Descargar la aplicación
21.89% Danke / Chapter 37: Regret.

Capítulo 37: Regret.

Ada yang aneh dari suasana kantin Universitas Merah Putih pagi ini, tak ada tanda-tanda Pelita di sana pun dengan Karang. Valerie terlihat bercengkrama dengan teman-temannya di lorong kampus sembari berbagai kebahagiaan bahwa bulan depan ia akan segera menikah dengan Karang, meski Karang pun belum menyetujui apa pun dan ia belum katakan apa pun pada ayahnya di Bandung.

Kamila, Anggi dan Chintya juga sudah mendengar kabar itu karena tak mungkin berita top news dari seorang Valerie Lau tak menyebar dengan cepat, layaknya air banjir yang cepat mengalir ke segala penjuru.

"Kalau lo diundang mau pakai baju apa?" tanya Kamila pada dua temannya yang juga duduk di dalam kantin, mereka ada di bagian pojok persis sebelah jendela.

"Gue sih gampang ya, pesan dulu sih jauh-jauh hari ke butik langganan. Pastinya yang paling keren," sahut Chintya sembari sibuk dengan ponselnya.

"Benar tuh benar, musti pesan jauh-jauh hari. Gue juga harus minta duit dulu sama papa, nggak ada budget buat bikin gaun," tambah Anggi.

"Iya juga, ah gue gampang dah nanti. Ini si Pelita serius nggak masuk?"

Anggi mengangguk, ia menyeruput sedikit kopi paginya. "Tadi Tante Mona telepon gue, itu anak sakit katanya."

"Sakit apa yah? Nanti pulang kita jenguk deh, lagian abis dari pantai dia ngilang ke mana sih? Cuma bilang ada urusan dadakan aja. Itu anak lama-lama misterius juga," ujar Kamila.

"Rencanannya sih gue mau kenalin dia sama cowok, biar punya pacar. Kasihan, nih liat teman cowok gue." Chintya menunjukan foto di ponselnya pada Anggi dan Kamila.

Mata Anggi dan Kamila berbinar usai melihat foto laki-laki itu, tampan.

"Itu siapa, Chin?" tanya Anggi seraya merebut ponsel temannya, ingin melihat lebih lekat lagi.

"Namanya Raksa, anak kampus sebelah."

"Boleh juga sih, siapa tahu Pelita mau sama dia. Biar nggak jomlo terus," timpal Kamila.

Chintya merebut kembali ponselnya, "Iya pasti mau lah, anaknya baik kok. Besok deh gue suruh dia ngapel ke rumah Pelita."

"Lah, emangnya si Raksa itu udah kenal Pelita?" Anggi menatap kedua temannya bergantian sebelum menyeruput minumannya.

"Kenal, gue udah kasih tahu ke dia tentang Pelita sejelas-jelasnya," sahut Chintya.

"Top! Chintya mak comblang sejati!" Ketiganya melakukan high five.

***

Ketika teman-temannya justru sibuk memikirkan pasangannya, Pelita justru diam dan enggan bertemu dengan siapa pun hari ini. Dia mengunci diri di dalam kamar, ia duduk bersandar pada bantal-bantal ranjang besarnya sembari memeluk lutut dengan tatapan kosong mengarah ke jendela yang terbuka.

Sesekali ia menghela napas, sebagai tanda dirinya masih hidup hari ini. Matanya sayu, wajah serta bibirnya juga pucat, ia tak punya daya untuk melakukan hal apa pun kecuali melamun. Iya, melamun tak butuh tenaga bukan?

Ponselnya terus bergetar di sisi bantal, tapi tangannya enggan bergerak, matanya pun tak ingin melirik siapa nama gerangan yang menghubunginya bertubi-tubi itu. Ia hampa, kosong, ingin mati.

Sejak malam itu, rasa kaku seolah menjalar ke sekujur tubuhnya. Benteng pertahannya sudah runtuh dalam sekejap, nyeri pada bagian sensitifnya juga sangat terasa hingga hari ini. Bayangan darah ketika ia terbangun pagi itu membuatnya benar-benar muak, apalagi setelah melihat laki-laki masih tertidur di sebelahnya—ingin sekali Pelita mencekik Karang detik itu juga.

Namun, akal sehat menolak keras. Ia memilih membersihkan diri yang sudah tak suci lagi dan lekas pulang tanpa pamit, hingga detik ini ia tak peduli bagaimana keadaan Karang setelah malam itu.

Pelita akan selalu menempatkan malam itu sebagai malam terkutuk dalam hidupnya, ia benci!

Perasaan menyesal juga terima kasih terbentang antara garis yang begitu tipis, ia menyesal sudah melakukan hal gila itu dengan Karang padahal rasa sakit bertubi-tubi sudah ia rasakan. Namun, jika hal itu tak terjadi apa ia masih sanggup bernapas hingga hari ini? Rasa dingin malam itu membuatnya benar-benar begitu rendah, seperti gadis nakal yang haus belaian.

Pelita ingin katakan hal itu pada seseorang, ia bisa stres jika berlama-lama memendamnya sendiri. Harus pada siapa ia mengadu? Teman-temannya saja tak tahu perihal hubungan itu, jika mereka tahu pun apa tanggapannya? Bisa saja mereka jijik dengan Pelita yang mengganggu hubungan orang dan mau-mau saja berhubungan badan, dasar wanita jalang!

Kepala gadis itu menoleh ke kiri, tangan kirinya bergerak meraih vas bunga di mana setangkai mawar putih tertancap di sana. Ia melempar benda itu ke lantai hingga jatuh berantakan.

Prang!

"Argh!" erang Pelita meremas rambutnya frustrasi, ia melempar semua benda yang ada di dekatnya termasuk ponsel hingga terbelah dua.

"Gue benci lo, Karang! Gue benci sama lo!" teriak Pelita menggema cukup keras di kamarnya.

Ia menyandarkan kepala pada bahu ranjang, tangan kanannya menyentuh leher sebelum terkepal kuat di sana.

Lama-lama Pelita bisa gila karena hubungan itu.

Siapa yang bertanggung jawab penuh?

Karang!

Tentu saja Karang!

Kini terlihat sebuah motor kawasaki ninja warna abu-abu menepi di depan gerbang tinggi rumah gadis itu, ketika helm itu terlepas dari kepala jelas sudah siapa pemiliknya, Karang.

Berani-beraninya dia datang ke rumah Pelita setelah semua hal gila malam itu terjadi tanpa rasa bersalah.

Karang menghampiri gerbang dan membukanya sendiri, ia masuk melewati halaman rumah dengan kepala menengadah menatap balkon kamar di lantai dua.

Setelah sampai di beranda, ia mengetuk pintu bercat putih itu—lalu menekan tombol bel juga.

Ia menunggu dengan sabar hingga gadis itu keluar.

Ketika Pelita baru saja membuka pintu, ia hendak menutupnya lagi setelah tahu siapa manusia laknat yang datang. Namun, kaki Karang menahan pintu agar tak tertutup lagi.

Gadis itu tak mau berada di sana, dia memilih melangkah masuk ke dalam tanpa peduli tamunya pagi ini.

"Pelita!" panggil Karang sembari mengikuti langkah gadis itu yang kini menapaki tangga. ,"Pelita!" panggil Karang lagi, gadis itu sama sekali tak menoleh dan terus melangkah hingga tiba di depan kamarnya.

Ketika Pelita meraih kenop pintu, Karang menghalanginya agar tak masuk kamar. Gadis itu memutar arah dan menuruni anak tangga lagi, ia benar-benar muak melihat wajah laki-laki itu.

"Pelita!" Kini Karang sudah menghalangi langkah gadis itu tepat setelah pijakan anak tangga terakhir, Pelita memutar arah lagi, tapi tangan Karang menarik gadis itu lalu merengkuhnya.

Pelita enggan membuka kata, ia bisu kali ini. Setelah Karang melepas pelukan itu, ia membingkai wajah pucat Pelit, menatapnya lekat eboni yang menawan.

"Kita ke rumah sakit sekarang ya, kamu sakit, kan?"

Pelita menatap nanar sosok di depannya, menepis tangan itu dengan kasar.

"Ngapain? Tes keperawanan, hm? Kamu pikir mama aku orang gila yang nggak mau urus anaknya pas lagi sakit. Mending sekarang kamu pulang, pintu keluar ada di sana." Tangan Pelita menunjuk pintu bercat putih yang masih terbuka. "Itu pun kalau kamu lupa sama yang namanya pintu."

"Kita harus bicara."

"Bukannya kita juga lagi bicara, kamu budeg sampai nggak dengar suara aku?" Pelita berdecih, bibirnya kering mengeripik apalagi sejak malam itu ia enggan mengkonsumsi apa pun termasuk air minum.

"Kamu ikut aku," ajak Karang.

"Ikut ke mana? Neraka? Ayo!"

"Ta, aku minta maaf atas semua hal yang terjadi malam itu. Aku benar-benar minta maaf," sesal Karang.

"Setelah minta maaf lalu apa? Pergi meninggalkan? Begitukah Karell Rafaldi Angkasa?"

"Nggak ada yang mau tinggalin kamu, Ta. Aku udah sumpah sama diri sendiri, kamu ikut aku ya. Kamu perlu hiburan, kan?"

"No! Get out from my home, please!" Gadis itu membentak dengan keras, dadanya naik turun. Ia makin tak tahan menghadapi laki-laki itu.

Karang menghela napas panjang, sepertinya dosa mereka malam itu sudah membuat pikiran Pelita terguncang. "Kamu mau apa, Ta? Mau aku mati juga bakal aku turutin sekarang, ayo kita ambil pisau biar kamu senang."

Pelita tersenyum miring, dia berdecih. "Mati? Mati aja sana sendiri. Mending pergi aja dari hidup aku, dan anggap apa pun antara kita itu nggak ada. Deal?" Tangan kanan gadis itu terangkat.

"Nggak bisa, aku nggak bisa enyahin kamu dari pikiran, Ta. Jangan paksa aku."

"Tapi kamu udah jahat sama aku!" Air mata itu akhirnya meluruh lagi, seberusaha keras apa pun ia takkan sanggup membendungnya lebih lama, Pelita goyah.

Karang juga mulai tersulut emosinya, "Iya aku jahat! Bajingan! Possesive! Semua itu cara aku buat selalu sama kamu. Biar kamu nggak pergi, aku cuma nyari alasan biar kamu nggak tinggalin aku, Ta."

"Bohong! You lying, Baby. Please don't disturb me, get out!" Tangan Pelita kembali menunjuk pintu utama.

"Sekeras apa pun kamu dorong aku buat mundur, sekeras itu juga aku akan balik lagi, lagi dan lagi sampai kamu maafin aku. Aku sayang kamu, maafin aku." Karang mengecup kening gadis itu lalu melenggang keluar dari rumah Pelita.

Sedangkan gadis itu kini meluruh dan terduduk di lantai, ia menangis tersedu-sedu, kenapa tiap harinya hati harus makin sesak. Kenapa tak cabut saja nyawanya Tuhan.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C37
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión