Dahi Su Xiqin berdarah dan Mo Jintian belum pernah melihat ibunya dalam situasi seperti itu secara langsung. Tak ayal, pemandangan itu langsung membuatnya takut. Mo Jintian segera berteriak karena ketakutan begitu melihat Su Xiqin jatuh, lalu ia terus memanggil ibunya. Ia terus meneriakkan kata 'nama' dengan panik.
Setelah Su Xiqin dilarikan ke ruang UGD, tubuh mungil Mo Jintian menyusut di sudut koridor. Ia berpikir, Apakah kira-kira Mama akan bangun? Jika Su Xiqin tidak bangun, entah apa yang harus Mo Jintian lakukan.
Bai Yanshen berhenti di depan Mo Jintian selama beberapa detik, tapi Mo Jintian mengabaikannya. Bai Yanshen melihat ke arah lampu ruang UGD yang sedang menyala. Di sana, seorang wanita paruh baya sedang berdiri di dekat pintu ruang UGD. Bai Yanshen pun bertanya pada Mo Jintian, "Kamu di sini menunggu siapa?"
Suara bicara Bai Yanshen terdengar begitu dalam dan menyenangkan hingga membuat Mo Jintian mengangkat kepalanya. Ketika Mo Jintian melihat Bai Yanshen, matanya langsung meneteskan air mata. Ia menangis terisak-isak sambil menggosok mata dengan tangannya, lalu menjawab, "Aku sedang menunggu Mama."
Bai Yanshen belum pernah melihat seorang anak menangis. Namun, ketika Bai Yanshen melihat Mo Jintian menangis dengan panik dan air matanya berlinang, hatinya terasa bagaikan disengat lebah. "Kenapa kamu menangis? Mamamu di mana?"
Si kecil tidak bisa berkata-kata. Ia terus menangis terisak-isak dan tangan kecilnya menunjuk ke arah UGD. Benar saja, Bai Yanshen merasa dugaannya tidak meleset. Ia pun berjongkok di depan Mo Jintian, menatap Mo Jintian, dan bertanya, "Ada apa dengan mamamu?"
"Kepalanya berdarah dan terluka parah," jawab Mo Jintian. Setelah mengatakan hal itu, ia menangis dengan kencang hingga membuat orang yang sedang lewat di sana melihat mereka, seolah-olah Bai Yanshen sedang menggertaknya.
Bai Yanshen mengerutkan kening dan mengabaikan tatapan orang-orang, lalu lanjut bertanya, "Bagaimana bisa mamamu jatuh dan terluka?"
Mo Jintian tidak bisa menjawab pertanyaan Bai Yanshen. Ia hanya menangis terisak-isak. Jangan melihat penampilannya. Karena saat Su Xiqin mengalami kejadian seperti ini, ia lebih sedih dari siapapun.
Fu Minghe yang saat itu berdiri di pintu gawat darurat mendengar tangisan Mo Jintian. Ia menoleh ke arah Mo Jintian dan ketika ia melihat ada Bai Yanshen yang sedang berjongkok di depan Mo Jintian, ia segera melangkah keluar. "Jintian, mamamu baik-baik saja. Jangan menangis," kata Fu Minghe.
Fu Minghe menyipitkan matanya dan terkejut ketika melihat Bai Yanshen. Jika ia tidak tahu bahwa Mo Jintian adalah putra dari keluarga Mo, ia akan salah mengira bahwa orang yang berjongkok di depan Mo Jintian adalah ayahnya karena alis mereka mirip. "Siapa kamu?" tanya Fu Minghe pada Bai Yanshen.
Bai Yanshen menegakkan tubuhnya dan dengan sopan sedikit membungkukkan badan ke arah Fu Minghe. Namun, ia tidak mengatakan sepatah katapun. Mo Jintian takut Fu Minghe akan mengusir Bai Yanshen sehingga ia segera menjelaskan siapa Bai Yanshen, "Paman ini adalah temanku."
Fu Minghe memandang mereka berdua dengan tatapan curiga. Sedangkan, Mo Jintian tidak terlalu menyukai neneknya dan ingin neneknya segera pergi meninggalkannya. Masih dengan ingus dan air mata yang mengalir, Mo Jintian, "Aku ingin bicara dengan Paman."
Mo Jintian tidak melihat ke arah Fu Minghe, tapi Fu Minghe mendengar ucapan Mo Jintian. Ia pun mengangguk, lalu berjalan pergi. Sebelumnya, ia menatap Bai Yanshen sejenak. Tidak peduli seberapa kayanya Bai Yanshen, aura yang terpancar dari pria ini begitu dingin. Fu Minghe berpikir, Bagaimana bisa Mo Jintian mengenal orang seperti ini? Bukankah dia seharusnya orang yang dikenal Su Xiqin dari luar? Sekarang skandal tentang Mo Xigu sudah tersebar, jadi ada kemungkinan Su Xiqin juga balas dendam. Apalagi, pria yang di depannya itu lebih baik dari Mo Xigu. Aku harus kembali untuk mengatakan ini kepada Mo Jinghan.
Ketika Fu Minghe pergi, Mo Jintian menghapus air matanya dan menatap Bai Yanshen. Lalu, ia berkata dengan suaranya manisnya, "Paman, Paman bilang mamaku akan baik-baik saja. Itu benar, kan?"
"Dia akan baik-baik saja," kata Bai Yanshen sambil membelai rambut Mo Jintian yang seperti jamur.
"Iya," kata Mo Jintian.
Saat ini, Mo Jintian tidak mengerti kenapa ia bisa begitu mempercayai Bai Yanshen. Hanya Bai Yanshen lah orang yang saat ini ia percaya.
Bai Yanshen tidak berkata apa-apa lagi. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menelepon satu nomor.
"Kakak Xing, apa kamu sekarang sedang berada di rumah sakit?" tanya Bai Yanshen. Kakak Shen adalah teman Bai Yanshen. Namanya Xing Shensheng dan ia merupakan seseorang yang terkenal dalam dunia medis.
Setelah orang di ujung panggilan menjawab, Bai Yanshen berkata, "Begini, aku punya teman yang dirawat di UGD. Masalah penyebab sakitnya seperti apa, aku juga kurang paham. Dia terluka di bagian kepalanya dan sekarang belum sadar."
"Maaf merepotkanmu, Kakak Xing."
Setelah itu, Bai Yanshen menutup telepon dan berbalik melihat Mo Jintian yang masih meneteskan air mata. Kemudian, Mo Jintian bertanya, "Paman, apakah Paman punya teman seorang dokter?"
Bai Yanshen berjalan ke arah Mo Jintian. Lalu, Mo Jintian mendongak ke arah Bai Yanshen dan berkata, "Jika nanti dokter itu memeriksa Mama, apakah Mama akan segera lebih baik?"
Bai Yanshen merasa sulit harus menjawab pertanyaan Mo Jintian dengan jawaban apa. Tapi, setelah ia melihat ekspresi Mo Jintian yang penuh harapan, ia pun mengangguk. Mo Jintian tiba-tiba mengulurkan tangannya ke paha Bai Yanshen dan menempelkan wajahnya di kaki Bai Yanshen, lalu menggosok-gosokkan wajahnya seperti kucing.
"Paman, Paman akan mendapat berkah karena membantu orang lain," kata Mo Jintian yang membuat Bai Yanshen terdiam.
———
Xing Chensheng datang dengan cepat. Ketika ia tiba, ia langsung pergi ke ruang gawat darurat. Tiga puluh menit kemudian, Su Xiqin keluar dari ruangan. Mo Jintian langsung tidak memperdulikan Bai Yanshen, lalu berlari ke arah Su Xiqin dan berseru, "Mama..."
Fu Minghe bertanya kepada perawat yang keluar dari ruangan sambil mendorong kasur dorong, "Perawat, bagaimana keadaan pasiennya?"
"Tidak ada apa-apa. Mungkin ada sedikit gegar otak."
Perawat mendorong kasur dorong hingga memasuki lorong rumah sakit dan beberapa orang mengikutinya. Bai Yanshen yang saat itu berdiri di sudut tidak berjalan mengikutinya. Ia menunggu Xing Chensheng keluar dari UGD, barulah ia melangkah maju.
Ketika Xing Chensheng keluar dan melepas masker wajahnya, Bai Yanshen bertanya padanya, "Kakak Xing, bagaimana keadaannya?"
Xing Chensheng menjawab dengan tenang, "Cedera itu tidak terlalu serius, tapi dahinya hancur dan ada sedikit gegar otak."
Bai Yanshen mengerutkan keningnya. "Apakah nanti akan ada efek dari cedera itu?"
"Karena ada sedikit gegar otak, mungkin nanti akan ada rasa pusing," jawab Xing Chensheng sambil meletakkan tangan di atas meja.
"Bisakah rasa pusing itu disembuhkan?" tanya Bai Yanshen dengan wajah tegang.
Xing Chensheng melepas kacamatanya, lalu berkata, "Bisa, tapi harus pelan-pelan. Karena rasa pusing itu disebabkan karena banyak kehilangan darah."
Wajah Bai Yanshen yang tegang perlahan mengendur, lalu berkata, "Kakak Xing, kamu adalah orang yang ahli menangani masalah ini. Tolong lakukan yang terbaik dan resepkan obat yang terbaik."
Tiba-tiba, Xing Chensheng tersenyum ke arah Bai Yanshen dan menggodanya, "Apakah wanita itu adalah milikmu?"
"Hanya... teman biasa."
"Teman biasa, tapi bisa membuatmu sangat cemas. Ini pertama kalinya," kata Xing Chensheng sambil tersenyum. Kemudian, ia menepuk pundak Bai Yanshen dan melangkah pergi.
"Terima kasih, Kakak Xing."