu akan hal itu.

"Oh gitu ya mbak. Berarti bapak nggak akan ketemu lagi sama mbak Arini yang selalu ceria ini."Pak Mansyur tidak mau memaksa Arini untuk menjelaskan alasannya keluar. Seolah-olah Pak Mnasyur paham dan langsung mengerti. Seperti ada yang sedang ditutup-tutupi Arini.

"Ya. hehehe pak."Arini juga merasa sedih harus berpisah dengan Pak Mansyur.

"Ya sudah hati-hati ya mbak."kata Pak Mansyur sebelum berpisah dengan Arini.

"Bapak hati-hati juga ya. Semangat terus kerjanya."Arini mengepalkan tangannya untuk memberikan semangat kepada Pak Mansyur. Walaupun dia sendiri juga merasa sedih dan hancur sekarang.

Arini keluar dari rumah mewah majikannya itu. Kakinya kini sudah berjalan menyusuri jalan raya yang semakin jauh dari rumah majikannya. Entah kenapa hatinya terasa sakit sekali ketika dirinya mulai menjauh dari rumah itu. Mungkin itu karena anak yang dikandungnya bisa merasakan kalau mereka akan berpisah dengan keluarga ayahnya. Punggungnya yang harus menggendong tas ransel berisi beberapa pakaiannya membuatnya sedikit capek dan pegal. Ditambah lagi sinar matahari yang teasa menyengat sekali hingga menembus kulit putihnya itu.

Selama berjalan menyusuri jalan raya, Arini tidak bisa berpikr jernih hendak kemana dia tuju. Jakarta sangatlah luas dan dia tidak mempunyai saudara untuk dia kunjungi. Kepalanya serasa terus berputar-putar sambil memikirkan nasibnya dan anaknya. Dia masih tidak menyangka kehidupannya akan berubah seperti ini dan masih menganggapnya semua ini adalah mimpi.

"Aku capek. Istirahat disana dulu ah."Arini merasa capek setelah berjalan cukup lama dan terpapar sinar matahari yang terasa panas sekali. Arini sekarang duduk di pinggiran jalan sambil meminum air putih yang sengaja dia bawa dari rumah Nyonya Diana.

Di tempat yang berbeda Panji dan Alena sedang berjalan pulang menuju rumah Panji. Ini memang sudah waktunya Panji pulang kerja. Kebetulan sepulang kerja Panji menyempatkan untuk menjemput kekasihnya terlebih dahulu di butik. Sekarang mereka pulang bersama dengan menaiki mobil mewah Panji berwarna hitam. Selama perjalanan mereka terlihat mesra sekali.

Selama Panji menyetir, Alena tidak henti-hentinya memandangi wajah tampan Panji yang masih begitu jelas walaupun habis pulang dari kerja. Hal yang paling disukai Alena dari Panji adalah paras tampan dan maskulin wajah Panji. Apapun keadaan Panji baik itu ketika habis bekerja, berolahraga dan santai wajah Panji selalu terlihat tampan baginya. Meskipun terlihat sedikit dingin tapi itulah yang membedakan Panji dengan cowok-cowok yang lain dan dia tetap suka.

Panji menganggap Alena itu adalah cewek manja tapi juga peyayang. Bersyukur dia memiliki pacar seperti Alena. Selama perjalanan Alena tidak henti-hentinya memeluk tangannya yang masih menyetir mobil. Panji melihatnya hanya bisa senyum-senyum sendiri.

"Kenapa sih sayang?"Alena merasa terusik ketika tangan Panji bergerak.

"Nggak papa kok sayang."jawab Panji sambil menoleh kebelakang. Alena langsung melihat pacarnya yang sedang fokus melihat kebelakang mobil.

"Ada apa sih dibelakang."Alena ikut menoleh kebelakang karena penasaran. Panji masih menoleh kebelakang mengamati sesuatu.

"Masak itu dia sih."Panji membatin setelah tadi tidak sengaja melihat Arini sedang lewat di seberang jalan. Makanya dia sampai menoleh kebelakang untuk memastikan apakah itu memang benar-benar Arini atau tidak. Dalam hatinya merasa ragu kalau yang dilihat itu adalah Arini secara sekarang Arini pasti masih sibuk bekerja di rumahnya.

"Ayo kita pulang."Panji kembali fokus menyetir lagi. Alena kembali memeluk tangan Panji.

Tanpa disadari Arini, tadi dia berpas-pasan dengan mobil Panji saat berjalan di pinggir jalan raya. Mungkin karena dia sudah lelah memandangi kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalan akhirnya dia kini hanya fokus kedepan saja tanpa menghiraukan kalau di seberang jalan tadi melintas mobil Panji yang pernah dulu dia tumpangi. Selama berjalan dia sama sekali tidak mengenali setiap jalan yang dia lewati. Tidak ada tujuan yang akan dia tuju. Kakinya berjalan menuruti apa kata hatinya saja.

"Aku harus pergi dari sini. Lalu aku harus kemana."kaki Arini malah berhenti di salah satu terminal di Jakarta. Dia juga tidak menyangka kalau akhir dari perjalaan kakinya akan berakhir di terminal. Padahal dia tidak pernah ke terminal itu sebelumnya.

Arini beristirahat sebentar disana. Berharap energinya bisa pulih kembali setelah berjalan cukup lama tadi. Kini tubuhnya merasa capek sekali. Ditengah istirahatnya itu, Arini tidak sengaja mendengar salah satu kenet bus mengucapkan nama kota Bandung. Entah kenapa dirinya ingin pergi kesana.

"Uang ini aku gunakan untuk pergi kesana."Arini membuka dompetnya. Terlihat beberapa uang yang cukup banyak di dalam dompetnya. Kebetulan gajinya dari Nyonya Diana belum pernah dia gunakan sama sekali.

"Aku bisa memulai hidup baru disana dengan memakai uang ini."batin Arini sambil mengelus perutnya.

Setelah tenaganya pulih, Arini langsung menghampiri bus berwarna orange dengan tujuan Bandung. Kebetulan bus itu juga telihat akan segera berangkat. Arini cepat-cepat berlari agar tidak ketinggalan.

"Mbak mau ke Bandung?'tanya kenet bus laki-laki itu ketika melihat Arini berlari kearah busnya. Bus sudah dalam keadaan berjalan pelan hendak keluar dari terminal.

"Ya Pak."Arini kesusahan harus berlari sambil menggendong tasnya.

"Stop bang."kenet bus memberikan kode ke sopir untuk memberhentikan laju busnya karena ada penumpang lagi.

Arini merasa lega setelah bus yang dikejarnya itu berhenti. Dia langsung masuk ke dalam bus tersebut. Dilihatnya semua bangku sudah nampak penuh. Dia merasa sedih ketika tidak mendapatkan bangku. Terpaksa dia harus berdiri.

"Mbak."teriak seseorang dalam bus dari yang duduk di bagian belakang. Arini dan semua penumpang langsung meoleh kebelakang kearah sumber suara.

"Duduk disini."laki-laki tiba-tiba berdiri dari salah satu kursi di belakang.

"Ya mbak yang berdiri."memang satu-satunya yang berdiri adalah dia. Jadi dia kini langsng menghampiri laki-laki itu.

"Mbak duduk disini aja."Arini tidak kenal dengan laki-laki itu tapi sepertinya laki-laki itu baik. Arini terus memandangi wajah laki-laki itu.

"Mbaknya duduk disini aja. "ucap laki-laki itu sekali lagi.

"Nggak papa ini mas?'tanya Arini merasa tidak enak. Laki-laki yang tidak diketahui namanya itu langsung mengangguk kearah Arini.

"Makasih."ucap Arini sebelum duduk di kursi kosong yang sebelumnya diduduki oleh laki-laki itu.Kalau dilihat-lihat laki-laki itu seumuran dengan Panji. Penampilannya yang terlihat rapi dan sekilas dari wajahnya nampak kalau dia itu orang baik. Arini duduk di kursi bekas laki-laki itu.

"Oh ya nama saya Dilan. "laki-laki itu mengulurkan tangannya kepada Arini.

"Nama saya Arini."ucap Arini sambil tersenyum kearah Dilan yang berdiri di atasnya.

"Sendirian kamu?"tanya Dilan menatap Arini .

"Ya hehe."jawab Arini sedikit cengengesan.

"Kamu di bandung punya saudara?"Dilan ingin tahu sosok Arini.

"Saya nggak punya saudara di Bandung. Tapi kalau di Bogor punya."jawab Arini.

"Sendirian. Kamu mau ngapain disana?"Dilan mengernyitkan dahi.

"Rahasialah."jawab Arini sambil tersenyum. Dia merahasiakan alasannya pergi ke Bandung dari Dilan. Dilan juga nampak tidak memaksa Arini untuk menjelaskan maksud kepergiannya ke Bandung.

Selama pernjalan mereka berdua asyik mengobrol. Karena sering berbicara jadi mereka kini sudah sedikit akrab. Walaupun ini kali pertamanya mereka bertemu di bus. Dilan menganggap Arini seperti gadis yang polos dan memiliki kepribadian baik hati. Begitupula Arini menganggap Dilan sebagai laki-laki yang suka menolong dan mudah bergaul. Itu terbukti ketika dirinya diberikan kursi duduk sedangkan Dilan sendiri harus berdiri.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C25
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión