Di dalam kantor Direktur.
"Tuan Tristan, silahkan duduk," ucap Direktur.
Tristan duduk dengan bertumpang kaki, dan tatapan dinginnya itu membuat Roni Kesuma gugup.
"Saya tidak suka berlama-lama atau bertele-tele, saya ingin kau menjual Bank ini, sekarang!" Tristan berkata dengan tegas dan singkat. Entah apa yang ada dalam pikiran Tristan, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tiba-tiba saja Tristan ingin mengakuisisi Bank itu. Levi, asistennya saja terkejut, karena bukan itu tujuan awal mereka. Rencananya hari ini Tristan ingin membahas soal investasi.
"Tuan … Tristan, bukankah Anda kesini untuk membahas masalah investasi? Kenapa sekarang jadi ingin membeli Bank ini?" Roni menanyakan maksud dari keinginan Tristan.
"Tidak usah banyak tanya! Kau akan menjualnya atau tidak? Kau bisa mengajukan harga berapapun dan kau juga masih bisa bekerja sebagai bawahanku, tapi perlu kau tahu, apa yang aku inginkan harus aku dapatkan atau aku akan hancurkan jika tidak bisa mendapatkannya." Tristan berkata dengan tatapan mengancam.
"Tuan Tristan, tolong … jangan hancurkan saya. Saya akan jual Bank ini pada Anda, tapi … tolong jangan hancurkan saya," ucap Roni dengan tubuh gemetar ketakutan.
Tristan menarik sudut bibirnya, dan tersenyum puas. Senyum yang sudah biasa Levi lihat, tetapi bagi orang yang belum tahu seperti apa Tristan, maka senyumannya itu begitu mengerikan untuk dilihat.
Semua orang tahu, siapa Tristan. Jika dia menginginkan sesuatu, maka ia akan dapatkan, apa pun itu. Hanya satu yang tidak bisa ia dapatkan, gelar orang paling bijak dalam keluarga. Sifat Tristan yang sombong, egois dan keras kepala, membuat Tristan dan ayahnya selalu berdebat. Hanya Cris saja yang selalu mendapat pujian dari ayahnya, karena sifat Cris tidak seperti Tristan.
Izham Putra memberi Tristan jabatan sebagai Direktur, karena Izham yakin dan percaya bahwa Tristan bisa membuat perusahaan mereka semakin maju. Sikap ambisius Tristan menjadi alasan utama, Izham percaya padanya. Sedang Cristian hanya seorang Wakil Direktur, karena ia hanya dikirim ayahnya untuk mengawasi Tristan. Ayahnya takut jika Tristan menyalahgunakan posisi dan jabatannya.
***
Jam makan siang sudah tiba, tetapi Roni masih duduk terdiam di ruangannya. Dia tidak rela meninggalkan ruangan itu. Ruangan yang menjadi kebanggaan Roni, ruangan yang menyimpan begitu banyak kenangan.
Tok tok tok.
"Masuk!" jawab Roni.
"Bapak tidak makan siang?" Aulia sekretaris Roni mengingatkan Roni bahwa ini sudah jam makan siang.
"Saya masih ingin duduk di ruangan ini, karena besok saya pindah ke ruangan Manager. Kenapa tiba-tiba Tuan Tristan ingin membeli Bank ini? Apakah ada yang membuatnya marah?" ucap Roni lirih.
"Saya kurang tahu, Pak," jawab Aulia.
"Ya, sudah, pergilah makan siang lebih dulu. Nanti saya menyusul," ucap Roni.
"Saya permisi kalau begitu." Aulia keluar dari ruangan Roni.
***
Di kantin
Haruna dan Sari sedang makan di meja yang sama. Di kantin itu beberapa orang kasak kusuk, mengenai bank tempat mereka bekerja itu dijual tadi pagi. Aulia menghampiri mereka dan duduk di depan Haruna.
"Ciee, mau ganti bos nih," ledek Sari.
"Ya, nih. Presdir yang baru itu ganteng banget, hihi," jawab Aulia sambil tersenyum.
"Lia, memang Bank ini bangkrut ya? Kenapa Direktur menjualnya?" tanya Haruna penasaran.
"Tidak, tapi karena Tuan Tristan tiba-tiba ingin membeli Bank ini tadi pagi. Siapapun yang menolak keinginan Tuan Tristan, maka dia bisa hancur seperti debu, wussh, tidak tersisa," ucap Aulia.
"Tristan pemilik 'IZHAM Corporation' apa itu dia yang kamu maksud?" tanya Sari.
"Ya, benar. Dia orang paling berkuasa di kota ini. Perusahaannya juga dimana-mana. Jadi tidak ada yang bisa melawan keluarga Miliarder itu," jawab Aulia.
"Hebat dari mana? Dia menindas orang yang lebih lemah darinya. Aku benci dengan orang yang seperti itu. Benar-benar sok berkuasa," ucap Haruna.
Jam istirahat berakhir dan mereka kembali bekerja. Hingga sore hari, dan waktunya pulang.
***
Di rumah Kamal
Sore pun tiba, Haruna dan semua karyawan Bank Berkah sudah bersiap untuk pulang. Haruna memacu motornya dengan kecepatan tinggi, banyaknya kejadian yang ia alami hari ini, membuat Haruna ingin cepat sampai di rumah.
"Ah, lelahnya," gumam Haruna. Ia memarkir motornya di garasi dan masuk ke rumah lewat pintu samping.
Haruna melangkah masuk ke dalam rumah, sepi, lengang tak seperti biasanya. Biasanya Haruna akan disambut oleh Anggi saat pulang ke rumah setelah bekerja. Haruna memeriksa setiap ruangan, tetapi Haruna tidak menemukan siapapun di rumah.
"Kemana Mama dan Vivi? Apa menyusul Papa ke rumah Mila?" Haruna bertanya-tanya sendiri.
Haruna duduk di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Haruna mendengar deru mesin mobil masuk ke garasi.
Ceklek.
Pintu samping terbuka dan terlihat tiga orang dewasa dan seorang gadis kecil dalam gendongan Anggi. Gadis kecil itu adalah Kiara, gadis malang yang baru saja kehilangan ibunya untuk selamanya.
"Haruna, sudah pulang?" Angga masuk kedalam rumah dan menurunkan Kiara.
"Mama," ucap Kira sambil berlari menghampiri Haruna yang duduk di sofa. Kiara mendekap kedua kaki Haruna.
Semua saling bertukar pandangan, saat Kiara memanggil Haruna dengan sebutan Mama. Haruna menarik Kiara ke atas pangkuannya, dan Kiara segera memeluk Haruna. Wajah Kiara bersembunyi di dada Haruna. Kiara menangis seperti seorang anak yang baru melihat ibunya setelah ditinggal bekerja. Haruna membelai rambut Kiara dengan lembut.
"Mama, ayo pulang. Kia mau bobo di rumah," ucap Kiara mengajak Haruna pulang ke rumah Almarhum Mila. Entah apa yang membuat Kiara merasa bahwa Haruna adalah ibunya. Dari wajah serta tinggi badan saja sudah jelas berbeda jauh. Mila lebih pendek daripada Haruna.
"Lho, kenapa pulang, sayang? Ini kan rumah Kakek dan Nenek, jadi mulai sekarang dan seterusnya Kia dan Mama akan tinggal disini," ucap Haruna membujuk Kiara dengan lembut.
Haruna membawa Kiara ke dalam kamarnya. Setengah jam kemudian, Haruna keluar dari kamar setelah Kiara tertidur.
"Haruna, harusnya kamu jelaskan pada Kiara kalau kamu bukan ibunya," ucap Anggi.
"Tidak apa-apa, Ma. Haruna akan mengangkat Kiara sebagai anak," jawab Haruna.
"Bagaimana jika lelaki yang ingin melamarmu suatu saat nanti merasa keberatan? Karena kamu mempunyai anak angkat," ucap Anggi.
"Ma, jika lelaki itu sungguh mencintai Haruna, maka hal itu tidak akan jadi masalah untuknya," jawab Haruna.
"Tapi kapan kamu akan menikah?" tanya Anggi dengan ragu. Karena dia tahu jawaban Haruna selalu sama.
"Ma," ucap Haruna tanpa berani menatap mata Anggi.
Anggi menghela napas dengan lesu. Anggi hanya ingin agar Haruna segera menikah, karena usianya memang sudah cukup untuk menikah. Teman-teman Haruna bahkan ada yang sudah memiliki dua anak. Namun Haruna berpacaran saja belum pernah.
"Sudahlah, Mama tahu jawabanmu tidak akan bisa berubah." Anggi meninggalkan Haruna yang diam terpaku menatap Anggi yang melangkah masuk ke dalam kamar. Haruna tahu, Anggi pasti kecewa padanya.
"Maaf, Ma. Haruna sudah mengecewakan Mama," gumam Haruna lirih. Rasa takut untuk mengenal cinta membuat Haruna menjadi gadis yang anti dengan lelaki. Meskipun banyak pria yang melamar untuk menjadi istrinya, tetapi Haruna menolak mereka semua.