11 tahun kemudian~
"Radit!!! Bangun! Woy kebo!" teriak perempuan berseragam putih abu-abu itu yang terus meloncat-loncat di atas kasur seseorang yang masih tertidur.
Cowok yang bernama Radit itu berusaha menutup kedua telinganya rapat-rapat ketika suara toa itu datang.
"Radit! Bangun peak! Sekolah woy.. sekolah!" teriak perempuan itu lagi tepat di telinga kiri Radit.
"Astaga Dita bangke! Berisik amat si lu, gua masih ngantuk nih!" geram Radit sembari menarik selimutnya agar menyelimuti tubuhnya lagi.
Perempuan yang bernama Dita itu menghela napas sembari berpikir, dibenarkan sebentar poni panjangnya yang menyerong ke kanan. Setelah ia mendapatkan ide, dengan cepat ditariknya kaki Radit hingga laki-laki itu jatuh ke lantai.
"DITAA!!!"
●
Sial beribu-ribu sial ketika dewi fortuna sedang tidak berpihak pada mereka karena mereka telat di hari Senin. Di mana hari bak semacam neraka di dunia, hari di mana semua murid sekolah maupun pegawai dan tetek bengek lainnya melaksanakan upacara bendera.
"Mampus kan telat!" gumam Dita ketika melihat gerbang sekolah sudah ditutup rapat.
"Ya udah yok lewat tembok belakang!" Radit segera menarik Dita menuju belakang sekolah, tempat paling ampuh mengatasi waktu terlambat mereka ketika telat.
"Eh.. si Radita, Radit dan Neng Dita. Mau gorengannya? Mumpung masih anget," celetuk Kang Aang, penjual gorengan juga makanan dan minuman lainnya yang selalu stay dengan angkringannya di belakang sekolah. Bahkan Kang Aang lebih rajin dan on time daripada mereka.
"Widih.. kebetulan Kang, gua belom sarapan. Itu nasi bungkus lauknya apa aja Kang?" kini Radit sudah sibuk memilah-milih dagangan Kang Aang.
Dita menepuk dahinya dengan telapak tangan ketika melihat ulah Radit. "Astaga Dit! Kita kan udah telat, elu malah nongkrong segala!" geramnya.
"Oiya.. gua lupa Dit!" ucap Radit sembari menepuk dahinya pula. "Kang, nanti aja ya pas istirahat. Gua lupa kalo sekarang kudu masuk." Radit sudah bangkit dari duduknya dan berlalu sembari menarik Dita. Kang Aang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat anak SMA 71 itu.
"Cepet Dit naek!" perintah Radit yang sudah jongkok di depan tembok belakang sekolah.
"Jangan ngintip ya lu!" Dita ancang-ancang untuk naik ke punggung Radit.
"Dikit palingan juga," celetuk Radit sembari menundukkan kepalanya.
Pletak! Jitakan mendarat dari Dita mengenai kepala Radit.
"Hayo Radit modus!" teriak Kang Aang dari warungnya ketika melihat Dita berdiri di pundak Radit.
Setelah Dita sampai di atas tembok tersebut, kini giliran Radit yang bersiap memanjat tembok tersebut. Hal beginian itu mudah untuk seorang Radit.
Dita pun mengulurkan tangannya ketika Radit sudah hampir naik dan hap, berhasil. Keduanya duduk sebentar di tembok tersebut, mengatur napas yang tersengal-sengal. "Yok turun!" ucap Dita yang sudah siap ambil ancang-ancang untuk turun.
Radit pun membantunya namun naas ketika keseimbangan keduanya hilang hingga membuatnya terjatuh begitu saja ke rumput hijau halaman sekolah. "Argh!" rintih Dita ketika punggungnya bersentuhan dengan tanah.
"Dit, lu nggak papa?" tanya Radit yang posisinya berada di atas Dita.
Dita segera menampar pelan pipi kiri laki-laki itu agar tak menatapnya. "Nggak papa pala lu peyang! Sakitlah!" gerutunya.
"Kalian?! Sedang apa?!" mendengar suara tegas itu membuat keduanya tercengang, dengan segera Radit meloncat dari posisinya hingga ia dapat melihat siapa orang itu.
"Pa-Pak Toru?" ucap keduanya tercekat ketika melihat guru ter-killer berkepala plontos itu tengah berkacang pinggang.
●
"Ampun Pak.. ampun."
"Kita nggak ngapa-ngapain, serius Pak."
"Iya Pak suer dah!"
"Please ya Pak ampun.. am-"
"STOP!!!" teriakan Pak Toru membuat keduanya tersentak.
Radit dan Dita saling lirik dalam diam, sesekali mereka menaikturunkan alisnya sebagai kode.
"Kalian ini, suka sekali cari masalah! Masalah kemarin belum kelar, sekarang muncul pula masalah baru. Mau kalian itu apa?!" ucap Pak Toru dengan logat Bataknya.
"Bapak tanya mau kita?" Dita menunjuk dirinya juga Radit dengan penuh percaya.
"Hey!" gertak Pak Toru bersamaan dengan meja yang digebrak hingga membuat kedua murid didiknya kembali kaget. "Macam mana pula kalian ini! Menyahut saja dengan gurunya. Macam tak pernah di sekolahkan ya kalian," geramnya lagi.
"Gimana sih tadi nanya," gumam Dita sembari mengeratkan tasnya. Radit pun menyentil dahi cewek itu gemas.
"Hey! Malah pacaran pula di depan saya?!" Pak Toru kembali melototkan kedua matanya pada anak didiknya itu.
"Ya elah Pak.. siapa sih yang pacaran, saya nembak dia aja belom," jawab Radit santai.
"Kalau ditembak mati dong ya?" gumam Pak Toru.
"Ya kagaklah Pak, nembaknya pakek perasaan. Pakek peluru cinta biar tepat mengenai hatinya," jawab Radit dengan kedua tangannya yang sudah memeragakan seperti pistol.
"Macam mana itu Dit?" tanya Pak Toru penasaran.
Radit tersenyum puas. "Gini Pak." Ia mendekatkan dirinya pada guru killer tersebut. "Itu Pak.. ada Bu Jen, cantik kan Pak?" Radit menunjuk Bu Jen, guru muda yang cantik.
"Waa.. jelas kalau cantik Dit. Belum menikah pula macam saya," jawab Pak Toru.
Radit sedikit mengerutkan keningnya menatap Pak Toru heran. "Loh bukannya Bapak udah nikah?"
"Aish.. itu kan sudah bercerai. Sekarang kan saya jadi perjaka Dit," ralat Pak Toru tak terima.
"Duda kalik Pak," gumam Dita sembari menepuk dahinya.
"Ha iya.. apalah itu Pak. Nah sekarang Pak, arahkan pistol yang sudah berisi peluru cinta tepat pada Bu Jen." Radit memberi instruksi pada Pak Toru dan beliau pun menurut mengikuti langkah Radit. "Terus gini Pak.. ciuhhh..." ia mengarahkan pistol tangannya pada Bu Jen begitu pun dengan Pak Toru dan di waktu yang bersamaan guru cantik itu tak sengaja memusatkan pandangannya pada mereka.
"Alamak! Dia liat saya Radit!" cemas Pak Toru yang sudah menurunkan pistol tangannya.
"Justru itu kesempatan bagus Pak. Liat terus Pak wajah cantik Bu Jen," perintah Radit berusaha meyakinkan gurunya itu.
Dengan berani Pak Toru mengikuti perintah Radit. Ditatapnya wajah Bu Jen, kemudian dilambaikan tangannya kecil-kecil ke arah guru cantik itu dan di saat yang bersamaan Radit menarik Dita keluar dari ruangan tersebut. Bu Jen terus menatap seniornya itu bingung, ia pun melangkahkan kakinya mendekat.
"Alamak, dia kesini Dit!" takut Pak Toru namun tak mendapat respons dari muridnya. "Dit? Radit? Ra-" ucapannya terpotong ketika ia menolehkan kepalanya ke belakang, ia kehilangan dua anak didiknya itu. "Ke mana dua anak itu?"
"Pak Toru?"
"Eiya?!" kaget beliau ketika namanya dipanggil dengan lembut.
"Bapak sedang apa?" tanya Bu Jen ternyata.
"Egh.. saya.. saya.. itu.. saya sedang.. itu.. saya.." Bu Jen tersenyum melihat tingkah seniornya itu terbata-bata.
Bocah sialan itu!, batin Pak Toru geram.
•
Radit dan Dita menghentikan lari maraton mereka ketika dirasa jarak keduanya dengan ruang BK sudah lumayan jauh.
Keduanya mengatur panas dengan tangan yang bertumpu pada lutut. "Capek gua," gumam Dita disela-sela mengatur napasnya.
"Akhirnya kita lolos lagi dari Pak Toru." Keduanya pun saling lirik dan tersenyum kemudian tawa mereka pecah.
"Ssstt.. jangan berisik!" keduanya terperangah ketika mendengar seorang guru yang berasal dari kelas di dekat mereka berhenti berlari. Dengan cepat Radit kembali menarik lengan Dita untuk bersembunyi di balik kursi panjang depan kelas.
Sang guru melirik sekilas keluar kelas. Kosong, tak ada orang. Ia pun kembali masuk ke dalam ruangan dan menutup pintunya.
Radit dan Dita pun menghela napas lega. "Udah ah.. gua mau masuk kelas Dit. Telat bisa dihukum lagi gua," ucap Dita siap-siap berdiri.
"Ada gua ini," ucap Radit yang ikut berdiri.
"Ya kalo hukumannya sama. Udah ya.. sampe ketemu nanti." Keduanya pun tersenyum, mengepalkan salah satu tangannya dan dibenturkan bersamaan.
"Dah.." Dita pun melangkahkan kakinya ke arah barat, sedang Radit melangkahkan kakinya ke arah timur.