Kulihat Manis yang wajahnya sudah memerah, dia memalingkan wajahnya padaku. Pasti, saat ini dia sedang marah karena perlakuanku yang kurang ajar kepadanya. Kuhela napas panjang, mengontrol emosi yang seolah ingin naik ke ubun-ubun. Sabar... sabar, kali ini aku memang yang salah. Kali ini memang aku yang ndhak tahu tempat.
"Ayo ke kontrakan," ajakku, menarik tangannya untuk pergi, tapi dia enggan. Apa dia benar-benar marah karena perlakuanku sekarang? Jika iya, maka matilah aku sekarang.
"Masih ada urusan yang belum kuselesaikan, Kangmas. Nanti, ya," mendengar dia mengatakan itu dengan nada lembut, agaknya aku tahu, jika saat ini dia ndhak dalam keadaan marah. Tapi, aku tetaplah aku, aku ndhak mau mengulur-ngulur waktu dalam hal apa pun itu.
"Ayo bali, sekarang!" perintahku yang sudah ndhak sabaran. "Apa mau kuajak kamu malam pengantin di sini? Jika iya, maka aku sama sekali ndhak masalah."
"Tapi urusanku benar-benar—"