Descargar la aplicación
4.14% Danke / Chapter 7: Cobalah Paham.

Capítulo 7: Cobalah Paham.

Mereka masih di tempat yang sama; halaman belakang kampus. Karang masukan ponsel pada saku jaket saat ia menyadari bahwa ada sosok yang harus lebih diperhatikan kali ini, tapi ketika pemilik punggung tegak itu menoleh—rupanya sesuatu membuat Karang menerka-nerka dalam kepala, seingat Karang—ia tak pernah mendengar desas-desus perihal hantu atau penampakan di area belakang kampus selama kakinya menapak di selasar tempat itu hampir empat tahun lamanya. Lalu, kenapa gadis yang duduk di sisi justru menerawang tanpa arah seraya tersenyum? Karang bahkan ingat kalau ia sama sekali tak bisa membuat lelucon, bicara saja belum.

Ia masih bergeming memperhatikan Pelita, menatapnya dari sisi.

"Siapa yang lo pikirin?" Akhirnya bibir Karang sudi bertanya.

Bodohnya, Pelita sama sekali tak menyahut. Ia benar-benar seperti manusia kesurupan yang hilang akal, harusnya Pelita tak memikirkan sesuatu dari masa lalu—ketika ia bahkan duduk di sebelah kekasihnya, memori itu datang tanpa aba-aba, Pelita tak bisa menolaknya.

Karang berdeham, ia makin merasa ada yang tidak beres. "Lo mikirin apaan, sih?" Mengulang pertanyaan pun tak mampu menyadarkan Pelita, laki-laki itu mulai gemas hingga bola matanya menjelajah keadaan di bawah sebelum tubuh itu membungkuk raih sebuah batu di dekat kaki, tiba-tiba saja Karang memukul kursi menggunakan batu hingga terdengar bunyi yang cukup menyakiti indra pendengaran gadisnya.

"Ardo!" cerocos Pelita tanpa penghalang, ia langsung mendelik saat kesadarannya telah kembali. Ia ingin menoleh, tapi takut melakukannya, ekspresi macam apa yang akan Karang tampilkan sekarang.

"Apa? Jadi lo lagi mikirin Ardo dari tadi? Apa gue nggak kelihatan, hm?" Tentu saja bola mata itu menyala saga, lucunya Pelita bergerser seolah sengaja memberi jarak antara mereka, tapi refleks Karang mencengkram lengan Pelita dan membuatnya duduk di posisi semula. "Lo mikirin siapa tadi! Coba ulang!" hardik Karang, lagi-lagi dia tak bisa menahan emosinya. Laki-laki itu berdiri dan mencengkram lengan Pelita, memaksanya berdiri, menatapnya dengan alis bertaut—membuat rasa takut Pelita berlipat ganda.

"Maaf, Kak. Maafin aku, aku nggak sengaja," sesal Pelita tanpa berani menatap manik mata Karang.

"Maaf? Maaf apa maksud lo, hm? Tadi lo bilang sendiri lagi mikirin si Ardo, jadi lo belum bisa move on dari dia? Lihat gue!"

Pelita menghela napasnya, dia yang awalnya menunduk kini memberanikan diri menengadah, menatap mata Karang yang langsung menghujamnya seperti kilatan petir. Amarah jelas terpancar dalam bola mata Karang.

"Apa yang kemarin gue bilang kurang jelas, jangan—"

"Aku nggak sengaja, Kak!" bentak Pelita tanpa sadar, "Kakak kalau nggak bisa pahamin aku—lepasin aja, biar nggak jadi beban. Pikiran siapa yang punya? Aku!"

Karang menghempasnya, membuat gadis itu kembali duduk sambil menunduk kepalkan tangan. Karang semakin meradang saat kakinya menendang penyangga kursi besi di dekat Pelita hingga gadisnya refleks memejam sesaat. Ia semakin menyesali perbuatan teledornya tadi, kenapa ingatan perihal Ardo harus hinggap di saat yang tidak tepat.

"Lupain Ardo, ya lupain!" Suara Karang kembali meninggi, kembang kempis dada yang terlihat cepat begitu mewakili rasa sesak dalam benaknya.

Tanpa Karang sadar, gadis itu sedang mengurai air matanya. Dia tak tahan dibentak terus-terusan, Ardo saja tak pernah memperlakukannya seperti itu, jika Ardo marah dia hanya akan diam lalu kembali ketika mulai membaik. Apa Pelita harus membandingkan sikap kekasih barunya dengan sang mantan? Bahkan sang ibu pun tak pernah membentaknya seperti itu, angan Pelita tentang kelanjutan hidup yang takkan baik-baik saja usai bertemu Karang ternyata menjadi nyata, ia rasa kecewa.

"Jangan gituin aku lagi." Suara Pelita bergetar—seirama dengan bahunya, ia sesenggukan tanpa sudi menatap sang pelaku utama. Karang membeku sejenak tatap gadis di depannya, ia menghela napas berat sebelum berjongkok di depan Pelita, sedikit menengadah seraya angkat tangan sekadar menepikan beberapa surai yang jatuh menutupi wajah kuarsa gadisnya. Kedua tangan Karang membingkai wajah Pelita, tapi gadis itu sama sekali enggan menatapnya.

"Lihat gue sebentar," pintanya dengan suara yang mulai melunak.

Pelita mengikuti inginnya, ia beranikan diri menatap Karang meski wajahnya sembap, ekspresi Karang pun tampak memelas penuh sesal, bola mata itu tak lagi terlihat mengerikan.

"Maaf," ucap Karang tulus.

"Buat apa?"

"Maaf karena gue udah bentak-bentak lo tadi, gue emang begini, maaf." Tangan Karang meluruh dari wajah Pelita, dia beranjak dan melangkah hampiri kolam. Karang membungkuk meraih sebuah batu sebelum melemparnya jauh ke air hingga menimbulkan suara gemricik yang khas.

Pelita menghapus semua air mata yang tersisa di wajahnya, dia menatap punggung Karang. Laki-laki itu masih saja melempari batu ke air kolam, seperti anak kecil yang asyik bermain seorang diri.

Pelita beranjak, tapi bukan mendekati Karang. Ia telanjur kecewa dan putuskan hampiri jalur keluar dari tempat itu tanpa berucap sepatah kata lagi. Kedua telinga Karang mendengar jelas suara rerumputan bergerak akibat gesekan kaki, laki-laki itu menoleh dapati punggung Pelita yang kian jauh, gadis itu sebenarnya nyata—hanya saja Karang belum benar-benar bisa menyentuh, ia miliki raganya, tapi sia-sia jika hatinya masih disinggahi orang lain.

Tak apa, dia membiarkan gadis itu pergi. Karang sudah berbuat salah, Pelita benar bahwa tak ada yang bisa memaksa perasaan seseorang, dia hanya berharap suatu saat Pelita akan terbiasa dengannya, pada Karang yang kasar dan otoriter.

Pelita terus melangkah di koridor tanpa memperhatikan jalan di depannya hingga tanpa sadar tubuh itu berserobok dengan seseorang meski tak sampai terjatuh, Pelita hanya mundur beberapa langkah saja.

"Pelita?"

Pelita menengadah, ternyata laki-laki itu—yang baru saja ia pikirkan tadi—justru sudah berada di depannya. Pelita menoleh ke belakang, tak ada tanda-tanda Karang di sana, dia kembali menatap Ardo bersama raut sendu yang tak bisa disembunyikan.

"Lo nangis?" Tak perlu diperjelas karena mata Ardo juga bisa menerjemahkan wajah basah Pelita dengan pupil sedikit kemerahan.

Pelita menghapus sisa-sisanya, sial! Kenapa air mata itu masih saja keluar.

"Siapa yang buat lo nangis? Yang jelas bukan gue, kan? Kita udah mantan soalnya." Lawakan Ardo juga tak lagi membuat Pelita tertawa, mereka sudah berbeda.

"Bukan kok, maaf gue masih ada urusan." Buru-buru Pelita beringsut pergi tanpa menoleh lagi, seperti ketakutan.

"Itu cewek habis lihat setan atau apa? Atau gue setannya?" gumam Ardo sambil menunjuk dirinya sendiri, dia memang polos-polos minta ditabok.

Waktu memang seringkali menyebalkan saat berlalu begitu cepat, padahal seseorang justru ingin diam saja tanpa mengidahkan detak jarum jam yang terus bergerak menghabiskan sisa hari ini.

Ada dinding tebal transparan yang memisah mereka, atau bahkan mereka sibuk menikmati dimensi masing-masing tatkala keduanya sama-sama putuskan membisu usai Karang menjemput kekasih keduanya di halte dekat kampus sepuluh menit lalu, waktu juga semakin mengintimidasi ketika mengharapkan salah satu dari mereka mengalah pada sebuah pembicaraan agar suasana sunyi dalam mobil bisa tersingkirkan. Pelita sandarkan punggung pada jok seraya miringkan wajah tatap keadaan di luar jendela tanpa memedulikan laki-laki yang sesekali meliriknya penuh arti.

Karang bingung, kenapa sikap Pelita tak bisa seperti ketika gadis itu bersama Ardo, yang dia tahu kalau Pelita itu cerewet kepada Ardo, sedangkan padanya? Apa semua masalah waktu, apa Karang terlalu buru-buru mengambil langkah salah itu.

"Lo mau ke apartemen gue lagi, kan?" tanya Karang mengalah untuk bicara lebih dulu, ia dikalahkan rasa ingin tahu.

"Kenapa nggak ke rumah Kakak aja. Kenapa harus ke apartemen," sahut Pelita tanpa menoleh.

Karang mendengkus. "Lo mau ke Bandung sekarang?"

Barulah gadis itu menoleh, ia tertarik pada obrolan mereka. "Bandung? Ngapain ke Bandung?"

"Ke rumah bokap gue, mau?"

Pelita mengernyit. "Enggak deh, kok jauh gitu? Berarti Kakak di Jakarta sendirian?"

Karang tersenyum miring saat ia merasa temukan pembahasan yang cocok agar gadisnya sudi lagi berbicara.

"Enggak sendirian kok, nyokap juga ada."

"Ya udah kalau gitu kita ke rumah mama Kakak aja, gimana?"

Karang menggeleng sembari fokus mengemudi, rautnya datar.

"Kenapa?"

"Gue bukan anaknya lagi, Ta."

Pelita terdiam pun dengan Karang, gadis itu merasa ada yang tidak baik-baik saja, mungkin saja sudut mata Karang memang memiliki banyak rahasia yang baru Pelita buka celahnya perlahan. Ia pikir topik tadi menyenangkan, rupanya Pelita salah besar, ada sesuatu yang mengecewakan. Keadaan seolah berbalik saat Karang putuskan diam saja, dan Pelita sibuk menerka-nerka.

Jika Pelita salah, tolong maafkan.


REFLEXIONES DE LOS CREADORES
aprilwriters aprilwriters

Jangan lupa kasih review ya biar penulisnya makin semangat, insyaallah bakal sering di update ❤❤

Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión