~Dua Bulan Kemudian~
~POV Arumi~
"jadi kamu sekarang ngerjain proyek web design ya Aru?" tanya Dita ketika kami berjalan ke parkiran berdua.
"iya Dit, gua dapat tawaran dari pacarnya sepupu gua, ada temennya yang cariin anak desain grafis gitu, ya gua tawarin diri dong, eh ternyata gua diterima," jawabku sambil nyengir.
"tapi, apa kamu gak repot ntar Aru? Kan kita mau nyusun lagi... Karin aja udah mulai cari-cari judul aku liat kemaren," kata Dita serius.
"hmmm gak kok... malah gua pikir ini bisa gua jadiin judul malah ntar, kan judul skripsi yang bikin-bikin proyek gitu juga bisa diajuin," ujarku santai.
Dita kemudian mengangguk.
"Dit... sekali lagi selamat ya... lo nikah abis wisuda kan?" tanyaku usil.
"hmmm gimana ya? Liat ntar deh," jawabnya sambil tersenyum.
"Hah! Jangan bilang elo mau diajakin nikah sebelum wisuda Dit?" Dita ini lagi serius apa tidak sih?
"hehehe... ah, udah deh bahas ini, aku aja belum tau Babang kapan ngelamar aku," katanya.
Ingatanku kemudian menerawang ketika kami mulai saling mengenal, aku tak pernah membayangkan seorang Dita yang begitu dekat dengan olahraga akan memiliki kisah cinta dengan Bang Ken, aku kira Dita akan menggandeng tangan seorang olahragawan untuk bersama membuat cerita baru kehidupannya, tapi takdir Dita berkata lain. Meski begitu Bang Ken menurutku adalah orang yang tepat untuk Dita, tak peduli bagaimana pun kekurangannya, ia telah membuat Dita menjadi lebih baik sekarang, lebih bahagia, dan lebih dewasa.
"lo sama Bang Ken emang cocok banget Dit, sejak pertama ketemu malah..." ujarku.
Dita hanya tersenyum mendengar ucapanku itu.
"eh iya... gimana hubungan kamu sama Bang Ryan, Aru?" tanya Dita penasaran.
"hmmm kita gak lanjut Dit... gua gak cocok sama dia." Aku tersenyum tipis.
"bye Dit..." Aku melambaikan tangan dan berlalu menuju parkiran mobil yang berada di sebelah kanan, meninggalkan Dita yang terdiam.
***
~POV Ryan~
Baru saja aku keluar dari gedung cafe Kenzo. Seorang pemuda yang sudah sebulan ini bersamaku datang mendekat, Zul. Seseorang yang kutemui ketika aku dan Bang Dodi terpaksa mampir ke bengkel karena pecah ban.
Ketika itu aku melihat dia datang dengan pakaian kusam sambil membawa sebuah map cokelat, layaknya seorang pencari kerja. Aku yang hanya duduk di mobil tak mengetahui bagaimana hasil lamarannya setelah ia berbicara dengan pemilik bengkel itu. Tapi dari raut wajahnya, aku yakin itu adalah hasil yang mengecewakan.
Pemuda itu berdiri tak jauh dari mobilku, menyadari aku terus memperhatikannya, ia pun menyunggingkan senyuman dan menyapa. Dari situlah tergerak hatiku untuk bertanya lebih jauh padanya.
Zul adalah seorang lulusan paket C, dia terpaksa menyelesaikan sekolahnya melalui jalur paket karena harus mengalah demi adiknya yang memiliki prestasi akademik lebih baik darinya, terlebih Ibunya yang berperan sebagai tulang punggung keluarga tak sanggup membiayai sekolah mereka berdua secara bersamaan, Zul pun akhirnya bekerja serabutan untuk menabung sehingga bisa melanjutkan pendidikannya dua tahun kemudian.
Dari ceritanya yang bisa kupahami adalah rata-rata tempat kerja selalu menolaknya karena paket C itu, mereka memandang kemampuan Zul tak akan memenuhi standar yang mereka inginkan, jelas itu hanya pernyataan secara subjektif yang sangat tak adil.
Aku yang telah menerima tawaran seorang temanku sesama kuliah dulu untuk berkolaborasi dengannya dalam jasa pembuatan program yang telah dirintisnya sejak lulus kuliah, merekomendasikan Zul untuk bekerja bersama kami, dan temanku itu menyetujuinya.
Sekarang Zul adalah bagian dari kantor kami sekaligus orang yang kupercayai untuk menemaniku pada waktu-waktu tertentu.
"udah selesai Mas?" tanya Zul.
"ya, ayo balik ke kantor," kataku sambil mendorong kursi roda.
Ah, ya... aku sudah bisa melakukannya sendiri sekarang, ada rasa senang bisa mencapai level ini. Patokanku sekarang tentu bukan diriku yang dulu lagi, tapi Kenzo! apa yang Kenzo bisa, aku juga harus bisa melakukannya, ya... kecuali mengendarai mobil dengan kaki.
Zul segera membukakan pintu depan.
Hmmm tapi urusan kateter ini masih membuatku bingung, aku telah mendengar pengalaman orang-orang di komunitas tentang mengatur posisi kateter bagi pengguna kursi roda, sebagian dari mereka merekomendasikan untuk membuat gantungan khusus di bagian bawah kursi roda untuk catheter bag-nya.
Tapi permasalahan muncul ketika aku harus berpindah dari kursi roda, seperti sekarang ini.
Aku harus mengambil kateter itu sebelum pindah ke mobil. Ya, mungkin tak masalah jika situasinya seperti sekarang, hanya ada aku dan Zul yang melihat kantong kateter ini. Tapi bagaimana jika ini terjadi di tempat publik? Tak semua orang paham dan terbiasa dengan itu, aku bisa saja merusak mood mereka.
Sebagian lagi membagi pengalaman mereka yang menggunakan fabric leg bag strap, itu terlihat lebih baik karena bisa ditutupi menggunakan celana panjang, tapi sepertinya agak kurang nyaman, hanya saja kedua kakiku tak memiliki respon yang baik soal sensitivitas, jadi mungkin itu tak akan masalah. Besok akan kupertimbangkan opsi itu.
***
Hari ini aku ke kantor Walikota. Urusan proyek website itu tampaknya agak terburu-buru, baru kemarin aku bertemu dengan Mas Rendra di cafe Kenzo, dan sekarang aku harus bertemu dengannya di sini, berbicara langsung dengan bagian informasi dan komunikasi.
Zul yang kuajak ke dalam, sibuk celingak-celinguk melihat beberapa deretan lukisan yang terpajang berjejeran di sepanjang lorong ini.
"mana yang bagus?" tanyaku setelah ia melihat lukisan terakhir.
Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu, namun kemudian dia tersenyum.
"bagus-bagus semua kok Mas, cuma yang itu lebih bagus, lagian juga cocok sama dindingnya," ujarnya sambil menunjuk lukisan ketiga dari ujung.
Aku melihat lukisan hitam putih yang bertemakan mercusuar dan lautan, dinding gedung ini berwarna putih polos dengan ukiran di sudut dinding yang berbatasan dengan langit-langit.
Hmmm mungkin Zul bisa memberikan masukan untuk kantor juga nih.
Kami menunggu di sebuah ruangan, ada sofa di sana, tentunya aku tak perlu mendudukinya.
"gimana tentang kuliah itu Zul? Udah tentuin mau masuk jurusan apa?" tanyaku.
Aku berencana untuk membantu biaya kuliah Zul, aku punya tabungan untuk itu, tak masalah bagiku. Justru melihatnya tak bermasa depan begini aku menjadi pusing sendiri.
Zul mungkin tak memiliki bakat khusus yang mencolok bagiku sampai saat ini, tapi mencicipi jenjang pendidikan lebih tinggi itu hak siapa saja, bagiku Zul berhak untuk kuliah juga, sama seperti yang lain.
"Zul gak tau juga mau masuk apa Mas, tapi udah sebulan ini liat-liat Mas kerja, jadi ikut tertarik juga pengen belajar koding, hehehe tapi kayaknya itu susah, mungkin otak Zul gak nyampe juga ke sana," jawabnya sambil terkekeh.
"kalo kamu serius, gak ada kok yang gak mungkin Zul, gak pa pa... coba aja dulu," kataku.
"oh.... maaf membuat menunggu lama Ryan," sapa seseorang yang baru saja membuka pintu, itu Mas Rendra.
"belum lama kok Mas," kataku.
"nah ini Bu Melin yang ngurusin bagian informasi dan komunikasi." Mas Rendra memperkenalkan seorang wanita yang tampak seperti berusia empat puluhan.
Kami pun saling berjabat tangan.
Beliau memulai pembicaraan tentang website lama yang sering bermasalah, bahkan pernah terjadi peretasan sehingga situs menjadi downtime, karena itu mereka mencari orang-orang yang bisa dipercaya dan dihandalkan untuk mendesain website yang baru ini.
Tak lama kemudian, tiba-tiba pintu yang tertutup itu diketuk beberapa kali, Mas Rendra yang menyadarinya segera bangkit.
"nah Ryan, ini dia partner kamu nanti," ujar Mas Rendra yang baru saja melangkah ke dalam.
Aku mendongak.
Bukankah dia... jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Seorang perempuan yang pernah kutemui dua bulan yang lalu sedang berjalan beriringan dengan Mas Rendra, dia melihat padaku dengan sedikit membelalak, mungkin aku pun melihatnya seperti itu.
Partner? Apa maksudnya ini?
***