Angga Abimana
Menunggu memang sesuatu yang membosankan, apalagi yang aku tunggu saat ini adalah kabar yang berhubungan dengan masa depan hubunganku dengan Mira. Sesuai dengan apa yang Mira rencanakan sebelumnya bahwa hari ini ia akan pergi menemui ke dua orang tuanya untuk membicarakan tentang hubunganku dengannya yang bisa dibilang serius untuk melangkah lebih jauh, dan apabila orang tuanya terlihat merestui maka minggu depan aku akan menemui mereka untuk menunjukkan keseriusanku mempersunting Mira.
Waktu perlahan telah berlalu, namun hingga petang tiba, Mira belum juga kembali ke rumahnya. Selama beberapa kali aku mengintip dibalik jendela untuk melihat apakah mobilnya sudah ada di sana atau tidak, tapi ternyata hingga suasana benar-benar telah gelap gulita, Mira tak juga tiba.
Rasa khawatirku mulai timbul, memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, mulai dari terjadi sesuatu yang tak diinginkan dalam perjalanan hingga yang berkaitan dengan restu dari orang tuanya pada hubungan kami. Aku tak berani menghubunginya untuk sekadar bertanya kabar, khawatir ia sedang membicarakan hal penting dengan orang tuanya, Namun akhirnya penantianku berakhir seiring mobil yang perlahan berhenti tepat di depan rumahnya. Aku segera membuka dan berdiri di ambang pintu. Mira sepertinya tak menyadari keberadaanku, ia tak langsung keluar dari mobil, hingga ku putuskan untuk menghampiri. Sesaat aku berdiri di samping pintu mobil di mana ia mengemudi, namun ia masih juga tak menyadari keberadaanku.
Cukup dengan sekali ketukan membuatnya tersadar dengan keberadaanku.
Mira keluar dari mobilnya lalu tanpa berbicara apapun ia memelukku. Aku membiarkannya dalam pelukan tak ingin sedikitpun mengusik ketenangan yang mungkin saja ia temukan, aku berusaha memahami bahwa yang ia rencanakan sepertinnya tak mendapat hasil sesuai harapan. Cukup lama aku membiarkannya seperti itu sampai pada akhirnya aku mengantarnya masuk dan bermaksud memastikan agar ia bisa segera beristirahat, tapi ternyata, salah satu tanganku digenggamnya, menahan niatku untuk kembali ke rumah.
"Mas, tunggu, Ada yang pengen aku omongin."
Ketika aku akan beranjak, Mira mencegahku. Dari nada bicara serta ekspresinya menatapku, bisa dipastikan kalau yang akan ia bicarakan adalah hal yang serius. Aku kembali duduk untuk mendengarkan apa yang akan ia katakan.
"Sebelum aku cerita tentang apa yang terjadi tadi, apa kamu yakin bakal siap perjuangin aku?"
Entah kenapa Mira menanyakan hal itu, tapi aku rasa sesuatu benar-benar telah terjadi dan itu tak seperti yang ia harapkan.
"Ya, aku siap."
Aku menjawabnya mantap, tapi jawabanku hanya mampu membuatnya sedikit tersenyum.
"Sebenernya apa yang terjadi?"
Aku menatap Mira yang kali ini tertunduk tanpa ku sadari kini ia telah menangis. Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya, merangkul lalu membenamkan wajahnya dalam dada, tangisnya semakin pecah yang membuatku berpikir bahwa sesuatu yang akan ku hadapi benar-benar sulit.
"Papa gak percaya apa yang jadi pilihanku."
Di sela tangisnya, Mira berusaha menjelaskan apa yang terjadi di sana. Perlahan aku mengangkat kepalanya dan mengarahkan wajahnya agar ia menatapku, ku usap lembut menghapus air mata juga kesedihannya.
"Gak perlu khawatir, aku akan perjuangin kam, karena kamu mau aku perjuangin."
Aku berusaha meyakinkannya walaupun aku sendiri sebenarnya ragu, terutama ketika masalah yang akan dihadapi nanti harus berkaitan dengan Syafina.
"Apa kamu cerita tentang latar belakang dan statusku sama mereka?"
Mira mengangguk dan jawaban itu bisa ku mengerti, memang seharusnya dalam menjalin hubungan tak boleh ada yang ditutupi, semua harus jelas, karena ketika sesuatu dimulai dengan kebohongan maka akan muncul kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi. Aku bisa memahami kalau mereka akan ragu dengan status dari orang yang akan menjadi pendamping putrinya kelak dan itu hal yang wajar, untuk itu aku akan mengajak serta Syafina untuk bertemu dengan mereka.
"Ya udah, sekarang udah malem, kamu harus istirahat, gak usah terlalu dipikirin, aku pasti lakuin yang terbaik demi kamu, juga Syafina."
Mira kembali mengangguk lalu mengusap air mata yang masih tersisa kemudian berusaha tersenyum melepas kepulanganku.
Mulai hari ini sampai satu minggu ke depan, sepertinya aku akan berhenti menulis sejenak agar bisa lebih fokus untuk memikirkan solusi-solusi untuk masalahku saat ini.
Sampai di rumah, aku tak bisa memejamkan mata, semua ucapan serta keputusanku tadi ku telan bulat-bulat. Untungnya aku tak berjanji apapun pada siapapun, kalau seandainya saja iya, mungkin aku akan di cap sebagai pembohong.
Aku mulai membuka laptop lalu menuliskan tentang kisah hidupku sendiri yang kini sedang terjadi, namun tentunya ku buat tulisan itu dengan menyamarkan tokoh, latar belakang, tempat serta waktu kejadian agar semua terlihat hanya sebagai cerita karangan belaka. Ku rangkai semua alur cerita, mulai dari awal pertemuanku dengannya sampai pada akhirnya kami saling jatuh cinta.
Beberapa jam telah berlalu, huruf demi huruf yang ku ketik hingga tersusun menjadi sebuah kata lalu kemudian digabungkan hingga menjadi kalimat dalam sebuah paragraf utuh kisah hidup seorang duda.
Almiera Shofia Prameswary
Masih jelas teringat apa yang ia katakan, menjadi sebuah motivasi dalam diri agar apa yang diharapkan bisa terwujud, aku yakin ia bisa membuat mereka percaya bahwa masa depan putrinya akan bahagia bila bersamanya.
Aku mulai bisa memejamkan mata, namun sebelum itu entah kenapa aku ingin sekali mengirimkan pesan padanya hanya untuk mengungkapkan rasa.
"Terimakasih mau perjuangin aku, aku sayang kamu, semoga kita bisa bersama."
Tanpa ragu ku kirim pesan itu padanya, dan tak butuh waktu lama sampai ia membaca lalu membalas pesanku, rupanya sama denganku, ia pub belum memejamkan mata.
"Rasa itu yang membuatku akhirnya berjuang kembali, jalan yang dulu pernah tak tentu arah kini aku mulai tahu jalan mana yang harus ku pilih untuk menemukan harapan, namun ketika jalan itu semakin terjal aku akan tetap menapaki sampai kaki tak sanggup melanjutkan langkahnya, mata tak tahu apa yang harus dilihat untuk tujuannya, serta hati kembali kosong tanpa harapan untuk hidupnya. Terimakasih telah menerima semua kekurangan serta mau untuk ku perjuangkan."
Tak ku sangka, balasan pesan yang akan ku terima tentang apa yang ia rasakan begitu dalam. Aku tersenyum dengan serta memeluk ponsel masih dalam posisi menyala. Samar terdengar sesuatu dalam dada hingga ku sadari aku melakukan panggilan suara tanpa sengaja.
"Halo."
Buru-buru ku jawab suara pada ponselku yang sejak beberapa detik lalu telah terhubung dengannya.
"Eh, iya."
"Kenapa, Ra?"
Belum ku jawab apa yang ia tanyakan, mode panggilan langsung dirubah olehnya, yang awalnya tak sengaja tertekan panggilan suara kini menjadi panggilan video. Aku sedikit merapikan rambut serta membuat sikapku sebiasa mungkin, aku tak mau kalau ia sampai tahu bahwa kata-kata pada pesan yang ia kirim membuatku melambung.
"Gak kenapa-kenapa ko, aku ngehubungin cuma mau ngucapin selamat malam aja."
Jawaban macam apa itu? Tanpa sadar mulutku berbicara seperti itu padanya layaknya ABG yang sedang jatuh cinta, tapi konyol memang, cinta membuatku bisa menjadi berbeda. Beruntung Angga menanggapinya dengan biasa saja, dia tetap bersikap cool dan tersenyum lalu mengangguk.
"Oh, kirain kamu kenapa-kenapa, kamu jangan sering tidur malem, harus banyak istirahat, biar gak sakit."
Setelah panggian video selesai, hatiku kembali berbunga-bunga, rupanya seperti ini rasanya memiliki pacar seorang penulis, kata-kata yang diungkapkan dalam rasa begitu dalam. Sepertinya malam ini aku akan tetap tidur nyenyak walau besok dan seterusnya masih harus tetap berjuang, namun setidaknya aku tak sendiri karena ia mau melangkah bersama demi harapan yang kita pilih.
Hanya butuh beberapa menit untuk membuat mataku terpejam, kejadian berat yang ku alami hari ini harus berakhir bahagia hanya karena kata-kata darinya.
Aku kembali membuka mata, setelah mentari telah begitu ceria memberi kehangatannya. Aku bangkit lalu merentangkan tangan dengan senyum menyambut hari bahagia. Aku beranjak ke arah jendela untuk sekadar melihat ke arah rumahnya sedikit berharap ia sedang berada di sana duduk dan menikmati pagi hari yang sama, namun ternyata aku tak bisa melihatnya, pandanganku terhalang sebuah mobil yang terparkir tepat di depan rumahnya, mobil yang sering datang dan berada di sana untuk menggoda sang pemilik rumah. Aku segera beranjak dari jendela bermaksud untuk pergi menemuinya dan memastikan bahwa ia tak melakukan apa-apa pada Angga. Masih dengan mengenakan piyama malam tadi serta wangi seadanya, aku berjalan dengan cepat hingga hanya butuh beberapa detik untuk sampai di depan rumahnya. Tanpa sadar serta sabar, ku ketuk pintu rumah dengan emosi yang meninggi, namun tak ada jawaban. Emosiku semakin meninggi setelah ternyata pintu rumahnya tak tetkunci dan bisa ku buka dengan mudah. Setelah terbuka, tampak jelas pemandangan tak menyenangkan di sana, mereka sedang duduk bersama dengan berpegangan tangan layaknya pasangan memadu kasih sedang jatuh cinta, seketika air mataku kembali tumpah. Tak tahan berada di sana sepagi ini dengan disajikan pemandangan yang menyakitkan, aku pergi membawa semua harapanku padanya. Angga mengejarku, ia berusaha memegang tanganku memintaku berhenti untuk meminta waktu menjelaskan semua yang telah terjadi tak seperti apa yang ada dalam pikiranku, tapi aku tak mempercayainya, sikapnya yang begitu jelas memperlihatkan bahwa mereka berdua saling menyukai satu sama lain.
"Tunggu, biar aku jelasin semuanya."
"Gak perlu, aku gak butuh penjelasan kamu, semua udah bisa keliatan ko, jadi mending gak usah ada apa-apa lagi!"
Aku menatapnya dengan benci, tak sedikitpun menunjukkan bahwa aku pernah mencintainya, agar ia mengerti bahwa rasaku yang begitu dalam bisa berbuah benci ketika dikhianati. Aku menarik tangan dalam genggamannya, lalu kemudian aku berbalik, namun karena terlalu keras akibat emosi yang sedang tinggi, ketiak baru beberapa langkah melangkah, kakiku tersandung sesuatu yang membuat keseimbanganku hilang dan akhirnya aku terjatuh.
Kepalaku terasa sakit akibat membentur dinginnya lantai, beruntung guling yang ku peluk ketika tidur menghalangi sebagian tubuhku yang terjatuh ke lantai. Tanpa mempedulikan rasa sakit akibat terjatuh dari atas ranjang karena mimpi, aku segera bangun dan berdiri di balik jendela untuk melihatnya, khawatir yang ada dalam mimpinku menjadi kenyataan. Aku bersyukur semuanya berbeda, mobil itu tak berada di sana, begitu juga dengan Angga yang tak nampak terlihat berada di kursi tempat ia biasanya duduk.
Tok tok tok.
Bunyi pintu, membuyarkan konsentrasiku mengawasi rumah itu. Aku beranjak masih dengan mengenakan pakaian seadaanya.
"Sebentar."
Aku membukakan pintu untuk tamu yang datang sepagi ini, yang entah itu siapa.
"Pagi."
Untuk sejenak aku tertegun, ternyata kenapa Angga tak berada di sana karena ia berada di sini.
"Ko ngelamun? Ini aku habis beli sarapan, kita sarapan bareng yuk?"
"Tapi aku belum mandi."
"Udah gak apa-apa, yuk."
Angga langsung menarik tanganku, berbeda dengan apa yang ada dalam mimpi, ia membawaku dengan begitu lembut membuat apa yang ku rasakan sepagi ini begitu tak karuan.