Berita itu menyebar dengan cepat.
Buktinya, sepanjang ia melewati koridor sekolah, pada esok harinya, banyak pasang mata yang menatapnya takut dan berbisik setelah punggungnya berjalan. Emilia merasakannya namun hanya diam.
Suasana hatinya sedang kacau, hanya menunggu pelampiasannya lagi.
Bahkan saat masuk kedalam kelas pun, teman sekelasnya semua memandangnya seakan ia adalah makhluk dari planet lain. Emilia yang jengah menatap mereka tajam. "Mau ngomongin gue? Gih silahkan! Ngomong pake speaker sekalian biar seluruh sekolah tau, apa aja kejelekan gue di mata kalian!"
"Emang kelakuan lo udah jelek, lo itu cuma bisanya bikin malu wali kelas kita!"
Mereka semua mengangguk dan kembali menatap Emilia. Satu melawan tiga puluh lima orang, baik.
"Wali kelas doang kan yang malu, bukan kalian? Kalo kalian malu karena gue ada di kelas ini ya bodo amat, itu namanya kalian GILA URUSAN! Sok-sok malu padahal yang bikin kalian malu itu kalian sendiri, pake sebar gosip lain tentang gue!" Emilia menatap mereka semua sinis.
"Mau ngomong mikir dulu, anak sekolah kan lo semua? Puter tuh otak sampah lo!" lanjutnya.
Salah seorang teman satu kelasnya kembali menyahut. "Kalo kita ngomong gak pake mikir, apa kabar sama lo yang bertindak tanpa otak?"
"Gue bertingkah sendiri, ambil risiko sendiri. Gak kayak kalian, cuma bisa bertindak tapi ngumpet saat risiko datengin kalian. Nyali gue gak secupu itu, dude!"
Mereka diam.
Emilia memandang mereka semua sinis. Tak lama bel masuk berbunyi dan Emilia menghela napasnya.
Guru yang mengajar jam pelajaran pertama datang dan langsung menatap Emilia yang kini memutar bola mata seolah sudah menduga hal itu.
"Emilia Alfaro, keruang kepala sekolah. Sekarang!" perintahnya.
Mendengar itu Emilia bangkit dari duduknya dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa.
Sepanjang koridor ia hanya berjalan dengan tenang tetapi tatapannya kali ini berbeda.
Gadis pirang itu membuka pintu ruang kepala sekolah dan terlihat kepala sekolahnya itu sedang duduk di kursinya dan dua orang yang di perkirakannya sepasang suami istri menatap kaku di hadapannya.
"Permisi, saya Emilia Alfaro." tak ada rasa takut sedikitpun dalam dirinya, Emilia sudah biasa menghadapi yang seperti ini. Dan ia juga berpikir jika mereka semua yang memulai, jadi salah siapa?
"Silahkan duduk, Emilia!" kepala sekolahnya itu menatapnya agak sinis dan Emilia balas menatapnya. Gadis itu duduk di kursi sebelah kanan meja kepala sekolah.
"Ada apa?"
Brak!
"ADA APA, ADA APA! KAMU GAK USAH PURA-PURA BODOH! SUDAH JELAS TUJUAN KAMI KE SINI UNTUK MEMINTA PERTANGGUNG JAWABAN!"
Emilia menatapnya dengan alis terangkat, songong memang, tapi ia harus melakukannya untuk keadilan dirinya. "Kok ngegas, Bu?"
Wanita tadi tampak duduk dengan menatap Emilia tajam, sedangkan pria di sebelahnya berusaha menenangkan. "Tidak sopan sekali kamu! Pantas saja reputasi kamu buruk, Emilia Alfaro!!"
"Yang buruk saya, kenapa Anda sibuk? Gak ada urusannya juga kan?"
Wanita itu menggeram. Kepala sekolahnya tampak menghela napas. "Emilia, dia Ibu dan Ayah dari Lena Alviona Prandhika."
Emilia bersidekap. "Saya tau, Pak!"
"Mereka meminta agar kamu bertanggung jawab atas kondisi anak mereka yang sekarang sedang koma di rumah sakit."
"Terus?" ia kembali mengangkat alis.
"Lancang kamu, ya!" Ibu dari Lena tadi tampak masih emosi dengan Emilia. Meneliti penampilan gadis itu dari atas sampai bawah dan mencibir. Emilia tak peduli.
"Yang salah anak Anda, Anda tidak tahu kronologis ceritanya dan seenaknya saja menuduh saya!"
"TAPI ANAK SAYA KOMA GARA-GARA KAMU! GADIS SIALAN!!"
Brak!
Pintu ruang kepala sekolah dibuka secara kasar dan muncul kedua orangtua Emilia dan Rachel langsung memandang Ibunya Lena dengan bengis. "Heh! Jaga mulut sampah lo itu, ya! Siapa elo ngatain anak gue sialan? Gue yang ngasih makan dia, ngurus dia dari kecil aja gak pernah ngatain dia anak sialan. Lah elo ngatain anak gue sialan dengan mulut lo yang sampah itu, lo kira gue terima?"
Wanita itu menggeram. "Anda pikir saya akan terima anak saya koma karena anak Anda, Nyonya Alfaro? Sungguh cara bicara Anda tidak sopan sekali. Pantas saja anaknya seperti ini!"
"Lo mau koma nyusul anak lo?" tatapan Rachel kian menajam. "Polisi? Hah! Gak takut!"
"Rachel!" tegur Marchel pelan. Ia memakai setelan jas kerjanya dengan rapih karena tadi ia sedang bekerja dan langsung di telepon untuk datang ke sekolah Emilia.
"Sudah, tolong bicarakan ini baik-baik," lerai kepala sekolah.
"Baik-baik palalo botak!" sahut Rachel.
Ibunya Lena pun sama geramnya. "Pa, udah lapor polisi aja. Aku gak tahan sama kelakuan gak sopan mereka!"
Rachel menggeram dengan tatapan menajam, ia beralih menatap Emilia yang kini menatap dingin mereka semua. Ia menghampiri anaknya itu dan langsung memeluknya, ia tau apa yang dirasakan anaknya itu. Dan yang di butuhkan Emilia saat ini adalah penguat.
Rachel merasakan jika Emilia bergetar dan balas memeluknya lebih erat. Ia mengecup puncak kepala Emilia dan mengelusnya.
Tak lama kepala sekolah mengajak mereka untuk duduk di sofá yang tersedia di ruangan. Emilia tetap memeluk Rachel dan duduk di antara kedua orangtuanya.
"Pokoknya kami meminta keadilan!" Ibunya Lena tampak menatap sinis. Rachel membalasnya tak kalah sinis.
"Memangnya lo tau kronologis ceritanya? Gak usah sok ngebela kalo ujung-ujungnya malu sendiri!"
"Emilia ceritakan!" ujar Marchel. Emilia melepaskan pelukannya dari Rachel. Dan menatap semuanya dengan matanya yang memerah, tak ada raut ketakutan di sana.
"Mereka yang mulai!" ucapnya dingin. "Mereka yang cari gara-gara dengan saya. Semua orang bahkan tau kalo saya biang onar di sini. Tapi mereka sirik sama saya, hari itu saat saya sedang membawa makanan dan akan duduk di kursi kosong lain, mereka dengan sengaja menjatuhkan saya."
Ia menatap Ibunya Lena. "Jika Anda di posisi saya, apa Anda akan diam saja di perlakukan seperti itu?"
Suasana lengang, tak ada yang menjawab.
"Saya melawan, masa bodoh mereka Kakak kelas saya. Kelakuan mereka sudah seenaknya terhadap saya dan saya tidak terima. Lalu, terjadi perkelahian. Bahkan, saya kena skorsing selama seminggu karena kejadian itu."
Gadis pirang itu meraup napas. "Kalau kalian pernah muda, kalian akan mengerti keadaan emosional anak muda. Saya masih remaja yang akan bertindak sesuai keadaan hati dan emosional saya. Dan akhirnya, saya berniat balas dendam."
Ia menatap satu persatu mulai dari kepala sekolah yang menyimak dengan baik, kedua orangtua Lena, Papapnya yang menatap datar dan kemudian sang Mama yang kini tersenyum tipis sambil meremas tangan kanannya —bermaksud menguatkan.
"Saya bukan datang dan langsung memukul kepala anak Anda begitu saja." Emilia menyingkap rambutnya ke telinga dan terlihat tulang pipinya membiru, Marchel sedikit tersentak.
"Saya juga kena pukul, jadi, kita sama-sama main pukul dan anak Anda kalah dengan saya. Bagaimana? Siapa yang salah?"
"Tetap saja kamu yang salah!" Wanita itu menunjuk Emilia. Rachel menepis tangan itu kasar. "Gak usah nunjuk anak gue!"
Sang kepala sekolah yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara,
"Jadi, ingin secara kekeluargaan atau secara hukum?"
"Saya mau Emilia di penjara!"
***