Tok.. tok.. tok..
Seisi kelas segera menolehkan kepalanya menuju pintu kelas, terlihat gadis cantik tengah tersenyum lebar mengarah pada mereka juga guru yang sedang mengajar.
"Masuk!" perintah Bu Atik selaku guru Seni.
Dita pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. "Maaf Bu.. saya—”
"Iya tahu. Telatkan? Kenapa selalu jam pelajaran saya?" tanya Bu Atik dengan nada datarnya.
Ugh, Dita mengerutu, mengumpat dalam hati. Kenapa juga harus di hari Senin ia telat?! Hari sakral yang di mana seharusnya ia datang pagi-pagi sebagai murid tertib dan teladan, bukan seperti sekarang ini. "Kebetulan Bu."
"Tadi tidak ikut upacara?" tanya Bu Atik lagi.
"Tadi dikurung sama Pak Toru, Bu," jawab Dita berani menatap gurunya itu. Beliau tidak galak hanya saja beliau tidak suka jika ada muridnya telat atau berbondong-bondong ke toilet ketika pelajarannya, itu sangat mengganggu jam kelasnya.
"Kayak tawanan aja Dit," celetuk Ipung di kursi paling pojok belakang. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itu memang selalu adu mulut dengan Dita, bisa dibilang Ipung adalah salah satu murid yang paling pintar kalau disuruh nyablak, mulutnya kayak mulut cewek.
Dita mengerucutkan bibirnya menatap teman sekelasnya yang menyebalkan itu. Awas nanti lu Pung!, batin Dita berkomat-kamit.
"Duduk!" perintah Bu Atik membuat Dita menoleh menatap gurunya.
"Duduk Bu?" tanya Dita tak yakin.
"Iya!" Bu Atik memasang ekspresi meyakinkan sambil menatap murid didiknya.
"Nggak dihukum Bu?" tanya Dita antusias.
Bu Atik mengeritkan keningnya bingung. "Mau dihukum?" baru saja Dita hendak mengucapkan sepatah, dua patah kata namun dengan cepat beliau lebih dulu menyela. "Hari ini Ulangan Bab 7 dan 8!" tegas Bu Atik pada seisi kelas.
"Hah?!" seisi kelas pun memekik dan berlomba-lomba mengeluarkan unek-uneknya tentang apa yang tadi diutarakan gurunya itu.
Bayangkan saja, Bab 7 dan 8 adalah bab yang baru saja diterangkan beliau sekitar setengah jam tadi dan mereka belum paham betul dan untuk Dita, ia saja sama sekali belum tahu bab 7 dan 8 bab yang membahas apa. Seisi kelas pun langsung mencaci maki Dita habis-habisan karena semua ini ulahnya.
"Kayak biasanya pada belajar aja lu kalo ulangan!" sergap Dita pada teman laki-lakinya yang terus menyalahkan dirinya.
"Ye.. sewot lagi lu Dit!"
"Gara-gara elu tau jadi ulangan dadakan!"
"Parah lu Dit! Nyusahin kita!"
Dita mengacuhkan suara-suara itu dan mulai sibuk pada buku paketnya. Dibukanya halaman yang menunjukkan Bab 7 dan 8, dibacanya judul materi, "Seni melukis 2D dan 3D." Kemudian dilipatnya kertas pada buku tersebut dan dimasukkan ke dalam loker mejanya. Dita melirik teman semejanya yang juga sedang sibuk melipat kertas demi kertas pada buku catatannya. "Udah ada catetan ya Nyong?" bisiknya pada Nona, teman semejanya.
"Nyang nyong nyang nyong! Kagak gua kasih contekan entar lu!" sergap Nona sembari menjitak kepala temannya itu. Dita cengengesan mendengar penuturan Nona.
●
Disisi lain, di kelas berbeda. 2Bahasa-A5. Radit berlalu begitu saja memasuki kelasnya yang sudah diisi gurunya mengajar. "Misi Pak," ucapnya dan segera berlalu duduk pada kursinya.
Pak Salim melongo melihat murid didiknya itu, beliau ingat siapa nama anak itu. "Radit!"
Radit segera menolehkan kepalanya menatap guru itu. Setelan kemeja panjang rapi dengan celana hitam panjang juga peci berwarna senada yang menutupi sedikit rambutnya. "Astagfirullah!" sergapnya cepat. "Gua lupa kalo sekarang jamnya Pak Salim," gumamnya lirih.
"Radit! Maju ke depan!" perintah Pak Salim tegas.
Radit cengengesan mendengar perintah guru agamanya itu. Perlahan ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Pak Salim. "Punten Pak.. Assalamualaikum.. maap," ucap Radit sembari menyalami tangan sang guru.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Pak Salim seperti biasa. "Dari mana kamu? Kenapa jam segini baru sampai?" tanya beliau dengan suara biasa, tak membentak atau semacamnya.
Pak Salim ini termasuk guru yang tertib, ia ingin anak didiknya bisa menjadi murid yang baik, wajar saja ia guru agama. Di mana ia mengajarkan muridnya ke hal-hal yang positif, kadang juga beliau memotivasi murid didiknya untuk melakukan kebaikan.
"Maaf Pak.. biasa jalanan macet. Lagi macet-macetnya kan Pak eehh.. malah saya dicegat sama Pak Toru nggak boleh masuk kelas," terang Radit antusias.
"Kamu itu.. selalu saja membawa-bawa Pak Toru dalam alasan kamu!" ucap Pak Salim sedikit meninggikan suaranya, kesal juga lama-lama menghadapi muridnya semacam ini.
“Saya nggak bawa-bawa Pak Toru, Pak. Berat dong ya, nggak kuat saya." Perkataan Radit membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Sesekali celetukan teman-teman membuatnya bersemangat untuk mengarang alasan.
Pak Salim menggelengkan kepalanya mendengar alasan Radit yang makin ngelantur. "Ya sudah.. sudah.. sekarang kamu kembali duduk ke kursi kamu!" perintah beliau akhirnya.
"Terima kasih Pak," ucap Radit dan berlalu menuju kursinya. Sesampainya ia di kursinya, Radit menyenggol teman semejanya dengan wajah kemenangan.
"Oh ya.. Dit, nanti kamu kerjakan buku paket halaman 78.. dikumpulkan sebelum pulang sekolah!” Suara Pak Salim membuat Radit menatapnya tak percaya.
Sial! Gua pikir nggak bakal dapet hukuman!, batinnya uring-uringan.
●
Jam istirahat pun tiba, semua murid berbondong-bondong keluar kelas untuk menghabiskan waktu istirahat dengan sebaik-baiknya tapi tidak dengan laki-laki tampan bergaya sok macam bad boy itu.
"Istirahat kalik Dit! Rajin amat buka buku," celetuk Ajik, teman semejanya. "Kantin yok!"
"Anjir! Gua dikasih tugas kayak gini masak?!" ucap Radit menatap soal yang diberikan guru agamanya tadi.
"Oh.. tugas Pak Sal tadi ya? Apaan emangnya?" Ajik ikut nimbrung menatap soal tersebut dan saat itu juga tawanya menyembur. "Tajwid! Mang enak lu Dit! Bha-haha."
"Sialan lu Jik! Bantuin gua dong ish!" ucap Radit tak terima, bukannya membantu malah menertawakan sahabatnya yang sedang kesusahan. Belum lagi tugas yang diberikan Pak Salim, materi yang paling ditakuti Radit setiap pelajaran agama, Tajwid, baginya materi tersebut adalah materi paling horor sepanjang dirinya menjadi murid sekolah.
"Minta tolong deh sama Rahma, dia kan ketua Rohis pasti dia ngerti," bisik Ajik pada temannya itu sambil melirik teman sekelasnya yang bernama Rahma itu.
"Bener juga lu! Tumben pinter." Radit pun segera berlalu dan menuju meja teman perempuannya itu. "Ma.. Rahma.." sapanya.
"Modus banget lu Dit," lirih Ajik yang masih stay duduk pada tempatnya.
"Lo cantik banget hari ini," puji Radit pada perempuan berkerudung lebar itu.
"Gombal banget sih lu Dit! Ada maunya pasti," celetuk Fafa, teman semejanya Rahma.
"Apaan sih lu Fah! Bukan elu kalik yang dipuji. Pengen lu gua puji juga he?!" sergap Radit tak terima dengan anak satu itu, kalau ngomong nyamblak banget beda jauh dengan Rahma.
"Sok kecakepan banget si lu Dit! Kagak sudi gua dipuji sama elu! Kagak redo!" ucap Fafa sembari mengetuk-ngetuk tangannya yang dikepal pada meja.
"Slow ngapa lu slow! Emosian aja, lagi dapet apa gimana lu!" sergap Radit tak kalah emosi.
"Hih.. udah kenapa sih kalian! Kenapa pada ribut deh." Dengan segera Rahma menengahi perseteruan tersebut.
"Lah itu temen lu Ma.. nyelonong sor aja! Kesel gua!" ucap Radit dengan nada kesalnya.
Fafa hanya mengerucutkan bibirnya kesal.
"Ya udah.. kamu mau apa Dit?" tanya Rahma akhirnya.
Radit pun segera mengalihkan pandangannya menuju wajah teduh nan syahdu Rahma. "Gini Ma.. tadi gua dapet tugas dari Pak Sal.. bantuin gua mau ya?"
Rahma ini anaknya baik banget, paling Sholehah, paling bijaksana, pokoknya keibuan banget deh pembawaannya beda jauh sama Fafa teman sebangku Rahma. Fafa itu anaknya nyablak nauzubillah, bisa-bisanya Rahman bertahan sama anak kayak model Fafa gitu.
"Nah kan.. ada maunya lu Dit!" sergap Fafa cepat.
"Eh.. elu nyolot terus ya Fah! Kesel banget gua!"
"Hih.. ya biar!” matanya melotot, “Ma.. jangan mau lu bantuin orang macem Radit gini! Sok manis di awal pahit di akhir," ucap Fafa meyakinkan Rahma.
"Curhat lu jem?!" semprot Ajik yang sudah mendekat ke meja mereka, rasanya asyik nimbrung pada obrolan mereka.
"Apaan sih lo Jik! Ikut-ikutan aja!" sungut Fafa yang sudah membuka lembar demi lebar buku novelnya.
"Jhaha.. tuan putri ngambek Aa Ajik," ucap Radit sok manja pada teman semejanya itu.
"Uuw.. cini.. cini peyuk Aa Ajik.." ucap Ajik tak kalah berlebihan.
"Ish! Lu pada—”
"RADIT!" teriakan itu membuat keempatnya segera menoleh ke arah pintu.
"Eh.. Dita cantik.. mau ketemu gua ya?" tanya Ajik ketika melihat Dita diambang pintu.
"Hoi Dit!" Radit segera berlari menuju pintu kelas sembari membawa buku paket agamanya. "Bantuin gua yuk!"
"Bantuin apa? Lu kok nggak ke kantin? Gua udah nunggu padahal, udah makan?" tanya Dita memberondong sudah seperti pacarnya deh enggak bohong.
"Ayok makanya!" Radit segera menarik Dita berlalu dari tempat itu, entah ke mana.
"Woi Dit! Malah kabur!" Ajik berteriak ketika temannya itu berlalu bersama Dita.
"Tuh kan Ma.. dia itu tuh sok manis di depan. Apa-apaan main pergi gitu aja pas Dita anak Bahasa-A2 itu kesini," bisik Fafa pada Rahma yang terus menatap keluar pintu kelas.