Gelora 💗 SMA
Lonceng tanda masuk berdentang.
Tak ada lagi sesuatu yang musti dibicarakan dengan Pak Armando. Guru tampan ini menyalami tanganku, sebelum dia bergerak pergi menuju ke ruang guru. Aku hanya tercengang menatap cara jalan guru muda itu yang sangat tegap dan gagah. Punggungnya nampak lebar memberikan kesan yang nyaman sebagai tempat bersandar.
Hmmm ... Pak Armando itu memang kharismatik dan berwibawa, andai dia tahu bahwa aku terus memperhatikannya hingga memunculkan imajinasi-imajinasi konyol yang hanya berada di pikiranku.

''Hai, bengong aja!'' Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan itu membuatku jadi kaget. Aku yang terperanjat langsung menoreh ke arahnya dan kedua mataku ini menangkap bayangan cowok ganteng yang kukenal bernama Randy.
''Hai, Ran ...'' sapaku kepadanya. Randy tersenyum melebarkan bibirnya yang ranum kemerahan. Manis seperti kembang gula. Dia memang tidak kalah menawan bila dibandingkan dengan Pak Armando.
''Ngapain kamu di sini, Poo?'' tanya Randy.
''Em ... aku ... aku ... lagi menyendiri, hehehe ....'' jawabku sedikit gugup. Aku tidak berani berkata jujur. Aku tidak ingin Randy tahu, apa yang terjadi antara aku dan Pak Armando. Biar aku dan Pak Armando saja yang tahu.
''Kenapa? Kamu lagi sedih, ya? Ada masalah apa? Coba ceritakan kepadaku?'' Randy langsung membrondong pertanyaan. Raut wajahnya menyiratkan rasa cemas yang dalam.
''Aku baik-baik saja, Ran ... please deh, jangan lebay!''
''Oke ... aku percaya sama kamu, tapi aku sarankan buat kamu, Poo ... jangan sering sendirian di tempat yang sepi seperti di sini!''
''Emang kenapa?''
''Nanti kamu kerasukan jin.''
''Hahaha ... nggaklah, Ran ...''
''Aku serius lho, Poo ... aku tidak mau terjadi sesuatu sama kamu.''
''Ciee ... so sweet, ah ...''
''Yeee ... dibilangin!''
''Udah ah, tidak usah dibahas lagi, mendingan kita masuk ke kelas aja!"
Aku mulai melangkahkan kakiku dan bergerak menuju ke kelasku.
''Tunggu, Poo!" Randy menahan langkahku.
''Ada apa lagi, Ran?'' tanyaku heran.
''Nanti kita pulang bareng ya, sekalian aku mau jenguk Rudy, anak itu sudah beberapa hari tidak masuk sekolah karena sakit."
''Oh, oke deh, nanti kita jenguk bareng ... kebetulan aku juga belum menjenguk dia.''
''Siip!''
Aku melanjutkan langkahku.
''Poo ...'' Lagi-lagi Randy menahan langkahku, dengan gesit dia menghampiri aku dan merangkulku.
''Apa lagi sih, Ran?'' Aku mulai jengah dengan tingkah Randy. Perlahan aku melepas rangkulan tangan Randy dari pundakku.
''Aku akan mengantar kamu hingga kamu tiba di kelas'' ujar Randy.
''Hehehe ...'' Aku cuma nyengir. Aku tidak mengerti apa isi yang ada di kepala Randy. Terkadang dia memang terlihat melankolis, naif dan cenderung posesif.
''Boleh, 'kan?''
''Ya, boleh ...''
''Asiiik ...''
Aku dan Randy jadi tertawa. Kemudian kami berjalan beriringan mendekati ruang kelasku.
Sejurus kemudian, kami tiba di depan kelas. Dan di situ aku melihat Akim berdiri di depan pintu dan memperhatikan gerak-gerik aku dan Randy dengan sorot mata yang tajam.
''Cieee ... yang lagi pacaran, romantis banget!'' sindir Akim dengan ketus.
''Hai, Pendek! Apa maksud lo?!!'' timpal Randy terpancing kesal.
''Anjing ... Lo ngatain gue Pendek!'' Akim bergerak gesit menghampiri Randy dan menarik kerah bajunya.
''Emang lo pendek 'kan? Kenapa? Lo tidak terima?'' Randy balik menantang.
''Anjing!'' seru Akim, lalu ...
''BUGGGG!!!''
Satu bogem mentah mendarat di pipi Randy hingga tubuh Randy terdorong mundur beberapa centimeter. Tak terima mendapatkan pukulan dadakan, Randy langsung mengepalkan tangannya dan segera melayangkan pukulan talak ke arah Akim.

''BUGGGG!!!''
Sebuah pukulan Randy mengenai pipi Akim. Tubuh Akim yang lebih kecil tersungkur di lantai.
''ASUUUUUU!'' seru Akim geram dia berusaha bangkit dan menyiapkan kuda-kuda untuk melanjutkan perkelahian.
''Stooop!'' gertakku sembari berdiri di antara Akim dan Randy. Aku berusaha melerai mereka berdua. Tapi Akim dan Randy masih menampakan keegoan mereka dan masing-masing dari mereka tidak ada yang mau mengalah. Mereka terus bersitegang hingga beberapa teman kelasku keluar dan membantu aku untuk menenangkan cowok-cowok itu. Mendadak suasana jadi rame karena siswa-siswa dari kelas lain juga ikutan berkerumun. Mereka semua pada kepo dan ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Akim dipegang oleh dua orang teman genk-nya (Awan dan Yopi), sementara aku menenangkan Randy.
''Dengar, ya ... Gue kagak terima lo ngatain gue!'' seloroh Akim dongkol sambil menunjuk-nunjuk ke arah muka Randy.
''Gue juga tidak terima, kalau lo berpikir macam-macam tentang gue dan Polo ...'' balas Randy.
''Udah cukup ... jangan pada berantem!'' gertakku kesal. "Kalian kayak anak kecil!'' imbuhku.
''Awan ... bawa Akim masuk ke kelas!'' komandoku kepada Awan, lalu dia segera menghalau Akim untuk masuk ke kelas dibantu oleh Yopi dan teman yang lainnya, ''dan kau, Randy ... sebaiknya kamu masuk ke ruang kelasmu!'' titahku kepada Randy.
''Iya, Poo ... tenang aja, aku akan pergi dari sini,'' jawab Randy.
''Kalian semua bubar ... Bubar!'' kataku berlanjut untuk membubarkan kerumunan dan seketika itu pula mereka membubarkan diri. Suasana kembali tenang. Hanya ada aku dan Randy di luar kelas.
''Jam istirahat nanti aku akan menghampirimu, Poo'' ujar Randy.
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara lagi. Randy menepuk-nepuk bahuku sebelum dia melangkah pergi meninggalkan aku.
Aku menghela nafas. Aku tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi barusan. Apa yang mereka (Randy dan Akim) ributkan? Sama sekali tidak ada. Ya, tidak ada yang penting. Dan aku pikir mereka terlalu bodoh!