Setelah mereka selesai makan malam, Oma Lin membiarkan kedua anak muda itu bercengkrama di balkon dan mengobrol. Ia mengaku sudah mengantuk dan ingin tidur lebih cepat. Dengan senang hati Haoran menarik tangan Emma ke arah balkon dan duduk mengobrol di sana.
"Oma Lin sangat percaya kepada kita, ya..." cetus pemuda itu sambil tersenyum gembira. "Ahh.. kurasa dia percaya kepadaku karena aku memiliki wajah polos yang dapat dipercaya."
Emma menggeleng-geleng melihat betapa Haoran tampak sangat percaya diri.
"Kita tidak usah berlayar ya," kata Emma sambil membawakan jus untuk mereka berdua dan duduk di sebelah Haoran. "Sebaiknya besok kau belajar lagi untuk ujian. Aku juga masih harus mengerjakan banyak hal. Kita bisa bertemu lagi hari Senin untuk membahas ujianmu."
"Baiklah, tidak apa-apa. Lagipula aku senang sekali malam ini bisa menghabiskan waktu bersamamu dan Oma Lin."
Keduanya lalu duduk menyandarkan tubuh mereka ke kursi dan mengamati taman kecil di bawah gedung apartemen Emma. Tidak ada yang bicara apa-apa. Keduanya hanya menikmati kebersamaan mereka tanpa suara.
Perlahan-lahan tangan Haoran terulur ke samping dan ia mengambil tangan kiri Emma. Ia lalu mengaitkan tangan kiri gadis itu ke tangan kanannya, dan mereka duduk sambil berpegangan tangan, mengamati sekitar mereka.
***
Haoran dan teman-temannya mengikuti ujian sekolah musim panas dengan persiapan yang sangat matang. Emma telah melihat betapa kuat tekad mereka selama hampir dua bulan ini belajar dan mengejar ketinggalan mereka sebelumnya.
Nilai-nilai pra ujian mereka semua terlihat menunjukkan peningkatan yang nyata, tetapi sebelum mereka berhasil mendapatkan nilai yang bagus di ujian akhir, tidak ada seorang pun yang bermalas-malasan.
Emma sangat puas melihat hasil murid-muridnya ketika mereka bertemu di rumah Haoran setiap hari setelah selesai ujian dan ia memeriksa jawaban-jawaban mereka. Ujian hari Senin, Selasa dan Rabu semuanya berhasil mereka selesaikan dengan baik.
Emma sendiri harus mengikuti ujian dari tempat kursusnya pada hari Rabu dan Jumat agar ia dapat memperoleh sertifikatnya. Sama seperti murid-muridnya, Emma pun belajar giat. Walaupun ia sangat menguasai semua materi, ia tidak menganggap remeh keempat ujian yang akan ia hadapi.
"Emma, hari Jumat adalah hari ujian terakhir, kau mau merayakannya dengan berlayar bersama teman-teman?" tanya Haoran.
"Aku juga ada ujian terakhir di hari Jumat," kata Emma. "Ujianku selesai jam 3 sore."
"Oh.. kami selesai jam 12. Kalau begitu biar anak-anak ke marina duluan. Aku atau Eric akan menjemputmu di kampus. Bagaimana?" tanya Haoran.
"Boleh juga. Aku akan membawa pakaian dari rumah," jawab Emma setuju.
Hari jumat ada dua ujian yang harus dihadapi Emma. Ujian terakhir adalah ujian Programming yang berlangsung dari pukul 1 hingga 3 sore. Mereka diberikan tugas untuk memecahkan beberapa soal programming yang rumit dan diberikan waktu 2 jam.
Allan yang duduk di samping Emma, seharian itu tampak gundah. Ini merupakan hari terakhir kursus dan minggu depan ia tak akan memiliki kesempatan lagi untuk bertemu Emma. Ia merasa kesal kepada dirinya sendiri karena tidak bersikap lebih agresif dan menyia-nyiakan waktu dua bulan begitu saja.
Kepergian mereka ke konferensi Cybersecurity minggu lalu yang tadinya diharapkannya dapat ia gunakan untuk mengenal Emma lebih dekat dan kemudian mengajaknya kencan ternyata sia-sia saja. Emma langsung pulang setelah bertemu Ren Hanenberg dan bahkan tidak menunggunya untuk pulang bersama.
Ah.. ia bertekad, hari ini ia akan menyatakan perasaannya kepada Emma. Ia percaya diri bahwa dengan wajahnya yang tampan, statusnya sebagai mahasiswa kedokteran, dan latar belakang keluarganya yang kaya akan dapat membuat Emma tertarik kepadanya.
Bagaimanapun, dulu Allan adalah siswa idola di SMA-nya. Ada begitu banyak gadis yang antri ingin menjadi kekasihnya. Ia yakin, Emma pasti akan merasa terkejut saat mendengar pengakuannya. Gadis itu pasti akan menerima cintanya. Allan hanya perlu menyatakan perasaannya sebelum mereka berpisah.
"Emma.. setelah ujian, aku ada perlu sebentar denganmu. Kau mau kan menungguku?" tanyanya saat mereka duduk di kelas dan mulai mengeluarkan laptop masing-masing.
"Oh..." Emma tampak ragu mengiyakan permintaannya. "Aku ada janji dengan teman-temanku."
"Tidak lama, kok. Cuma sebentar, ada yang mau kubicarakan. Ini penting," kata Allan lagi.
Emma berpikir sejenak dan akhirnya mengiyakan. Bagaimanapun Allan sedikit berjasa kepadanya karena minggu lalu membawanya bertemu Ren Hanenberg. Setidaknya, Emma bisa menyisihkan sedikit waktu untuknya.
"Baiklah. Nanti sepulang ujian aku tunggu di depan kelas."
Allan tampak sangat senang mendengarnya. Suasana hatinya menjadi membaik dan ia pun tersenyum di sepanjang sisa kelas.
Emma menyelesaikan tugas ujiannya lebih cepat dari yang lain dan pukul 14.30 sudah beranjak keluar dari kelas membawa tas dan laptopnya. Ia duduk di depan ruang kelas sambil membaca-baca informasi tentang SpaceLab sambil menunggu Allan keluar dari ruang ujian.
Lima belas menit kemudian, Allan pun menyelesaikan ujiannya dan segera menyusul Emma keluar.
"Hei.. terima kasih kau sudah menungguku. Ayo kita cari tempat yang enak untuk bicara," kata pemuda itu dengan wajah gembira.
"Hmm.. di depan gerbang saja, ya.. soalnya temanku akan menjemputku," kata Emma.
"Baiklah. Kebetulan mobilku juga diparkir di dekat gerbang. Kita sekalian ke mobilku saja," kata Allan sambil mengangguk setuju.
Keduanya lalu berjalan beriringan ke arah gerbang. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.50. Haoran atau Eric akan datang menjemput Emma sebentar lagi.
"Aku punya sesuatu untukmu di mobilku," kata Allan dengan wajah berseri-seri. Ia mengacungkan kuncinya dan terdengar bunyi kunci mobil terbuka. Ia berlari kecil ke arah sebuah mobil Nissan terbaru dan mengambil sebuah kotak dari dalamnya. Ia sengaja mengambil hadiah untuk Emma dari mobilnya agar gadis itu dapat melihat mobil barunya yang selama ini banyak membuat gadis-gadis terkesan.
"Ini hadiah untukmu... kemarin aku sedang berjalan-jalan di mal dan melihat ini. Aku teringat kepadamu dan memutuskan untuk membelinya." Ia membuka kotak kecil itu dan menunjukkan sebuah jepit rambut yang cantik sekali. "Kuharap kau mau menerimanya."
"Uhm.. terima kasih. Tapi aku tidak bisa menerima hadiah ini," Emma berusaha menolak dengan halus. "Kau berikan saja kepada kekasihmu atau adik perempuanmu."
Wajah Allan seketika berubah merah saat mendengar kata-kata Emma. "Aku... tidak punya kekasih."
"Oh..." Suasana seketika menjadi canggung. Emma tahu Bianca selama ini digosipkan sebagai kekasih Allan Wu. Apakah mereka tidak pacaran? Berarti selama ini Bianca hanya menyimpan perasaannya sepihak?
"Sebenarnya.. aku..." Allan menatap Emma dalam-dalam. "Aku sangat menyukaimu. Aku berharap kita bisa tetap bertemu setelah kursus ini selesai."
Emma mengerutkan keningnya dan balas menatap Allan. "Maaf, aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku sudah punya kekasih."
Tepat saat itu masuk SMS dari Haoran.
[Emma, aku yang menjemputmu. Eric masih harus mengantar adiknya kursus balet. Dia akan menyusul kita nanti. Aku sudah hampir sampai.]
"Kau sudah punya kekasih?" Allan rasanya tak dapat mempercayai pendengarannya.
"Benar. Maaf aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku sudah punya kekasih. Kebetulan dia akan menjemputku sebentar lagi. Aku tidak mau dia salah paham."
Emma menunduk sedikit dan berjalan ke luar gerbang, meninggalkan Allan yang berdiri tertegun di tempatnya. Beberapa menit kemudian mobil Porsche putih milik Haoran menepi dan Emma buru-buru berjalan mendekatinya.
Sebelum Haoran dapat keluar untuk membukakan pintu bagi Emma, gadis itu telah berjalan ke sisi pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil.
"Ayo pergi dari sini. Barusan Allan Wu menyatakan cinta kepadaku. Aku merasa tidak enak berlama-lama di sini," cetus Emma.
Ia memasang seatbeltnya dan lalu menoleh kepada Haoran. Pemuda itu membelalakkan matanya menatap gadis itu.
"Jadi dia menyatakan cinta juga kepadamu? Apa perlu aku keluar dan bicara dengannya?" tanya Haoran.
Emma menggeleng. "Tidak usah. Toh, kita tidak akan pernah bertemu dia lagi. Lebih baik tak usah mencari masalah."
"Hmm.. baiklah." Haoran lalu melajukan mobilnya ke arah dermaga. Sementara itu Allan hanya bisa berdiri kebingungan di tempatnya.
Ahh.. seharusnya ia bisa menduga bahwa Emma sudah memiliki kekasih. Gadis itu selama ini selalu bersikap acuh tak acuh kepadanya. Kekasihnya pun sepertinya merupakan pemuda dari keluarga kaya.
Pemuda itu akhirnya hanya bisa menghela napas. Ia menatap jepit rambut cantik yang ada di tangannya dengan pandangan sendu.
Sia-sia saja.