Kembali tatapan sang Kyai menyapu seluruh muridnya "Ini memang sulit, bukannya aku tidak menyukai pemerintahan Mega Mendung yang merupakan tanah air kita, bukannya aku bermaksud menghianati negeri ini… Tapi sebagai seorang muslim yang berkewajiban menjaga persatuan umat, maka dengan terpaksa aku akan memihak Banten atau siapapun yang membela kaum muslimin!"
Jaka Lelana yang cerdas dan pemahaman agamanya sudah cukup dalam pun bertanya pada gurunya "Guru mengapa perang harus terjadi di Bumi Pasundan ini, padahal Islam adalah agama yang membawa kedamaian bagi semua umatnya maupun umat lain? Kalau ini terjadi maka sejarah akan mencatat kalau Islam adalah Agama yang suka perang."
Kyai Pamenang tersenyum mendapati pertanyaan dari muridnya yang paling cerdas ini "Jaka yang harus kamu ingat, kalian semua ingat, dan para penerus kita pahami adalah latar belakang perang ini bukanlah agama, melainkan politik perebutan kekuasaan sebagai penerus kejayaan Padjadjaran di tanah pasundan ini yang sah! Baik Prabu Kertapati, Panembahan Yusuf, Prabu Ragamulya Suryakencana dari Padjadjaran, bahkan orang-orang Cirebon dan Sumedanglarang yang saat ini sedang berkembang adalah keturunan dari Sang Manahrasa yang bergelar Sri Baduga Maharaja sang penguasa Padjadjaran. Mereka semua ingin menguasai seluruh bumi pasundan ini di bawah pemerintahannya.
Selain itu, keinginan Demak Bintoro bersama Cirebon dan Banten untuk mengusir orang-orang Portugis dari pelabuhan Sunda Kelapa dan pengaruhnya di Bumi Pasundan ini yang dilindungi oleh Kerajaan Padjadjaran, jadi bukan demi Islam atau agama yang lainnya… Aku menyarankan kalian membela pihak-pihak yang mengatas namakan Islam bukan karena untuk ikut kedalam politik kekuasaan, melainkan kewajiban kalian sebagai orang muslim".
Jaka beserta seluruh murid-murid menangguk-ngangguk mengiyakan pendapat sang Kyai, mereka semua sependapat dengan Sang Kyai, hanya Dharmadipa yang nampaknya kurang setuju, ia merasa sangat kecewa sebab walaupun kini ia adalah seorang muslim, namun dendam kesumatnya pada kerajaan-kerajaan Islam yang telah menghancurkan negerinya dan membunuh kedua orang tuanya masih begitu melangit meskipun tadi siang Gurunya telah memberi petuah padanya, ia hanya belum bisa meghapus dendam itu dari dasar sanubarinya, apalagi kalau ia teringat pada Mega Sari, entah mengapa tiba-tiba ia mendapat firasat buruk, ia khawatir keadaan Mega Sari terancam oleh rencana Gurunya.
Setelah pertemuan itu bubar, Dharmadipa yang keadaanya sudah membaik tertidur di balairiung itu, tiba-tiba ia seolah mendengar suara Mega Sari memanggil-manggil namanya. Dharmadipa pun terbangun, ia menutup telinganya, berguling kesana kemari, namun suara Mega Sari malah semakin kecang terngiang di telinganya "Mega Sari jangan ganggu aku lagi… Aku ingin tenang!" ratapnya.
"Dharmadipa… Kakang Dharmadipa… Apa kau membenciku?" Tanya suara tak berwujud itu.
"Tidak! Hanya jangan ganggu aku!" pinta Dharmadipa, akhirnya suara itupun lenyap dan Dharmadipa bisa kembali tidur.
***
Di sebuah padang rumput yang luas dan dipenuhi bunga-bunga, Mega Sari mengenakan pakaian kerajaan berwarna biru cerah, dia berjalan menghampiri Dharmadipa yang berdiri di bawah pohon dengan mengenakan pakaian bak seorang pangeran berwarna kuning khas Parakan Muncang.
"Kakang Dharmadipa" sapa Mega Sari sambil tersenyum memainkan rambutnya yang indah, "Mega Sari?" kejut Dharmadipa ketika melihat siapa yang mendatanginya itu, senyum pun langsung mengembang di wajahnya yang congkak.
"Aku mau menagih janji Kakang Dharmadipa, bukankah kau mempunyai janji padaku? Kenapa kau menjauhi aku?" Tanya Mega Sari dengan raut wajah penuh kekecewaan.
Dharmadipa nampak kebingungan untuk menjawabnya, "Apa Kakang tidak mencintaiku lagi? Kau tidak mau lagi berkorban untukku? Ingatkah ketika kakang dulu sering menemuiku diam-diam saat aku masih di padepokan?" cecar Mega Sari.
Dharmadipa menghela nafasnya "Aku sangat merindukanmu Mega Sari, tetapi mengapa engkau selalu datang untuk kemudian meninggalkan aku dalam sepi?"
Mega Sari tertawa, suara tawanya yang berderai indah bagaikan buluh perindu, bagaikan untaian mutiara yang berjatuhan ke bumi "Sebab aku telah mengetahui bahwa engkaulah jodohku Kakang Dharmadipa, kita bahkan sudah menjadi suami-istri sebelum kita dilahirkan ke bumi ini… Sekarang peluklah aku Kakang" pinta Mega Sari dengan tersenyum manis namun sangat menggoda.
Sesaat Dharmadipa memelototi sekujur tubuh Mega Sari, apalagi ketika dilihatnya bagian belahan dadanya yang terlihat sebab kemben gadis cantik itu sedikit melorot! Bagaikan terhipnotis, pemuda pemberang itu memeluk Mega Sari dengan penuh nafsu birahi, tiba-tiba tempat itu berubah mendung sangat gelap, petir menyambar menggelegar berkali-kali, dan entah mengapa Dharmadipa melihat tempat sekeliling mereka berubah, mereka menjadi berada didalam sebuah goa dengan sebatang anak sungai mengalir didalamnya, tapi goa itu nampak sangat terang, tanpa ada api ataupun sumber penerangan lainnya, cahaya merah memancar dari seluruh bebatuan didalam gua itu membuat anak sungai yang mengalir didalamnya bagaikan berwarna merah, tombak, panah, pedang, perisai, serta peralatan perang lainnya nampak tergelatak dimana-mana, pakaian mereka pun berganti menjadi pakaian sepasang pengantin khas Sunda berwarna merah-merah, sayup-sayup suara gamelan kecapi suling mengalun merdu namun terdengar sangat menakutkan dengan memainkan irama yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Mega Sari, dimana ini? aku merasa sangat asing disini!" Tanya Dharmadipa dengan keheranan dan ketakutan.
"Kita berada disebuah tempat yang tidak akan pernah berubah Kakang Dharmadipa, tempat inilah yang dinamakan alam halus!" jawab Mega Sari dengan santainya.
Dharmadipa terkejut mendengarnya "Alam halus? Tidak! Aku tidak mau berada disini! Aku takut Mega Sari!"
Mega Sari tertawa memperlihatkan deretan giginya yang rapih, putih dan indah "Kenapa engkau takut Kakang? Kita dijodohkan dari alam mimpi sampai ke alam ini! Saatnya sudah sangat dekat dimana kita akan bertemu di alam nyata!"
Mega Sari pun berpaling dan berjalan meninggalkan Dharmadipa menuju kebagian goa yang lebih dalam dan gelap. Dharmadipa pun segera berlari mengejarnya sambil berteriak memanggil-manggil nama Mega Sari, tapi sungguh aneh, Mega Sari yang hanya berjalan lenggak-lenggok itu tak bisa dikejar oleh Dharmadipa.
Dharmadipa pun terbangun dari tidurnya, kembali ia menangis sesegukan "Mega Sari… Oh Gusti apa yang harus hamba lakukan? Tak cukupkah engkau menyiksaku?" ratapnya yang seolah menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada dirinya, dia lalu bangun dengan mengumpulkan seluruh tenaganya, Dharmadipa mengambil secarik kertas dan mulai menulis sesuatu, setelah selesai menulis ia pergi keluar dari ruangan itu, mengambil seekor kuda lalu dan meninggalkan padepokan sekaligus rumahnya itu.
Di sebuah kamar penginapan yang tercium bau kemenyan dan kembang tujuh rupa, Mega Sari bangun dari tapanya, tubuhnya bermandikan peluh, ia lalu mengambil kain yang disodorkan oleh Emak Inah padanya dan menyeka keringat di keingnya "Aku berhasil memasuki alam bawah sadar Kakang Dharmadipa, namun aku tidak berhasil masuk ke alam bawah sadar Kang Jaka" ucapnya dengan nafas yang masih terengah-engah seolah baru berlari.
"Kenapa Gusti tidak bisa masuk kealam sadar pemuda yang bernama Jaka itu sementara Gusti sering bermimpi akan pemuda itu?" Tanya Emak Inah.
Mega Sari menggelengkan kepalanya "Entahlah Emak… Seperti ada suatu tabir yang menghalangi aku, tabir itu melindungi alam bawah sadarnya, tabir itu terasa sangat panas bagaikan sebuah dinding yang terbuat dari bara api, aku tak sanggup menembusnya!"
Emak Inah mengambil sepotong kain lagi lalu membantu menyeka keringat Mega Sari "Mungkin karena pemuda itu memang bukan pemuda sembarangan Gusti, ketika Emak melihatnya di padepokan beberapa bulan silam, Emak memang melihat ada yang aneh didalam dirinya, terutama dari sorot matanya yang nampak selalu teduh tapi bagaikan menyimpan seribu misteri tersebut… Jadi sebaiknya kita cukupkan pada berharap saja kalau Jaka mau datang ke Rajamandala untuk mengabdi pada Mega Mendung, kita tidak usah mempermainkan alam bawah sadarnya seperti Dharmadipa".
Mega Sari mengangguk "Iya, mungkin Emak memang benar", Mega Sari lalu mendesah sambil menatap langit-langit kamarnya "Kang Jaka…"