Bulan tak berfungsi penuh malam itu. Hanya terlihat dua warna ... bayangan hitam dan abu-abu tua yang mendominasi semua objek di kanan kiri jalan.
Setelah beberapa menit memaksakan diri bersepeda di kegelapan tersebut, akhirnya kami menyerah juga ketika terlihat samar-samar lampu templok berpendar di sebuah bangunan sederhana.
"Ehh ... eh ... ada lampu tuu di depan," teriakku bersemangat.
"Naaahhh kita stop dululah," sahut Adikku.
Detail bangunan itu sama sekali tak terlihat.
Bangunan tersebut rupanya terletak di sebuah pertigaan antara Jalan 'Golf Raya-Gunung Geulis Resort' dan 'Jalan Puncak Cipayung'.
Cahaya samar yang kami lihat ternyata berasal dari seorang penjual gorengan yang berdagang di emperan sebuah toko kelontong, menunggu pembeli di awal malam panjang.
"Pocari Sweat ... Kang," ujar Kakak Iparku memesan minuman untuk kami berempat.
Empat Pocari Sweat mengalir lancar ... terasa hangat. Sial tanpa es batu! Peradaban urban terasa begitu jauh, berjarak mutlak dari jangkauan.
Sementara itu rasa lapar tidak dapat diajak kompromi lagi. Bakwan goreng habis tanpa sisa dengan kombinasi singkong goreng yang mulai terasa dingin berminyak.
"Gila gw udah makan 15 bakwan tetep belum kenyang," ujar Adik.
"Lha ... ini singkong gw yang ke sepuluh," balas Sepupuku.
"Udah ... sikat aja mumpung ada," timpal Kakak Sepupu.
Sambil menyantap makanan yang tersisa, kami bertanya kepada pemilik toko kelontong dan penjual gorengan. Tapi tak satu pun dari mereka yang bisa memberi gambaran berapa lama jarak tempuh ke Sentul. Yang pasti mereka hanya berpesan ...
"Kang dari sini ke Sentul masih berapa lama ya pake sepeda?" tanya Kakak Sepupuku
"Sebaiknya aden-aden jangan melanjutkan perjalanan kalau tidak membawa lampu!" ujar mereka hampir bersamaan.
"Hahh ...!" Semua terdiam.
"Dan, ini kan malam Jum'at," ujar Adik tiba-tiba mengingatkan kami semua.
Sial ... gak ada pilihan!
Balik ke Jalan Raya Puncak juga sudah gak mungkin.
Malam semakin pekat ...!