Descargar la aplicación
60.86% wiro sableng 212 / Chapter 14: dewi siluman bukit tunggul 13

Capítulo 14: dewi siluman bukit tunggul 13

Tinggal sendirian di kamar pada anjungan ke tiga itu Dewi Siluman kembali memikirkan

tentang keempat orang anak buahnya. Mungkin sekali mereka telah menjadi korban si pemuda sakti

yang sampai saat itu tiada diketahuinya siapa adanya. Keesokan harinya tiada kabar tentang Kemani

maka Dewi Siluman segera memanggil anak buahnya yang bernama Laruni. Laruni adalah anak

buah Dewi Siluman yang paling tinggi ilmunya. Tiga perempat bagian ilmu silat Dewi Siluman

sudah dikuasainya dengan sempurna.

Waktu Laruni datang menghadap, Dewi Siluman menunggunya bersama Sarinten, Inani dan

seorang gadis lainnya bernama Wakania.

Dewi Siluman tidak membuang-buang waktu, segera dia berkata. "Laruni, aku percayakan

satu tugas kepadamu yang harus kau laksanakan dengan baik. Kau tentu sudah tahu bahwa empat

kawanmu di bawah pimpinan Kemani telah kuperintahkan untuk mencari seorang pemuda

berkepandaian tinggi. Pemuda itu kini malang-melintang di pulau kita dan merupakan bahaya besar

bagi kita serta setiap rencana kita. Keempat kawanmu itu tidak kembali sampai hari ini. Aku

khawatir bahwa mereka menemui hal-hal yang tak diingini. Kuharap kau bisa menyelidiki apa yang

telah terjadi dengan mereka dan paling penting ialah mencari serta menangkap hidup-hidup pemuda

itu, membawanya kemari."

"Tugasmu siap kulaksanakan Dewi." kata Laruni menyahuti. "Apakah aku akan pergi

seorang diri?!"

"Seorang diri aku percaya kau akan mampu melaksanakan tugasmu," jawab Dewi Siluman.

"Namun kurasa akan lebih baik jika kawan-kawanmu yang tiga orang ini ikut bersamamu." Dewi

Siluman kemudian palingkan kepala pada Inani. Setelah menatap gadis jelita berkulit kuning

langsat itu sejurus maka berkatalah dia.

"Inani, kau pergi bersama Laruni dan bawa kecapimu."

Bukan saja Inani, tapi Sarinten, Laruni dan Wakania menjadi heran mendengar ucapan sang

Dewi. Adakah seorang yang hendak ditugaskan mencari musuh lawan hebat disuruh membawa

kecapi? Sungguh tak dapat dimengerti mengapa sang Dewi menyuruh demikian.

"Kalian mungkin heran," ujar Dewi Siluman sambil pandangi paras keempat anak buahnya.

"Tapi justru suara petikan kecapi di rimba belantara yang sunyi atau di lamping gunung atau di tepi

jurang yang curam, akan menarik perhatian setiap telinga manusia yang kebetulan mendengarnya!

Dengan kerahkan tenaga dalammu maka suara kecapi itu akan menggema jauh. Ini akan

mengundang datangnya pemuda yang tengah kalian cari. Dan kalian akan mudah menangkapnya!"

Diam-diam keempat orang gadis itu memuji kecerdasan Dewi mereka. Setelah mengatur

persiapan untuk perjalanan maka berangkatlah Laruni dan kawan-kawannya. Di kaki sebuah bukit,

mereka mengatur rencana dan berpencaran. Laruni ke utara, Sarinten ke selatan, Wakania ke timur

dan Inani ke barat.

Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berdiri di muka gua batu,

memandang ke arah pedataran liar di bawahnya. Sinar matahari yang baru naik di ufuk timur

membuat pemandangan lebih bagus dan indah. Anak sungai yang membujur di sebelah tenggara

kelihatan berkilau-kilau disaputi sinar matahari itu. Batu-batu cadas hitam bergemerlap. Wiro

menarik nafas dalam, menghirup udara pagi yang segar. Diperhatikannya lengan kanannya. Dia

gembira sekali karena lengan yang tempo hari patah itu kini sudah sembuh. Berarti hari itu adalah

hari dimana dia kembali memulai menyelidiki di mana letaknya sarang Dewi Siluman. Sebenarnya

pendekar ini ingin lebih dahulu mencari Goa Belerang, yaitu goa yang diterangkan secara misterius

dalam tulisan manusia aneh yang telah mengencingi kepalanya dulu itu. Namun karena waktu yang

disebutkan dalam tulisan itu ialah bulan purnama empat belas hari maka dia musti menunggu, kira-

kira empat lima hari di muka. Wiro tak suka menunggu, untuk menghabiskan waktunya dia

memutuskan mulai menyelidiki tentang Dewi Siluman.

Demikianlah, setelah menikmati pemandangan indah serta puas menghirup udara pagi yang

segar maka Pendekar 212 ini segera tinggalkan gua. Suara siulannya menggema dikeheningan pagi

membawakan lagu tak menentu, membuat takut binatang-binatang kecil membuat burung-burung

terkejut dan menghentikan kicau lalu terbang ketakutan.

Di antara suara siulannya yang tak menentu itu mendadak lapat-lapat Wiro Sableng

menangkap suara sesuatu di kejauhan. Pendekar ini hentikan langkah serta siulannya. Suara di

kejauhan itu adalah suara bunyi-bunyian. Tak dapat dipastikan suara bunyi-bunyian apa.

Dipertajamnya telinganya, tapi karena suara bunyi-bunyian itu jauh sekali tetap saja sukar

dikenalinya. Penuh rasa ingin tahu maka Wiro Sableng kemudian langkahkan kakinya ke arah

datangnya suara tersebut. Lewat sepeminum teh suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi agaknya

masih jauh. Maka dari melangkah biasa, Wiro Sableng mulai berlari dengan cepat. Lewat lagi

sepeminum teh, suara bunyi-bunyian itu tambah jelas tapi sumbernya masih jauh. Rasa aneh

menjalari diri Pendekar 212. Jangan-jangan pendengarannya telah menipu diri sendiri. Atau

mungkin suara bunyi-bunyian itu adalah suara setan atau bangsa dedemit penghuni rimba belantara?!

Kalau tidak mengapa setelah demikian lamanya sumber suara tersebut masih belum berhasil

dicapainya?!

Ketika lewat lagi satu kali peminum teh maka barulah Wiro Sableng mengenali suara bunyi-

bunyian itu. Suara petikan kecapi. Dia tak tahu lagu apa yang dibawakan, tapi suaranya demikian

merdu dan menyayat hati. Mungkin itu lagu seorang gadis yang ditinggal kekasih, pikir sang

Pendekar 212! Mendekati sumber bebunyian itu Wiro bertindak hati-hati. Rasa aneh yang

menggerayangi tubuhnya menjadi satu peringatan baginya. Jarak antara dia pertama kali mendengar

suara itu tadi jauh sekali, berkilo-kilo meter. Suara kecapi biasa tak akan mungkin bisa terdengar

sampai demikian jauhnya. Kemudian siapa pulakah .yang memetik kecapi itu?

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Wiro menyeruak semak belukar lebat. Dilewatinya

segerombolan pohon-pohon yang tumbuh dengan rapat. Kemudian di sebelah depan dilihatnya sinar

terang dari matahari yang menyeruak di antara kerapatan pohon-pohon dan semak belukar.

Ternyata di bagian muka sana itu adalah ujung dari sebuah lembah subur yang ditumbuhi rumput

hijau. Pemandangan dari tempat ketinggian itu indah sekali karena di bawah lembah kelihatan

sebuah telaga. Namun Pendekar 212 sama sekali tidak tertarik dan perhatikan keindahan

pemandangan itu. Dia bergerak ke samping kiri dari mana suara kecapi terdengar santer sekali. Dia

masih belum melihat manusia dan kecapi itu. Mungkin terlindung di balik semak-semak rapat di

dekat pohon beringin besar. Maka Wiro dengan langkah cepat tanpa suara menuju ke balik pohon

beringin. Matanya memandang tajam menembus di antara celah-celah semak belukar.

Dan terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Betapa tidak. Apa yang disaksikannya hampir tak bisa dipercayanya. Di balik semak belukar

itu terhampar sebuah batu hitam besar laksana pelaminan, menghadap di lembah subur. Dan di atas

batu besar hitam itu duduklah seorang dara jelita sekali, berbaju biru. Rambutnya diriap lepas,

bergerai di bahu dan di punggungnya sampai ke pinggang. Sinar matahari membuat rambut yang

hitam itu berkilauan. Di pangkuan sang dara terletak sebuah kecapi yang kayunya bagus diukir-ukir.

Jari-jari si gadis menari-nari dengan lincahnya di atas sinar-sinar kecapi itu. Dan dia memainkannya

tanpa matanya memandang pada kecapi itu tapi memperhatikan keindahan lembah di bawahnya.

Betapa ahlinya dia memainkan kecapi itu dan betapa indahnya lagu yang dibawakannya. Untuk

beberapa lamanya Pendekar 212 dibikin terpesona, bukan saja oleh kepandaiannya dan keindahan

permainan kecapi si dara baju biru, tapi juga oleh kejelitaan parasnya. Beberapa lama kemudian

barulah Wiro Sableng menyadari bahwa cara si gadis memainkan kecapi itu bukanlah cara biasa

seperti yang dimainkan oleh orang. Buktinya petikan kecapinya itu telah terdengar oleh Wiro

Sableng di tempat yang sangat jauh. Pastilah si gadis baju biru memetiknya dengan disertai aliran

tenaga dalam yang hebat pada jari-jari tangannya. Dan pastilah bahwa gadis jelita ini bukan gadis

sembarangan.

Ketika si gadis baju biru menggeser badannya sedikit maka saat itulah Wiro dapat melihat

kalung tengkorak kecil yang tergantung di lehernya. Terkesiaplah pendekar ini. Baju biru, kalung

tengkorak kecil, itulah ciri-ciri dandanannya anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Karena

memaklumi bahwa si gadis meskipun masih belia tapi berilmu tinggi dan memiliki tenaga dalam

sempurna maka Wiro Sableng tak mau bertindak sembrono. Dia menunggu sampai beberapa lama,

tapi si gadis agaknya masih belum mau menghentikan petikan kecapinya. Akhirnya pendekar kita

putuskan untuk keluar dari balik pohon beringin tanpa menunggu sampai si baju biru itu menyudahi

permainan kecapinya. Sambil mendehem maka Wiro Sableng munculkan diri.

Meskipun dia memainkan kecapi adalah sengaja untuk mengundang datangnya orang yang

tengah dicari, namun suara deheman tadi membuat Inani gadis yang memainkan kecapi itu jadi

terkejut juga. Belum dia berpaling, didengarnya suara laki-laki berkata.

"Petikan kecapimu sedap sekali saudari. Lagunya pun indah!"

Inani hentikan permainannya dan putar kepala dengan cepat. Di hadapannya kini berdiri

seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah. Pakaiannya putih-putih dan tubuhnya tegap

kekar. Meskipun sudah dewasa namun pandangan matanya seperti mata anak-anak, membayangkan

kepolosan dan kejujuran hati.

Meski terkesiap beradu pandangan dengan Pendekar 212, namun begitu ingat tugasnya,

maka membentaklah Inani.

"Siapa kau?"

Wiro Sableng sunggingkan senyum. "Ah kenapa kau hentikan permainan kecapimu, Saudari?

Rupanya aku mengganggumu saja. Harap maafkan. Aku...."

"Jangan banyak bicara! Lekas terangkan siapa kau!"

"Tadinya tengah menggembalakan kerbau di sebelah timur lembah ini. Kemudian kudengar

suara petikan kecapimu lalu datang ke sini...."

"Jadi kau gembala huh?"

"Betul!" sahut Wiro.

"Jangan dusta! Kau pasti pemuda yang tempo hari larikan diri ketika mau ditangkap!"

Habis membentak begitu maka Inani segera gerakkan tangan kanannya ke balik pakaian.

Sebuah benda terbentuk bola hendak di lemparkannya ke udara. Bola ini adalah tanda yang harus

dilepaskannya ke udara, untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya bahwa dia telah berhasil

menemukan orang yang mereka cari. Di udara bola itu akan pecah dan memancarkan warna merah

hingga mudah dilihat. Tapi sebelum tangannya sempat melemparkan bola itu, Pendekar 212 Wiro

Sableng sudah tangkap pergelangan tangan kanan Inani. Keduanya saling tarik menarik dan saling

pandang menyorot. Betapa pun si gadis kerahkan tenaganya tetap saja dia tak sanggup lepaskan

pegangan Wiro.

"Lepaskan tanganku!" teriak Inani. Rasa aneh menjalari dirinya. Seumur hidup itulah

pertama kali seorang laki-laki menyentuh kulit tubuhnya.

"Aku akan lepaskan," kata Wiro sambil tersenyum

"Tapi benda ini harus kau berikan dulu padaku."

"Kurang ajar. Lepaskan tanganku!" sentak Inani.

Wiro gelengkan kepala. "Berikan dulu benda ini, saudari baru kulepaskan." katanya.

Dengan mengkal Inani lepaskan bola itu yang segera diambil dengan tangan kiri Wiro

Sableng. Kemudian baru dilepaskannya lengan si gadis. Tengah Wiro meneliti benda berbentuk

bola itu tiba-tiba Inani berdiri dan lemparkan kecapinya ke arah si pemuda.

Cepat-cepat Wiro Sableng berkelit. Kecapi lewat menderu di atas kepalanya. Ketika benda

itu hampir menghantam pohon beringin dan pasti akan hancur, Wiro cepat melompat dan

menangkap kecapi itu. Lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia berkata. "Saudari, gerakanmu

melemparkan benda ini hebat sekali. Tapi sungguh sayang kalau kecapi yang bagus ini hancur

berantakan!"

Perlahan-lahan Wiro Sableng letakkan kecapi di kaki pohon beringin. Baru saja itu

dilakukannya maka si gadis sudah menerjang menyerangnya. Kalau tidak lekas si pemuda

menyingkir pastilah sebuah tendangan akan mendarat di perutnya.

"Eh, saudari. Apa-apaan ini! Tak ada hujan tak ada angin, tak ada pasal tak ada lantaran,

kenapa kau menyerang aku?!"

Sebagai jawaban Inani keluarkan jala sutera biru. Benda ini segera diputar menderu di atas

kepalanya. Didahului dengan lengkingan keras, Inani lancarkan pukulan tangan kiri dan kirimkan

satu tendangan. Angin serangan ini demikian hebatnya membuat pakaian dan rambut Pendekar 212

sampai berkibaran, sementara dia mengelakkan dua serangan ini, maka jala biru berkelebat dan

menebar ke arah kepalanya. Wiro cepat tundukkan kepala tapi jala sutera biru terus memapas

hendak melibat pinggangnya. Sekali lagi Wiro mengelak dan sekali lagi pula jala itu, menyusup

laksana kilat ke arah kedua kakinya.

"Hebat!" seru Wiro memuji seraya melompat dua tombak.

Penasaran sekali Inani kembali memburu dengan gempuran serangan yang lebih hebat tapi

walau bagaimanapun Pendekar 212 bukanlah semudah yang diduganya untuk dirubuhkan. Sedang

sampai saat itu Wiro sama sekali mengambil sikap mengelak, tak sekalipun balas menyerang.

"Kenapa mengelak terus, tak berani menyerang?!" bentak Inani penuh penasaran. Dia

berharap-harap salah seorang kawannya muncul di situ agar bisa membekuk si pemuda.

"Hentikan seranganmu, saudari. Kita toh tidak punya permusuhan. Mari bicara dulu baik-

baik."

"Kalau kau mau bicara, bicaralah nanti di hadapan Dewi Siluman!"

"Oh, jadi kau anak buahnya Dewi Siluman? Kau tahu saudari. Dewimu itu kawan baikku!"

Karena merasa dipermainkan dengan ucapan itu maka Inani menyerang lagi dengan lebih

ganas. Dia keluarkan jurus-jurus yang mengandung tipu berbahaya. Tiada terasa, dua puluh jurus

telah berlalu. Jika Wiro mengadakan perlawanan pastilah tidak semudah dan sebanyak itu jurus

yang bisa dilewati Inani.

"Saudari! Jika kau tak mau hentikan seranganmu terpaksa aku turunkan tangan kasar!"

memperingatkan Wiro.

"Kalau kau memang punya kepandaian silahkan balas seranganku! Kukira kau bukan

pemuda banci yang cuma pandai berkelit dan mengelak saja!"

Wiro panas sekali dikatakan pemuda banci.

"Harap kau jangan menyesal, saudari!" katanya seraya pasang kuda-kuda.

Pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras melanda ke arah Wiro. Di saat yang

sama jala sutera menderu dari atas ke bawah dalam satu gerakan yang luar bisa cepatnya.

"Gadis cantik!" seru Wiro. "Lihat baik-baik. Ini jurus Menepuk Gunung Memukul Bukit.

Pegang kuat-kuat jalamu, kalau tidak akan kurampas!" Habis berkata begitu Wiro hantamkan

dengan perlahan telapak tangan kirinya ke muka sedang tangan kanan membuat gerakan cepat ke

samping sesuai dengan sambaran jala. Tubuhnya sedikit menekuk.

"Pemuda sombong!" maki Inani. "Kau akan terima nasib sial di dalam jalaku!" Dan si gadis

lipat gandakan tenaga dalamnya.

Tiba-tiba dia terkesiap karena pukulan tangan kosongnya dipapasi oleh satu sambaran angin

deras yang ke luar dari telapak tangan kiri lawan. Belum lagi habis rasa terkesiap ini sekejap

kemudian dirasakannya jala sutera birunya yang tadi telah menebar kini menciut lagi ujungnya.

Ketika kejapan berikutnya berlalu. Inani merasakan tangannya yang memegang jala laksana

dipelintir dan tahu-tahu jala sutera itu terlepas dari tangannya, kena dirampas oleh Wiro Sableng.

Pendekar 212 tertawa dan main-mainkan jala sutera biru yang berhasil dirampasnya.

"Apakah kau masih belum mau menghentikan pertempuran dan bicara dulu baik-baik?"

tanya Wiro pula.

Sebagai jawaban malah Inani loloskan kalung tengkorak dari lehernya. Kemudian dengan

sebat menyerang ke arah sang pendekar. Di antara suara menderu kerasnya sambaran kalung

tengkorak maka terdengar pula suara mendesis. Dari mata dan hidung tengkorak kecil itu mengebut

asap biru yang tebal gelap dan menebarkan bau aneh menusuk hidung. Pendekar 212 terkejut bukan

main. Dia masih mempermainkan jala sutera sewaktu asap biru yang sangat pekat itu telah

membungkus dirinya.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C14
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión