Sambil membaca dokumen Jay berjalan menuju liftnya. Sudah seminggu ini kondisi Tiara semakin membaik jadi dia menyuruh Jay untuk masuk kerja saja membantu Ara. Jay sendiri awalnya tak mau karena dia rasa yang dikatakan dokter membaik hanya fisik Tiara saja sementara ingatan tidak. Jay masih merasa heran kenapa dirinya sama sekali tak diingat Tiara.
"Ma…maaf pak.." Seseorang langsung meminta maaf saat menabrak Jay. Belum lagi semua dokumen miliknya dan milik perempuan yang menabrak itu berhamburan jatuh kebawah.
"Hati-hati kalau jalan, apa kamu ga liat peraturan disana? ga boleh berlari di area kerja." Jay dengan santai mengambil kertas-kertas miliknya setelah sebelumnya menujukkan sebuah tempelan mengenai peraturan di area kerja.
"I..iya pak maaf." Perempuan itu tak berani menatap Jay. Kini Jay berdiri namun dia tak langsung pergi. Dia diam sejenak dan melihat begitu banyak kertas yang dibawa oleh perempuan itu. Merasa iba, Jay pun membantunya memungut semua kertas di beberapa sudut.
"Nih.."
"Makasih pak.." Perempuan itu mengambil kertas yang dibawah Jay.
"Lain kali jangan lari-lari, ini dokumen penting kalau salah satu hilang atau kotor kamu juga yang kena tegur."
"Iya pak.." Perempuan itu sambil mengangguk tak berani bertukar mata dengan tatapan Jay yang sudah meperhatikannya sejak tadi. Setelah dirasa beres Jay kembali melanjutkan perjalanannya, dia kini masuk kedalam sebuah lift. Perempuan tadi langsung memandang lurus saat pintu lift mulai terbuka. Dilihatnya lagi wajah Jay sekarang yang lama-lama menghilang karena tertutup pintu. Perempuan itu tersenyum entah kenapa.
"Jay.." Ara langsung memanggil adiknya begitu melihat dia masuk. Pria itu kini duduk disamping kakaknya. Disana sudah ada Rey dan Ethan yang hadir untuk mengikuti meeting. Beberapa menit kemudian meeting pun dimulai. Seseorang membagikan beberapa lembar kertas tentang materi yang akan dibahas hari ini. Dan ya..orang itu yang tadi menabrak Jay. Perempuan itu kini terlihat berkeliling dari satu kursi ke kursi lainnya. Disela-sela kerjanya, sang perempuan lagi-lagi menjatuhkan sesuatu dan kali ini botol minuman milik seseorang.
"Dasar si ceroboh.." Jay bergumam kecil. Perempuan itu berparas cantik dengan rambut hitam Panjang yang diikat, hidungnya yang mancung dengan bibir merah merona. Belum lagi senyumannya membuat para peserta meeting yang sudah lanjut usia malah senang dan mungkin terpesona dan beberapa ada yang berani menggoda. Jay tak suka jika melihat pria hidung belang di kantornya beraksi.
"Itu siapa sih?." Tanya Jay pada Ara.
"Mana?."
"Itu kak, yang pake baju hitam."
"Anak baru kali, kakak ga tahu dan ga mungkin kakak hafal satu-satu karyawan disini."
"Ya kali aja kakak tahu."
"Kenapa emang?."
"Engga, aku cuman baru liat aja."
"Ya udah berarti anak baru." Ara semakin ngotot. Jay diam lagi dan mencoba fokus dengan meetingnya. Selagi sang pemateri menjelaskan, Jay dengan seksama membaca lagi setiap data yang ada di tangannya. Data itu berupa grafik dan angka-angka yang terbilang cukup besar. Disaat sesi diskusi barulah Jay mempertanyakan semua yang ada di kepalanya tentang hasil pencapaian kinerja karyawannya itu. Ini yang disukai Ara. Pada beberapa hal Jay sangat mendetail, sudah dari dulu ciri khasnya banyak bertanya jadi jangan heran jika para manager disini sedikit kewalahan untuk menjawab dan menanggapi masukan dari Jay. Ini seolah mematahkan gossip tentang dirinya yang dulu, yang membuat Jay kehilangan kepercayaan diri untuk memimpin SC tapi nyatanya hari ini Ara melihat bahwa adiknya jauh diatas itu. Orang-orang yang menghinanya akan malu jika melihat Jay sekarang. Mereka harusnya meminta ampun pada adiknya. Jay adalah tipe pemikir sedang Ara dan Kay senang langsung beraksi dilapangan. Mungkin itu kolaborasi yang sempurna.
"Jay…"
"Iya kak…"
"Udah jangan keras-keras, kasian.." Ara membisik saat ada kesempatan.
"Dia salah nampilin datanya kak…"
"Oke pak Darwin, it's oke..datanya perbaiki aja dulu ya nanti kasih perhitungan barunya."
"Iya bu.."
"Lain kali lebih teliti pak." Jay menambahkan lagi sebelum benar-benar menghentikan mulutnya berbicara. Ethan dan Rey hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum-senyum. Dia suka jika sepupunya sudah berkata tanpa ampun. Hal itu membuat para petinggi yang lain menjadi sedikit cemas jika harus presentasi di depan Jay. Belum lagi Ethan sempat mendengar mereka malah senang saat Jay absen dari kantor karena musibah yang menimpa istrinya.
"4 jempol buat Jay.." Puji Rey yang langsung mengangkat 2 jempol tangannya saat yang lain berhamburan keluar.
"2 lagi mana?."
"Ini di kaki ga keliatan pake sepatu." Canda Rey.
"Si Pak Darwin tuh emang suka ngebanggain mulu padahal kerjanya ngoceh sama anak buahnya." Ethan kesal.
"Namanya juga atasan.."
"Kakak kok belain dia sih?."
"Bukan belain Jay, berpikir realita aja bahwa semua atasan pasti punya sisi kaya gitu."
"Kakak juga punya?."
"Iya Ara suka ngomel.." Ledek Ethan.
"Iya bawel, heran deh kak Dariel telinganya bisa sehat-sehat aja.." Rey menambahkan membuat Ethan tertawa.
"Kalian juga kenapa bisa sehat telinganya? Dirumahnya kaya ga pernah diomelin istri.."
"Oh..sering.." Ethan semakin membuat Rey dan Ara tertawa namun tidak dengan Jay. Justru dia rindu dengan omelan itu. Sejak sakit Tiara tak secerewet biasanya. Dia hanya mengangguk dan berkata yang lembut-lembut.
***
Jay terus membalikkan badannya ke kiri dan ke kanan. Dia tak bisa tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 2 Pagi. Dia melihat ke arah sampingnya dan Tiara masih terlelap tidur. Dia memperhatikan lekat wajah Tiara mengusap pipinya pelan takut-takut membangunkannya. Tangannya turun kebawah. Ke arah bibirnya yang merah. Sudah lama juga dia tak mengecupnya. Kejadian dirumah sakit itu belum juga Jay lanjutkan lagi. Kedua bola matanya kini beralih ke bagian lain. Bagian yang lebih menonjol tentunya. Keduanya terlihat begitu menggiurkan. Dia ingin memegangnya tapi…
"Ah jangan…nanti Tiara marah.." Jay dalam hatinya mencoba menahan dirinya lagi. Tangannya dia jauhkan dari wajah dada istrinya padahal sebelumnya dia ingin menyentuh bagian itu. Rupanya ini yang membuat Jay tak bisa tidur. Ada sesuatu yang dia tahan sejak tadi sehingga mengganggu pikirannya. Jay…sedang menginginkan Tiara. Otak nakalnya tak henti memikirkan bagaimana cara mendekap istrinya itu namun disisi lain dia tahu dengan kondisi seperti ini tak mungkin Jay menyentuh Tiara. Daripada semuanya semakin liar dan tak terkendali Jay segera berdiri lalu berjalan kearah tempat tidur anaknnya, dia juga tertidur dengan nyenyak. Padahal situasi mendukung tapi taka da satupun yang bisa Jay lakukan. Kini dia bergegas turun kebawah menuju dapurnya. Mengambil air dan meneguknya habis. Dia ingin melenyapkan pikiran kotornya.
"Aku harus telepon Kay.." Jay memikirkan ide lain untuk mengatasi hasratnya. Dia berjalan lagi ke kamar untuk mengambil handphone yang berada disisi nakas. Setelah itu dia kembali keluar dan duduk di ruang tv-nya.
"Kay pasti tahu aku harus gimana…" Jay dengan penuh keyakinan dan terus mencari kontak bernama Kay itu. Setelah didapat dia menekan tombol panggilan dan nada sambung pun terdengar namun belum ada jawaban disana.
***To Be Continue