Descargar la aplicación

MAKAN MALAM ROMANTIS

Zizi baru menyadari ternyata melihat pria memasak itu menarik. Bagaimana tangan pria itu memotong sayuran terlihat atraktif. Postur tubuhnya yang sedikit membungkuk membuatnya terlihat lebih maskulin. Senyumnya dari balik kitchen island terlihat lebih menggoda. Zizi sekarang setuju bahwa pria yang bisa memasak itu memang lebih seksi.

Pria itu sudah selesai. Dia menata makanan di atas meja. Zizi kembali tertegun melihatnya menuang air ke dalam gelas di depannya. Entah sejak kapan dia menyukai adegan ini. Zizi terlonjak kaget ketika tangan pria itu mendarat di keningnya.

"Kenapa?"

Pria itu menggeleng.

"Kukira kamu sedang demam. Kamu bertingkah aneh," jawabnya sambil tersenyum.

"Aku? Bertingkah aneh?" Tanya Zizi tidak percaya.

"Iya. Melamun dan senyam-senyum sendiri," jawabnya lalu mencubit pipinya.

"Oh, itu. Em, aku," Zizi menggaruk lehernya yang tidak gatal sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Alis pria itu terangkat dan tatapan matanya menunggu penjelasan. Zizi buru-buru mengambil beberapa sendok kentang dan udang.

"Aku lapar. Boleh kita makan sekarang?"

Pria itu tersenyum miring lalu mengacak rambut di ubun-ubunnya.

Zizi menawarkan diri mencuci piring usai mereka makan siang. Dia berjalan menuju wastafel cuci piring dengan membawa peralatan makan kotor di tangannya. Dia melihat pria itu sedang membersihkan permukaan meja konter di kitchen island.

"Jangan piring dulu. Cuci gelas dulu biar lemaknya tidak menempel," perintah pria itu dari tempatnya.

"Iya."

Zizi menaruh kembali piring di tangannya lalu mengambil gelas.

"Sponmu sudah kotor. Gelasnya nanti berbau amis," katanya lagi yang telah berdiri di sampingnya.

Zizi melongo. Sejak kapan mencuci peralatan makan jadi serumit ini? Spon di tangannya direbut. Pria itu membersihkannya dengan air yang mengalir.

"Kamu jarang mencuci piring?"

Pertanyaan itu lebih terdengar seperti tuduhan.

"Aku kadang membantu mama," jawabnya membela diri.

"Kamu tidak bisa memasak?" Tuduhnya lagi sambil menyabuni gelas.

Zizi menggeser tubuhnya agar pria itu lebih leluasa melakukan pekerjaannya.

"Aku bisa masak mie instan," Zizi membela dirinya lagi.

"Apa itu bisa disebut memasak?" Tanyanya sinis.

"Tentu saja. Bukannya memasak artinya menyiapkan makanan dengan cara mencampur dan menghangatkan beberapa bahan makanan?"

Pria itu tertawa. Zizi mengerucutkan bibirnya kesal.

"Huh." Pria itu mendesah lalu bergumam sendiri, "aku kira pekerjaan rumahku akan lebih ringan."

***

Andres mengantar gadis itu sampai di depan kamarnya. Dia tidak yakin gadis itu bisa menemukan kamarnya sendiri. Sedikit demi sedikit dia mulai memahami karakternya.

"Istirahatlah. Aku akan menjemputmu saat makan malam," ucapnya.

Gadis itu mengangguk kemudian berbalik untuk meraih gagang pintu. Perasaannya diliputi kekecewaan. Andres tidak terima gadis itu pergi terlalu cepat. Dia menangkap pergelangan tangannya dan memanggilnya dengan aksen Andaluz miliknya /bea/ "Bella!"

Gadis itu berbalik sambil memandangnya. Sudah lebih dari 30 detik tapi tidak ada kata yang keluar. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mencium dan memeluk gadis itu, tapi dia menahan diri. Dia tidak mau gadis itu memandangnya sebagai binatang buas. Dia ingin gadis itu terus memandangnya seperti ini dengan mata bulat berwarna hitam pekatnya yang teduh.

"Jangan kabur," perintahnya lebih ke permohonan.

Gadis itu mengangguk. Andres menarik tangannya lalu memasukkannya ke dalam saku. Dia merasakan tatapan gadis itu di punggungnya. Dia ingin sekali berbalik, namun jika itu dilakukan dia tidak akan bisa menahan dirinya berlari dan menciumnya.

***

Zizi memegang dadanya ketika berhasil menutup pintu. Tubuhnya bersandar pada tembok. Tangannya gemetaran. Kakinya melemah. Detak jantungnya mengeras. Dia membuka mulutnya untuk membantu pernapasan. Ini tidak sehat. Ini berbahaya. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir dan berharap pria itu akan menciumnya tadi. Oh, Tuhan!

Zizi menaiki tempat tidur lalu membungkus dirinya dengan selimut. Dia sudah menutup matanya namun kantuknya tak kunjung datang. Dia sudah mengubah posisi tidurnya berkali-kali, namun tetap saja dia merasa tidak nyaman. Dia jarang tidur siang. Dia bahkan lupa kapan terakhir dia tidur siang. Jadi, sepertinya usahanya akan gagal. Zizi bangkit lalu berjalan ke arah jendela. Langkahnya berhenti di pinggir balkon. Tangannya menyentuh pagar pembatas. Pandangannya mengitari hamparan rumput dan pepohonan di depan rumah. Jauh di sana di ujung jalan yang membelah halaman rumput, dia melihat pintu gerbang tertutup rapat, di kedua sisinya tembok tinggi berdiri kokoh.

Kemarin siang pada jam yang sama Zizi berada di kamar rumah sakit. Tangannya menggenggam tangan adiknya yang tertidur. Air matanya menetes. Dia rindu pada Betrand. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah membaik? Dia mendengar suara isakan tangisnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dia bisa berada disini? Apa isi map itu? Mengapa ayah dan ibunya berbohong tentang pesta semalam? Mengapa ayahnya meninggalkannya? Tubuh Zizi merosot ke bawah. Semakin jauh dia berpikir, semakin lebar luka di dalam dadanya.

Zizi mengusap air matanya. Dia tidak boleh larut dalam kesedihan. Itu tidak membantunya sedikitpun. Jika dia ingin tahu jawaban dari semua pertanyaannya, maka dia harus bertanya pada pria itu. Zizi yakin pria itu memiliki jawabannya. Zizi menyadari hubungan mereka sekarang membaik. Pria itu berbicara banyak dan terlihat membuka diri padanya seperti halnya yang dilakukannya pada pria itu. Dia juga harus mengingat bahwa pria itu memiliki ketertarikan padanya sama seperti yang dia rasakan pada pria itu. Karena itu, Zizi hanya perlu berusaha sedikit lagi untuk mendapat jawabannya. Zizi harus sepenuhnya masuk dalam kehidupan pria itu untuk memperoleh kepercayaannya. Tiba-tiba Zizi merasa dirinya menjadi perempuan jahat, tapi dia tidak punya pilihan lain. Jika apa yang ada dalam pikirannya benar tentang misteri ini, maka tanpa melemparkan tubuhnya pada pria itu, pria itu sudah memilikinya.

***

Zizi mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya. Harus diakui dia tidak secantik kemarin malam. Tangannya tidak selihai ibunya. Meski begitu ini adalah usaha terbaik yang bisa dia lakukan. Dia menemukan gaun berwarna biru muda dengan siluet A-line di barisan gaun pesta. Gaun ini berleher U tanpa lengan. Ada brokat di bagian dada dan sedikit aksen draperi di pinggang sebelah kiri. Dia memakai ankle strap heels berwarna putih yang ditemukannya masih terbungkus kardus di salah satu pintu lemari yang berisi bermacam alas kaki. Zizi menghabiskan waktu lebih dari setengah jam mencari gaun dan heels yang cocok. Pria itu sudah memberitahu ini kamarnya dan semua barang yang ada disini adalah miliknya. Dia ingin memberikan kejutan padanya malam ini. Anggap saja sebagai tanda terima kasih.

Jam menunjukkan pukul 7 malam. Zizi menunggu kedatangan pria itu sambil bersandar di sofa. Tak berapa lama pintu terbuka. Zizi berdiri untuk menyambutnya.

"Wow," pria itu berdecak kagum dari depan pintu kamarnya. Ini pujian kedua darinya.

"Kamu bilang akan menjemputku untuk makan malam," jawab Zizi.

"Bisa beri aku waktu 30 menit, ok?" Pinta pria itu. "Aku harus menemukan ibu peri agar mengubahku menjadi pangeran."

Zizi tertawa. Pria itu segera berbalik dan menutup pintu. Pria itu tidak perlu berganti baju sebenarnya. Penampilannya malam ini sudah sempurna. Dia memakai kemeja kotak berwarna hitam dan abu-abu dipadukan dengan bawahan celana denim. Dia terlihat tampan seperti biasanya.

30 menit kemudian pintu kamarnya diketuk. Ketika Zizi membuka pintu, sebuket bunga mawar putih dan baby breath menyambutnya. Wajah pria itu bersembunyi di baliknya. Kali ini Zizi yang mendapat kejutan. Senyum di wajahnya mengembang. Pria itu menurunkan tangannya lalu menyerahkan buket bunga itu pada Zizi. Peralihan dari bunga mawar ke wajah pria itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Zizi ingin sekali memutar balik momen itu dengan efek slow motion. Jika hadiah pertamanya adalah sebuket bunga, tidak bisakah dia menukarnya dengan wajahnya saja?

Pria itu menggandeng lengan Zizi. Mereka berjalan melewati lorong menuju lift. Pria itu menekan tombol 4. Zizi mengira dia akan dibawa ke luar rumah, nyatanya mereka naik ke rooftop. Lampu temaram dan cahaya lilin menyambutnya. Di depannya sebuah meja dan dua kursi telah menunggu. Di samping kiri, Zizi dapat melihat pantulan cahaya dari air kolam renang.

Seorang pria berkumis berdiri tegak di samping meja. Itu pria yang menyambutnya dan ayahnya kemarin malam. Zizi menebak dia tangan kanan pria tampan di sampingnya dan segera memberinya julukan 'Ajudan'. Ajudan memberi salam pada Zizi dengan mencondongkan sedikit tubuhnya sambil tersenyum. Zizi membalas senyumnya seramah mungkin. Setelah itu, dia menarik kursi di depannya.

"Duduklah," bisik pria di sampingnya setelah melepas lengannya.

Zizi menurut. Aroma parfum pria itu masih melekat di tubuhnya meski dia telah berpindah ke seberang meja.

"Kamu biasa minum?" Tanya pria itu.

Zizi menggeleng. Dia berusaha untuk tidak mengingat bahwa papanya melarangnya menyentuh minuman keras. Dia hanya ingin memikirkan pria di depannya saat ini.

Pria itu menoleh pada Ajudan dan memberinya kode perintah. Ajudan berjalan pergi. Pandangan Zizi yang mengikuti Ajudan terhenti ketika tangan kirinya disentuh dan ditarik perlahan ke depan. Senyum pria itu menyambutnya. Bibir Zizi ikut tersenyum. Mereka berdua saling beradu pandang. Tidak ada kata yang terucap. Sorot mata keduanya dan senyuman yang menghiasi wajah mereka sudah cukup mengungkapkan apa yang ingin mereka katakan.

Ajudan kembali bersama dua pria lainnya yang membawa nampan berisi minuman dan satu lagi berisi makanan. Di atas piring ada steak dan kentang goreng.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk menyiapkan makan malam yang sempurna. Kita akan langsung ke menu utama."

"It's perfect," jawab Zizi.

"Terima kasih."

Pria itu mengangkat tangan yang digenggamnya lalu menciumnya. Zizi tersenyum lagi. Mereka saling berpandangan hingga tiba-tiba pria itu menoleh ke arah Ajudan dan dua orang yang bersamanya. Zizi juga baru menyadari tiga orang itu masih berdiri di samping mereka.

"Ini bukan film. Jadi, berhentilah menonton," kata pria di depannya dengan nada datar.

Zizi terkejut melihat tiga orang itu menahan tawa lalu memberi hormat sebelum pergi meninggalkan mereka. Tadi itu lelucon? Dia baru menyadari pria itu memiliki selera humor. Zizi tertawa.

"Hidup ini akan terasa berat kalau kita melewatinya terlalu serius," gumam pria itu.

Zizi menyahut sambil mengangukkan kepala, "terdengar bijak."

Pria itu tergelak lalu melepaskan tangannya. Mereka makan tanpa bicara. Sesekali saling melirik dan beradu pandang. Mereka selesai makan bersamaan. Seperti tadi siang, Zizi menyadari bahwa pria itu memperlambat tempo makannya, menyesuaikan dengannya. Zizi melihat pria itu menengadah ke langit dan mencari sesuatu di atas sana. Pandangannya kemudian berhenti padanya.

Pria itu berkata, "bahkan bulanpun tidak berani muncul. Dia malu karena ada yang lebih indah darinya malam ini."

Zizi tergelak.

"Bulan tidak seindah itu kalau kamu tahu," sahutnya setelah berhasil mengusir senyum dari bibirnya.

"Iya, dia tidak seindah bidadari di depanku."

Bualannya kembali membuat Zizi tertawa.

"Aku ingin melemparmu dengan garpu," kata Zizi, menyuarakan isi kepalanya.

"Kamu tidak asik!" Gerutunya lalu menarik tangan kanan Zizi dan menciuminya.

"Kita balik sekarang?" Tanyanya sesudah itu.

"Iya, aku kedinginan," jawab Zizi

"Hatiku sedang hangat sampai aku tidak sadar udaranya dingin."

Pria itu membuka jas sambil berjalan ke arah Zizi.

Zizi memberitahunya, "kamu memakai baju rangkap, makanya hangat."

Pria itu membalut tubuh Zizi dengan jasnya lalu memeluknya dari belakang.

"Lebih hangat?" Bisiknya.

"Ya," jawab Zizi sambil memejamkan mata.

Zizi merasakan tubuh pria itu semakin merapat padanya. Pelukannya semakin erat. Dia mendengarnya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian pelukannya merenggang. Zizi membuka mata. Pria itu bergeser ke sampingnya. Tangannya diselipkan di pinggangnya dan membawanya pergi.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión