"Necro..." gumaman ibu terdengar.
Ayah tersenyum lembut dan melambai ke arah ibu yang membeku di samping Chad.
"Maaf, ya, Tulipia," ujar ayah. "Aku terpaksa membawa Azalea. Lagipula, kalian yang telah melanggar duluan. Tenang saja, aku akan memperlakukan Azalea seperti anak wajar."
Pelukanku semakin mengerat.
Untuk kali ini saja, aku ingin menjadi anak yang manja kepada ayahnya. Aku tidak tau apakah aku bisa melihatnya lagi atau tidak.
"Tidak mungkin," kekeh Chad. "Dia butuh sekolah dan bersosialisasi."
"Kalau begitu, akan kumasukkan ke sekolah Half-Blood," sahut ayah tenang.
Aku memberengut, membuat ayah tertawa pelan. Ia terus mengelus rambutku.
"Kamu tidak akan tinggal di sana, Sayang," kekeh ayah. "Jangan cemberut begitu, dong."
"Ayah, apakah pekerjaan ayah sudah selesai?" tanyaku.
"Sudah," Ayah mengangguk.
"Master, fajar akan datang," Lucifer membungkuk sedalam-dalamnya, ia masih memakai pakaiannya itu.
"Apakah kalian harus meminta konfirmasiku?" geram ayah.
Geraman ayah membuat Isla dan Avery tampak takut. Chad dan Ibu saling menggenggam. Bella tampak siap menangis.
Lucifer membungkuk semakin dalam.
"Maafkan saya, Master," gumamnya.
"Lakukan!" Ayah membuang muka. "Lain kali, ketika aku bersama anakku, tidak perlu konfirmasi."
"Daulat, Master," Lucifer membungkuk dan bergegas pergi.
"Raja yang kejam, ya," ledek Chad.
"Ayah, bolehkah aku berkeliling perpustakaan ini?" tanyaku.
"Ya," Ayah mengangguk.
Aku bergegas lari. Mengelilingi perpustakaan itu.
Aku kembali dan melempar tubuhku ke pangkuan ayah. Ayah dengan sigap menangkapku dan mengelus rambutku. Ia memelukku.
"Avery, apakah kamu sudah jadian dengan Bella?" kekehku.
Bella hendak menjawab, tapi segera ditahan oleh ibunya.
"Tentu saja, tidak!" Avery merengut. "Selera-ku tidak sejelek itu!"
"Rick rindu padamu," ucapku. "Mungkin saja dia menyukaimu."
Avery melirik ke Isla dan pura-pura muntah.
Ayah membisikkan sesuatu yang membuatku nyaris terbahak kalau aku tidak buru-buru membekap mulutku.
"Ada apa?" tanya Isla polos. "Apa yang lucu?"
"Ayah bercanda tadi," kekehku.
"Sayang, ayah akan meminta Azrael membawa teh untukku," ujar ayah. "Apakah kamu ingin menitip?"
"Aku mau coklat panas," ujarku.
"Baiklah," Ayah memetikkan jarinya.
Azrael, vampir pelayan pribadi ayah, muncul. Ia memakai tuksedo hitam formal. Rambut hitam legamnya tersisir rapi, bola mata merah darahnya berkilat mengintimidasi.
"Bawakan earl grey dan coklat panas," pinta ayah.
"Daulat, Master," Azrael membungkuk dan lenyap.
Beberapa jam kemudian...
Matahari sudah terbit di ufuk timur.
Pemandangan itu jauh lebih spektakuler di Last Place of Soul ini. Corak warna itu berbaur dengan ungu dan hitam, terlihat amatlah kontras.
Sarapan dilaksanakan di aula makan.
Aula makan berupa ruangan besar dengan jendela-jendela lebar bertirai hitam. Meja panjang bertaplak ungu diletakkan di tengah ruangan, dengan kursi-kursi mengapit. Lantai tertutupi oleh permadani hitam dengan pinggiran ungu. Chandelier besar menggantung indah.
Aku duduk di sisi ayah dan Rick di sebrangku.
"Apa jawaban ayah?" tanyaku.
"Ayah akan ikut," Ayah tersenyum. "Kita akan berangkat nanti."
Rick dan aku ber-tos.
"Tapi, bagaimana kita bisa kembali ke daratan, ya?" tanya Rick.
"Kamu tau aku siapa?" Ayah tertawa pelan. "Aku penguasa Last Place of Soul. Ini lepas dari kekuasaan siapapun, bahkan kekuasaan ayahku. Mereka semua tunduk jika menginjak kekuasaanku ini."
Ya, dia... ayahku... Necromancer...