Aku merasa sangat bodoh.
Seharusnya aku berteriak saat keadaan masih ramai. Si pria berbadan besar mendorongku masuk ke dalam van bersamanya lalu menutup pintu mobil dengan sangat keras. Sayangnya tasku terjatuh saat aku berusaha melawannya.
Mobil van itu langsung bergerak begitu kami berada di dalam. Dua pria lain duduk di kursi terdepan, sedangkan komplotannya yang berada di gang tadi tidak ikut bersama kami.
Kugigit tangan yang membekap mulutku. Pria itu menarik tangannya karena terkejut, sebelum aku sempat berteriak tangannya menampar wajahku dengan sangat keras hingga kepalaku membentur jendela mobil.
"Dasar brengsek." gerutunya lalu Ia menjambak rambutku dengan kasar agar aku mendekat padanya lagi. Pandanganku masih terasa buram tapi tangannya kembali menamparku hingga membuat sudut bibirku berdarah.
"Kalau kau tidak bisa diam, aku akan menghajarmu lagi. Kau mengerti?" tanyanya dengan suara rendah penuh ancaman.
Kedua sisi wajahku terasa perih. Aku membalasnya dengan pandangan menantang, "Coba saja."
Tiba-tiba Ia menyeringai senang, "Ohhh... Leykan memang berbeda dari werewolf, huh? Mereka lebih berani."
Suara tawanya membuat punggungku membeku. Ia tahu kalau aku adalah Leykan?
"Apa kau terkejut karena aku mengetahui rahasiamu?" tanyanya sambil menaikkan kedua alis matanya.
Tangannya yang mencengkeram rambutku kembali menarikku hingga wajahku berada semakin dekat dengannya. "Sayangnya kau tidak akan bisa menggunakan kekuatanmu jika kau tertidur, kan?"
Salah satu orang yang duduk di depan menyodorkan suntikan berisi cairan berwarna kuning.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku sambil melawannya, seakan menikmati perlawananku Ia menyeringai lagi lalu dengan cepat menusukkan suntikan tersebut ke leherku.
"Tidak!" jeritku dengan putus asa.
Pria itu akhirnya melepaskan tangannya dari rambutku, dengan panik aku berusaha membuka pintu mobil di sebelahku. Di luar masih ramai dengan orang-orang yang baru saja pulang dari bazaar.
"Tolong!" teriakku sambil menggedor jendela mobil.
Tapi orang-orang itu tidak dapat melihatku dari luar karena kaca jendelanya berwarna hitam.
"Tolong!" Perlahan tanganku yang masih berusaha membuka pintu dan menggedor jendela terasa lebih berat, sama seperti seluruh tubuhku yang kini makin lemas.
Kusandarkan kepalaku di jendela yang dingin sementara mobil ini terus melaju. Aku tidak bisa membuka kedua mataku lagi, kugedor jendela itu untuk terakhir kalinya sebelum kesadaranku menghilang dan berganti dengan kegelapan.
***
"Berapa dosis yang kau berikan?!" suara marah seseorang terdengar tidak jauh dariku.
Kubuka kedua mataku yang terasa sangat berat. Rasa mual perlahan muncul di perutku bersamaan dengan rasa sakit di kepalaku.
Dengan erangan lemah aku berusaha memfokuskan pandanganku ke bayangan di dekatku. "Alex?" panggilku dengan suara lemah.
Ia tidak menjawabku, tapi bayangannya bergerak mendekat ke ranjang. "Ssshh... Tidur saja lagi."
Suara lembut itu bukan milik Alex.
Kupejamkan kembali kedua mataku yang terasa berat. Sebuah tangan mengelus kepalaku hingga sakit di kepalaku hampir memudar lalu aku merasakan kecupan samar di keningku.
Aku tidak sempat memikirkan kecupan itu lebih jauh karena beberapa saat kemudian aku sudah kehilangan kesadaranku lagi.
***
Saat aku terbangun lagi, ruangan tempatku berbaring terlihat lebih gelap dari sebelumnya.
Dengan bingung dan panik aku memandang ke sekitarku. Kamar ini sangat luas, malah hampir seperti apartemen studio karena memiliki pantry dan satu set meja makan yang menyambung dengan ruang tidur.
Walaupun masih merasa lemas dan mual, aku memaksa diriku untuk turun dari tempat tidur.
Lantai yang dingin menyambut kakiku yang telanjang. Kupandang piyama yang menempel di tubuhku, yang jelas pakaian ini bukan milikku.
Tubuhku masih terasa tidak stabil, kakiku seperti menginjak balon air yang terus bergoyang-goyang. Perlahan aku berjalan ke arah pintu yang terasa sangat jauh dari tempat tidur.
Tapi seperti dugaanku pintu itu terkunci rapat.
Kunyalakan tombol lampu yang berada di dekatku, cahaya remang yang sebelumnya berganti dengan cahaya yang lebih terang. Kukerjapkan kedua mataku hingga bisa melihat dengan lebih jelas.
Kusandarkan punggungku sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungku yang berdebar keras karena rasa panikku.
Tidak ada jendela dan jam di ruangan ini, jadi aku tidak tahu apa ini siang hari atau malam hari.
Siapa yang menculikku?
Satu-satunya orang yang muncul di dalam kepalaku saat ini hanya Edward Adler. Aku yakin Alex juga akan memikirkan hal yang sama.
Alex...
Ia pasti sedang mencariku saat ini. Entah sudah yang keberapa kalinya aku membuatnya khawatir. Dan kali ini semua terjadi karena kebodohanku sendiri.
Rasa mual di perutku tiba-tiba kembali lagi lebih parah dari sebelumnya. Pandanganku tertuju pada pintu lain yang sepertinya menuju ke kamar mandi.
Dengan langkah tertatih aku berjalan menuju pintu itu. Aku merasa lega saat melihat tempat itu memang kamar mandi. Walaupun tidak terlalu luas tapi cukup lengkap dan bersih. Di dalamnya ada sebuah bathup dan shower yang menyatu, wastafel, dan kloset.
Buru-buru aku menuju kloset dan memuntahkan seluruh isi perutku hingga tubuhku terasa semakin lemas.
Selama beberapa menit aku hanya duduk di lantai kamar mandi yang dingin.
Edward Adler sialan... Aku yakin Alex akan membunuhnya kali ini, kalau tidak aku yang akan melakukannya sendiri saat kami bertemu nanti.
Saat aku sudah bisa berdiri lagi aku berjalan menuju wastafel untuk mencuci mulut dan wajahku. Di dekat cermin tersedia sikat dan pasta gigi yang masih baru dan tersegel, aku menggunakannya juga untuk menghilangkan rasa mual setelah muntah.
Seluruh tempat ini terasa baru. Bahkan aku masih bisa mencium bau cat walaupun hanya samar-samar.
Saat ini pasti aku berada di teritori Silver Moon. Alex pasti bisa menemukanku dengan cepat, Ia hanya perlu menghajar Edward Adler atau mengobrak-abrik tempat ini.
Sedikit harapan dan rasa lega membuat semangatku kembali lagi.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi untuk tidur lagi karena tubuhku masih terasa sangat lemas.
Aroma makanan membuat langkahku terhenti sebelum aku bisa mencapai ranjang. Di atas meja makan tersedia sebuah mangkuk dan sepiring roti panggang yang mengepul, padahal sebelum aku ke kamar mandi disana tidak ada apa-apa.
Mereka pasti masuk saat aku berada di kamar mandi. Tapi bagaimana mereka tahu aku sudah bangun?
Aku mendongak untuk mencari kamera di langit-langit ruangan ini. Dan benar saja, aku menemukan tiga kamera CCTV kevil yang terpasang di sudut-sudut ruangan.
Dasar brengsek. Mereka mengamatiku seperti tahanan.
Kuangkat tanganku lalu mengarahkan jari tengahku ke arah kamera.
Karena sangat lapar aku memutuskan untuk mengisi perutku dan berjalan menuju meja makan.
Mereka tidak mungkin meracuniku, kan? Karena Edward Adler membutuhkan darah Leykanku untuk ritual sadis Packnya.
Kuhabiskan sup dan roti panggang di atas meja sambil mengamati kamera CCTV yang terarah padaku. Adler pasti sedang mengamatiku dari balik layar.
Kuangkat jari tengahku untuk yang kedua kalinya, kali ini sambil tersenyum ke arah kamera.