Disinilah Hazel berpijak, ditempat pemberhentian taxi disekitar gedung Grand Recidence Jakarta. Bibirnya tak bisa berhenti mengucap 'WOW!' selama perjalanan memasuki gedung apartmen. Gedung-gedung itu berdiri tegak menggapai langit malam. Lampu-lampu gedung semakin mempercantik langit kota. Ditambah dengan bentuk arsitektur gedung dan interior lainnnya yang terlihat elegan. Jauh dari kata sederhana atau minimalis seperti ciri khas dari seorang Hazel.
Untuk lobinya sendiri didesain begitu elegan dan cukup banyak orang berlalu-lalang disekitarnya. Semua orang berpakaian rapi dalam berbagai macam barang branded. Awalnya Hazel sedikit merasa minder dengan gaya fasionnya malam ini. Hanya dengan rok selutut, blouse warna peach yang sengaja dimasukan kedalam, dan juga sepasang sepatu highheels hitam. Bahkan Hazel yakin kalau setelan ini merupakan setelan formal andalannya. Hazel tak memiliki banyak pakaian baru dan juga mahal didunia nyata sana.
"Ehh, tadi Zaidan bilang kamar berapa, ya?" gumamnya setelah keluar dari lift dilantai 13.
Tubuhnya berdiri mematung diantara dua pintu dengan nomor 102 dan 103. "Entahlah, aku coba masukan password dikeduanya saja."
Pilihan pertama adalah no.102. Tubuhnya terlihat sedikit membungkuk sambil memasukan kunci password apartmen digit demi digit. "1203004." Ucapnya sambil menekan tombol angka pada pintu apartmen.
Click!
"Yes!" serunya sambil mengepalkan tangan kanannya.
Sekarang dia yakin dengan pilihan pertama, apartmen 102 adalah miliknya. Lihat saja, password yang diberikan Zaidan lewat SMS tadi benar-benar cocok. Dan dengan langkah tenang Hazel memasuki lorong pertama, dimana sudah terdapat rak-rak sepatu tertata begitu rapi. Hazel merasa heran setelah melihat beberapa pasang sepatu yang dikenalinya, semuanya sepatu pria. Dan sepertinya dia pernah melihat seseorang mengenakan beberapa pasang sepatu dan sandal itu sebelumnya, tapi tidak bisa mengingat secara detail siapa gerangan.
"Any body home?!" teriak Hazel sambil melihat-lihat interior ruang tamu dan ruang tamu.
"Woah!" mata Hazel berbinar setelah dimanjakan dengan beberapa koleksi lukisan klasik diatas dinding. Semuanya tertata begitu rapi, seolah semua barang ditempat ini memang sudah tertata sejak dulu. Tidak seperti apartmen yang baru ditempati pada umumnya.
"Oh, aku belum mengabari Zaidan." Bergegas merogoh ponselnya mengingat pesan sang kekasih agar mengabarinya setelah sampai apartmen. Dan lagi-lagi bibirnya tersenyum, kini bukan karena interior diapartmen tersebut, melainkan karena screen lock ponsel foto dirinya bersama sang kekasih. Pria itu memang sulit ditebak, dia bisa menjadi seseorang yang berbeda dilain waktu, dasar tsundere.
Kring… kring… kring…
Hazel menautkan alisnya setelah mendengar bunyi ringtone ponsel. Sepasang kakinya berjalan tanpa sadar menuju salah satu pintu kamar, sepertinya suara ponsel itu berasal dari kamar utama tersebut. Dan saat Hazel memutar kenop, pintu itu terbuka dengan sendirinya, tidak dikunci. Jelas tak ada yang menguncinya, karena Hazel yakin bahwa ini memang benar apartmen miliknya.
"Apa ini?" gumam Hazel. Masih menempelkan ponsel ditelinga kirinya.
Dia sedang melakukan panggilan telefon, namun nomor tujuan belum juga meresponsnya sampai sekarang. Dan diwaktu yang bersamaan Hazel menemukan ponsel tergeletak tak bertuah diatas kasur ukuran big size. Disana tertera panggilan masuk dengan nama 'Si Cantik' dengan foto wajah Hazel. Dia tahu sekarang, ponsel ini milik kekasihnya, Zaidan.
"Zaidan..." panggil Hazel, "kamu disini?" teriaknya lagi.
Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya, memperhatikan lebih jelas foto berukuran besar yang menempel didinding kamar. Sepertinya itu foto keluarga, lebih tepatnya foto keluarga bule. Dia melihat dua orang dewasa tampan dan cantik, masing-masing memangku satu anak kecil dengan wajah mirip. Satu anak perempuan tersenyum tipis sambil memeluk lengan ayahnya, sedangkan anak laki-laki dipangkuan sang ibu berpose dengan senyum lebar seperti tengah tertawa.
"Aku pernah melihat foto ini sebelumnya, tapi dimana?" Hazel bergumam merasa familiar dengan wajah-wajah didalam bingkai besar didepannya. Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya, memperhatikan lebih jelas foto berukuran besar yang menempel didinding kamar. "Ah, Zaidan!"
Ya. Foto anak kecil disana adalah kekasihnya. Dia pernah menemukan foto Zaidan kecil didompet pria itu. Dan kedua orang dewasa itu sepertinya memang orang tua kandung Zaidan, mengingat bahwa Sarah dan Frans bukanlah orang tua biologisnya. Dan sosok gadis kecil itu terlihat mirip dengan Zaidan, mungkin dia saudara perempuannya.
"Kenapa ini semua ada diapartmenku?" ujar Hazel setelah menelusuri seisi kamar.
Dia semakin heran setelah medapati beberapa alat kosmetik pria dimeja rias, vas bunga, dan lilin aromaterapi diatas nakas. Bahkan dirinya terkejut setelah mendapati begitu banyak pakaian pria dilemari besar disebuah ruangan mirip walk in closet yang cukup luas. Dia meringis setelah membuka laci kecil berisi banyak boxer pria yang ditata begitu rapi didalamnya. Dan keningnya mengerut setelah membuka pintu lemari geser, dimana terdapat koleksi pakaian branded didalamnya.
Pada bagian kiri terdapat sebaris koleksi jas dan tuxedo, sedangkan bagian kanan terdapat celana bahan yang merupakan setelan jas dan tuxedo brand ternama. Tak hanya itu, semua jenis pakaian dibuat terpisah dengan kategorinya masing seperti: polo shirt, kemeja, kaos, batik, blazer, jacket, sweater, celana panjang jeans, celana pendek, dan setelan olahraga. Semua disimpan secara terpisah, hal inilah yang membuat walk in closet ini terasa penuh dengan tempak pakaian super besar.
Tidak hanya lemari pakaian saja yang berhasil memancing perhatian Hazel. Disana juga terdapat etalase dengan koleksi jam tangan mewah, koleksi beragam dasi, topi, dan aksesoris memukau lainnya. Sedangkan diseberang sana terdapat lemari kusus sepatu, tas, dan etelase khusus parfum. Jika semua barang disini dirupiahkan dengan hitungan matematika, maka semuanya bisa mencapai ratusan juta hingga milliaran rupiah.
"Sama sekali tak ada pakaian perempuan," pikir Hazel.
Merasa semakin larut dalam rasa penasaran, Hazel memutuskan untuk menelusuri seluruh ruangan diapartmen itu. Disana, didalam kamar utama terdapat kamar mandi dengan segala fasilitas cukup lengkap. Didalamnya terdapat wastafel dengan satu sikat gigi, pasta gigi, obat kumur, dan peralatan alat cukur pria. Di sebelah kanan terdapat bathup dengan ukuran besar, shower didalam sebuah kubus kaca, dan beberapa lilin aromaterapi didekat bathup. Bahkan ruangan kamar mandi saja jauh lebih luas dibanding kamar Hazel didunia nyata.
Perempuan itu berjalan cepat untuk keluar dari kamar. Dia terus menjelajahi ruangan demi ruangan disana. Disebelah kiri pojok terdapat ruangan yang sepertinya dikhususkan untuk ruang kerja. Terdapat begitu banyak tumpukan berkas diatas meja, rak buku disetiap sisi ruangan, satu monitor, laptop, printer dan sepasang sound speaker. Dan diujung kiri terdapat kursi pijat yang diketahuinya bernilai ratusan US dollar. Dan yang lebih menarik perhatian Hazel adalah dengan adanya tiga etalase besar berisi miniatur, karikatur, perabot unik, dan barang-barang lain yang bisa dibilang dengan harga selangit.
Jurnalis atau presenter mana yang memiliki kekayaan melimpah seperti ini?
Di pojok kiri terdapat ruangan yang terlihat agak aneh baginya, karena tak mungkin dia memiliki ruangan ini selama hidupnya. Disana terdapat begitu banyak alat gym berbagai jenis. Dari alat olahraga yang paling ringan ke yang paling berat seperti angkat besi. Benar-benar bukan tipe Hazel. Hazel memang suka olahraga, tapi sejauh ini ia hanya melakukan beberapa olahraga ringan, seperti lari, senam, atau yoga.
"Ini gila!" dengus Hazel semakin tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang ini.
"Hazel!" panggil seseorang dengan tubuh penuh keringat, bergerak cepat diatas treadmill.
"Zaidan, apa-apaan ini? Kenapa semua barang disini terlihat begitu manly?" tanya Hazel pada sang kekasih yang baru saja menurunkan kecepatan larinya.
Zaidan mengangkat kedua tangannya. "Seharusnya seperti itu, memang apa yang kamu harapkan?"
"Ini bukan tipeku, semuanya begitu asing dan jauh dari—"
"Tipemu?" tanya Zaidan memotong ucapan kekasihnya. Turun dari treadmill, meraih handuk kecil dan mengusapkan dilehernya. Berjalan kearah Hazel dengan napas memburu.
Hazel mengangguk cepat setelah menelan salivanya kuat. Jujur saja, dia sempat terpukau dengan pemandangan langka didepannya ini. "Ya, tak ada satupun barang milikku disini."
Zaidan memiringkan kepalanya. "Barangmu? Apakah secara tidak langsung kamu ingin kita tinggal bersama?"
"Hah?!" Hazel terkejut bukan main. "A-apa kau gila?!"
Zaidan menggendikan kedua bahunya acuh. "Kamu memancingku barusan."
"Ti-tidak, maksudku kenapa semua barang disini terlihat seperti milikmu?"
Zaidan tersenyum dengan smirk khasnya. "Ya memang milikku, memangnya milik siapa yang kamu harapkan?"
Kedua sejoli itu memutuskan untuk keluar ruang olahraga. Hazel masih setia membuntuti Zaidan kemanapun langkah pria itu pergi. Dan langkah mereka terhenti didapur, Zaidan membuka pintu kulkas untuk mengambil dua botol air mineral. Satu ia berikan pada sang kekasih, satu lagi ia teguk begitu saja. "Milikku. Bukankah ayah membelikanku apartmen ini?"
"What?!" teriak Zaidan dengan nada terkejut, dia hampir saja tersedak air minumnya sendiri.
"Y-ya. Katamu disini rumah baruku. Grand Recidence Jakarta lantai 12 no.102 dengan password 1203004. Apakah aku salah?" tanyanya sambil memakan beberapa buah anggur dimeja makan.
"Bukan no.102, tapi 103. Apa kamu lupa?"
"Hah? Lalu kenapa kamu ada disini?."
"Karena ini apartmenku," ungkap Zaidan cepat.
Hazel membulatkan matanya. "A-apa?"
Zaidan mengangguk cepat dengan mulut penuh makanan, dia baru saja memasukan gigitan besar roti sandwich. "Ya, 102 memang milikku. Dan punyamu no.103, diseberang sana."
"Oh ayolah, aku terlalu lelah untuk bercanda," rengek Hazel manja, meraih tangan Zaidan dan mengayun-ayunkannya berirama.
"Aku sedang tidak bercanda, Hazel. Aku serius. Ini apartmen milikku sejak empat tahun yang lalu. Pada awalnya aku memang tidak berniat untuk menempatinya, hanya sekedar menambah properti dan sebagai tempat singgah sesekali saja," aku Zaidan dengan jujur.
"Kamu serius?" tanya Hazel memastikan.
"Ya. Dan apartmen 103 sebenarnya milikku juga, namun ayahmu membelinya dariku." Jelas Zaidan sambil menyisir rambutnya kebelakang. "Oh, ya. Apartmen itu hadiah dari ayahmu, Oza. Dan aku berharap kamu segera menerima menemui dan berbicara dengannya."
Hazel mengerutkan keningnya. "Oza? Membicarakan tentang apa?"
Zaidan membuang nafas dan membelai pipi Hazel lembut. "Oza Palupi dan Iriana adalah orang tua kandungmu. Om Adipati sudah meninggal dua tahun lalu dan sampai sekarang kamu belum bisa menerima kenyataannya. Aku tidak tahu harus berbicara seperti apalagi padamu, tapi itu adalah permintaan yang aku buat khusus untukmu."
DEG!
Hazel membeku. Apa yang dikatakan Zaidan terdengar seperti petir yang menggelegar dan menyambar tubuhnya seketika. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Zaidan, tapi dia tetap terkejut. Cerita ini tertulis tahun 2022. Zaidan mengatakan kalau Adipati meninggal dua tahun lalu, tepatnya ditahun 2020. Sedangkan dikehidupan nyata dia hidup ditahun 2019, Adipati masih hidup dan tinggal bersamanya.
Apa arti dari semua ini?
Hazel menunduk dengan usapan tangan Zaidan dibahu kecilnya. Pria itu baru saja menceritakan tentang kematian Adipati dua tahun lalu karena penyakit liver. Hazel tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Meski semua ini hanya terjadi didalam novel fiksi, tapi tetap menyakitkan mengingat bahwa Adipati adalah satu-satunya orang yang ia miliki didunia ini.
"Sam dan Natasha sudah menunggu diapartmenmu. Tunggu sebentar, aku perlu mengganti pakaianku. Kita kesana bersama." Ujar Zaidan yang langsung mendapat anggukan kecil Hazel.
Hazel kembali berfikir, menebak-nebak alur seperti apa yang ditulis A.L dicerita terakhir ini. Kalau bisa, Hazel ingin menyelesaikan bacaan novel itu sekaligus, tanpa harus masuk kedalam cerita setiap akan membaca bab baru. Tapi disisi lain dia tidak tahu, apakah dia bisa mengendalikan alur ataukah alur yang mengendalikan hidupnya.
"Ini semua tidak masuk akal."
Hazel bergumam dengan kedua tangan bergetar. Setumpuk koran, majalah, dan barang-barang dari tahun 2020 dan 2021 berhasil membuat lututnya lemas dan meleleh seperti jelly. Itu semua terlihat begitu nyata, bukan hasil rekayasa komputer. Koran-koran itu menunjukan berbagai kejadian dan semua yang telah terjadi dimasa lalu. Termasuk bencana alam, kecelakaan, perubahan sistem kenegaraan, dan semua hal yang belum pernah terjadi didunia yang Hazel tempati, 2019.
Hazel memejamkan matanya yang disusul luruhnya tetesan air mata. "Aku ingin kembali." Bibirnya bergumam sambil memandangi kenop pintu kamar Zaidan yang mulai bergerak.
"Zel?" panggil Zaidan sambil memandangi tempat dimana Hazel berada sebelumnya.
Pria kembali itu merasakan kekosongan. Hazel pergi meninggalkannya untuk yang kesekian kali setelah Zaidan berharap penuh akan kehadiran Hazel disisinya selalu. Ingin rasanya dia melihat Hazel setiap saat. Memastikan wajah itu agar tetap tersenyum dan bahagia bersamanya. Tidak bermaksud posesif, tapi ditinggalkan Hazel dengan cara seperti ini memang dirasa tidak adil. Dan Hazel membuktikan ucapannya, kalau dia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhinya.
"Hazel pergi lagi?" tanya Sam dan Natasha kompak.
Zaidan tersenyum miris dan menundukan kepalanya sambil menggenggam ponselnya kuat. "Iya."
~~~@~~~
Jakarta, 2019
Adipati terkejut saat melihat putrinya berlari kencang kearahnya. Menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Gadis itu terus menangis sejadi-jadinya, membiarkan air mata membasahi kemeja milik sang ayah. Sesekali Adipati terkekeh sambil mengusap punggung Hazel yang bergetar. "Tangis akan membantumu mengeringkan luka, jadi lakukanlah."
Dunia milik Zaidan benar-benar menakutkan untuk Hazel tinggali. Dia tidak mengerti dengan apa yang dilihat dan dirasakannya disana. Posisi dan kehidupannya sangat asing, dia membencinya. Hazel tak ingin kembali kesana, dia ingin hidup bahagia bersama ayahnya. Adipati tak boleh meninggalkannya begitu saja. Hazel belum siap dan tak akan pernah siap dengan semua itu.
"Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan pada ayah?" tanya Adipati. Masih menepuk punggung Hazel untuk menenangkannya.
"Ayah tidak akan meninggalkan Hazel, kan?" tanya perempuan itu dengan suara parau.
Adipati kembali terkekeh dan menuntun Hazel untuk duduk disofa ruang tamu. "Duh, bayi ayah belum siap dewasa rupanya. Hehe. Ayah tidak akan meninggalkan kamu. Sampai kapanpun kamu akan tetap jadi bayi ayah. Dan tugas ayah adalah melindungi kamu sampai akhir."
"Kapan batas ayah melindungiku?"
Pria itu menyunggingkan senyumnya. "Sampai Tuhan memanggil ayah dan menggantikannya dengan kesatria yang siap menjagamu sampai akhir hayatnya."
Hazel memiringkan kepalanya, menatap dan mencari kejujuran dimata ayahnya. "Siapa kesatria itu?"
"Pria yang memberikan punggungnya sebagai tameng untuk melindungimu. Pria yang membahagiakan kamu dengan cintanya."
Perkataan Adipati berhasil menempel dikepala Hazel. Dan kini Hazel masih terus memikirkan apa yang dikatakan ayahnya tentang kesatria yang akan datang padanya untuk melindungi dan membahagiakannya menggantikan sang ayah. Hazel tidak tahu pasti tentang semua itu, entah hanya sekedar dongeng atau karangan cerita yang sengaja dibuat untuk menghibur bayi besar yang baru saja selesai menangis.
Tok! Tok! Tok!
"Zel, ini gue, Natasha."
"Ya, masuk," teriak Hazel dari dalam kamarnya.
Tujuan utama Hazel meminta Natasha datang ke rumahnya tak lain untuk memastikan tentang keterlibatannya didalam cerita novel The Eternal Love. Sekalipun Natasha tidak ikut masuk kedalam novel, setidaknya dia bisa menanyakan perihal novel misterius ini. Bagaimana tidak misterius, disana jelas tertulis tahun terbit pada 2023, sedangkan sekarang mereka masih berada ditahun 2019.
"Tumben manggil gue, ada apa?" tanya Natasha. Sengaja menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, dimana Hazel tengah bertelungkup disana.
"Kenal A.L?"
Natasha mengerutkan keningnya. "Penulis?"
"Ya. Gue baru terima novel berjudul 'The Eternal Love' dengan tahun terbit 2023. Ceritanya tentang pasangan jurnalis dengan segala kisah fantasi yang tak masuk akal."
Natasha mengangkat satu alisnya dan dengan cepat merebut novel itu dari tangan Hazel. "Ba-bagaimana bisa? Setahu gue A.L itu bukan penulis cerita fiksi, kalaupun ada, tidak mungkin dia menulis cerita sepert ini."
Hazel menggeleng. "I don't know. Seseorang mengirim novel itu tanpa memberikan identitasnya."
"Lo yakin kalau ini tulisan A.L?"
"Heem. Tapi disini tertera 2023 sebagai tahun terbitnya. Gak masuk akal, kan?"
"Bentar-bentar!" Natasha merubah posisinya. Duduk bersila sambil membuka halaman pertama novel. "Hazel Star?"
Hazel mengangguk. "Bukan hanya namanya saja yang mirip, tapi––"
"K-kenapa ilustrasi wajah tokoh wanitanya mirip sama wajah lo?" Natasha tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu.
Setelah itu, Hazel menceritakan beberapa bab yang sudah dibacanya, lebih tepatnya cerita yang dibuatnya sendiri selama hidup didalam dunia novel. Tapi ada hal yang cukup mengejutkan disana, bab cerita yang belum dimainkan Hazel terlihat kosong. Ratusan lembar yang tersisa kini masih terlihat putih polos. Hazel baru menyadari akan hal ini, karena sebelumnya dia tidak sempat membuka kelanjutan bab sebelum keluar dari dunia novel.