Suasana menjadi hening setelah mpenuturan Rianti seperti itu. Baik aku, Romo, dan juga Biung, ndhak ada satu pun dari kami yang bersuara. Bagaikan mendengar petir di siang hari tanpa adanya mendung, dan hujan. Bagaikan mendengar letusan dari gunung lawu yang sudah lama ndhak meletus. Kami, mencoba untuk ndhak percaya. Kami, benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa.
Di sana, di depan kami. Rianti masih menangis, bahkan raungannya terdengar sangat menyakitkan. Kedua tangannya menggenggam erat dadanya yang aku yakin, rasanya benar-benar terasa sesak sekarang. Aku ingin berjalan maju, menariknya untuk kudekap erat-erat. Namun, aku ndhak berani. Nyaliku, ndhak sebesar itu. Rasa bencinya, rasa sakit hatinya kepadaku, ditambah rasa hancurnya sekarang ini. Membuatku ndhak mau menambah penderitaannya lagi.