Sejak tadi Lamanda hanya diam dan duduk di sofa dekat pintu setelah Alta menguncinya di ruang musik lalu meninggalkannya sendirian.
Berulang kali Lamanda menghubungi Arsya, Kaila dan Raskal bergantian namun tidak ada satupun yang menjawab. Ia sudah frustasi melihat jaringan ponselnya yang mendadak Edge apalagi baterainya yang menunjukkan angka 5%.
Lamanda menutup telinganya dengan kedua tangan ketika terdengar suara petir menyambar. Di luar sangat gelap karena mendung terus-terusan menggantung di langit membuat ruangan tempatnya berada juga ikutan meremang. Hujan kali ini memang sangat deras hingga menimbulkan gemuruh yang terdengar sangat menakutkan bagi Lamanda ditambah kilatan petir yang sesekali terpantul pada dinding ruangan.
Entah sejak kapan Lamanda mulai menangkup wajahnya dan terisak dengan tangan gemetar. Ia benar-benar sendirian dan ketakutan.
Seandainya ia tidak ikut Raskal tadi mungkin sekarang ia berada di kelas. Meskipun akan sama saja karena hujan tapi setidaknya ia tidak akan sendirian seperti sekarang.
Klek
Perlahan Lamanda membuka tangan yang menutupi wajahnya dan mendongak ketika terdengar suara pintu terbuka.
"Eh anj*r!!" seorang laki-laki berhenti di sisi pintu sambil memegang dadanya kaget.
Jelas saja ia kaget mendapati ada orang di dalam padahal ruang musik terkunci dari luar.
"Siapa lo?" tanyanya sambil berjalan ke arah Lamanda hati-hati dengan mata memicing karena wajah Lamanda tidak begitu jelas terlihat.
Laki-laki itu melihat kaki Lamanda yang menapak di lantai. Seketika ia bersyukur karena di hadapannya bukan setan.
Saat jaraknya semakin dekat dengan Lamanda, sebuah seringaian terbit dibibirnya ketika menyadari siapa gadis di hadapannya itu. Ia mendudukkan diri di samping Lamanda dengan tangan yang terjulur ke sandaran sofa seakan merangkul Lamanda.
Hal itu membuat Lamanda menggeser duduknya, ia mengusap air matanya dengan gemetar. Dapat dirasakannya kedua tangannya yang mendingin. Bahkan sekujur tubuhnya terasa menggigil mengingat pendingin ruangan yang tidak dimatikan juga angin yang berhembus kencang masuk melalui celah kecil di atas jendela.
"Lo adiknya Kalka ya?"
Meskipun Lamanda bingung darimana lelaki dihadapannya itu mengetahui hal tersebut, Lamanda tetap mengangguk.
"Gue Vero."
Pernyataan itu membuat Lamanda mengernyit. Nama itu terasa tidak asing di pikirannya. Ia seperti pernah mendengar nama tersebut tapi entah dimana Lamanda tidak ingat. Wajah lelaki di depannya juga terasa familiar.
"Kalka punya hutang ke gue, dan gue mau lo yang bayar semuanya, " suara Vero terdengar rendah dan tajam.
Lamanda merasakan ketakutan ketika Vero semakin mendekatkan tubuhya. Ia mencoba berdiri namun gerakannya kalah cepat dari tangan Vero yang menarik pergelangan tangannya. Membuat Lamanda kembali terhempas duduk di pangkuan Vero.
"Lo mau ngapain? Lepasin gue!" Lamanda bergerak tidak nyaman. Jantungnya semakin berdebar kencang. Berulang kali ia mencoba melepaskan cekalan tangan Vero namun tidak berhasil dan semakin membuat tangannya sakit.
"Jangan gerak," geram Vero dengan suara serak. Ia semakin mengeratkan cekalan tangannya pada Lamanda. Pergerakan Lamanda bisa membuatnya loss control.
Untuk kali ini saja Lamanda hanya ingin hujan reda. Ia takut pada kilatan di luar juga pada Vero. Beberapa kemungkinan buruk melintas dipikirannya, meskipun setengah hatinya mengatakan ia akan baik-baik saja.
Dengan gerakan cepat Vero menghempaskan tubuh Lamanda ke sofa. Membuat Lamanda memekik.
Vero semakin mengikis jarak keduanya, sedikit saja ia maju maka bibirnya akan mendarat sempurna di bibir Lamanda jika saja gadis itu tidak meronta dan memberontak.
"Lepasin gue!!" teriak Lamanda ketika Vero menahan tengkuknya. Ia memukul Vero dengan brutal.
"Calm, babe. Gue suka yang slow," desis Vero lalu meraih tangan Lamanda yang memukulinya sejak tadi.
"Oke kita mulai dari mana dulu? Pipi, bibir, leher, atau-" Vero menatap Lamanda yang terlihat semakin pucat, lalu turun ke bawah, "dada."
"Please, lepasin gue!"
Ekspresi Lamanda semakin membuat Vero menggila, ia meniup-niup dan menjilati leher Lamanda. "Rileks aja. Gue main slow kok."
"TOLONGGGGG!!!"
"LEPASIN GUE!!
Lamanda terus meronta melepaskan tangannya namun tidak bisa. Ia dapat merasakan pergelangan tangannya yang memanas dan sakit karena Vero mencengkramnya begitu kuat.
Sedangkan Vero mulai melepaskan tangan Lamanda dan beralih menarik pinggang gadis itu. Vero mendekatkan wajahnya, sangat dekat bahkan ia dapat merasakan hembusan napas Lamanda yang tidak teratur. Ia melirik leher jenjang Lamanda yang bebas karena rambut Lamanda terikat.
"I start from your neck."
"Jangan, " isak Lamanda.
Napas Lamanda semakin berat, ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan Vero. Air matanya terus mengalir ketika Vero mendaratkan bibir tepat di lehernya.
Vero terlalu terbawa suasana sampai kerah belakang kemejanya ditarik paksa yang membuatnya terjungkal ke lantai dan sebuah pukulan mendarat sempurna di wajahnya. Ia menggeram ketika melihat Alta berdiri di depannya.
"Brengs-"
BUGH
Belum sempat ia menyelesaikan umpatannya. Sebuah pukulan mendarat kembali di wajahnya.
Vero berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang berdarah. "Ganggu lo brengs*k!"
"Pergi atau lo bakal gue bunuh sekarang juga!" bentak Alta.
"Nggak usah sok jadi pahl--"
Sekali lagi Alta tidak memberikan kesempatan untuk Vero menyelesaikan bicaranya. Sudah kepalang kesal, Alta memukuli Vero tanpa ampun. Bahkan ia tidak memberi kesempatan untuk Vero melawan.
Melihat Vero yang terlihat begitu mengenaskan, Alta menghentikan pukulannya. Ia menarik tangan Vero dengan kasar agar berdiri.
"Lawan gue!" bentak Alta.
Meskipun nafasnya terengah, Vero menyeringai ke arah Alta.
Cuih
Alta tersenyum sinis. Ia melirik bajunya yang terkena ludah Vero. "Cowok berantem pake tangan bukan pake mulut kaya cewek."
"Sok lo tai."
"Pilihan lo cuma dua. Pergi atau mati."
Napas Vero memburu. Kilatan mata Alta membuatnya terpakasa mundur karena ia tahu Alta seperti apa.
"Kenapa? Takut?" tanya Alta.
Vero tidak menjawab, ia memandang Alta dengan tatapan remeh.
"Kalau berani coba lawan gue sekarang!" Alta mendekat ke arah Vero lalu berbisik. "Lo beraninya cuma sama cewek tau nggak."
Vero memalingkan wajahnya mati-matian melawan emosinya.
Lalu ia mengalihkan pandangannya Lamanda yang masih menangis, "Babe, lain kali kita lanjutin sampai tuntas," ucapnya sambil mengerling kemudian pergi sebelum Alta menghabisinya.
Setelah Alta meredakan emosinya ia menghampiri Lamanda. Dilihatnya Lamanda yang begitu pucat dengan napas terengah. Alta mencoba menenangkan Lamanda. Ia berniat meraih kancing teratas Lamanda dan membukanya agar tidak terlalu sesak namun Lamanda menjauhkan diri dengan raut ketakutan.
"Buka dua kancingya biar lo nggak sesak. Sabuknya juga"
Lamanda menurut ia membukanya dengan tangan bergetar.
"Jangan nangis," kata Alta lembut. Ia melepas ikatan rambut Lamanda yang berantakan dan merapikan rambut Lamanda.
Lamanda begitu ketakutan ketika terdengar gemuruh hujan yang semakin menjadi di luar apalagi setelah kejadian barusan.
Isakan Lamanda semakin menjadi, maka Alta meraih kedua bahu Lamanda dan membawanya dalam pelukan meskipun Lamanda sempat berontak pada awalnya.
Setelah agak tenang Alta melepaskan pelukannya. Ia meraih dagu Lamanda dan mengapus air mata di pipinya.
Ditatapnya mata sembab Lamanda sebelum Alta mengalihkan pandangannya pada jendela yang menampakkan hujan di luar.
"Hujan ya? Lo suka nggak?" tanya Alta sambil kembali menatap lekat wajah Lamanda.
Lamanda menggeleng.
Melihat wajah pucat Lamanda, ia dapat menangkap ketakutan disana.
"Lo tremor, Lam. "
Panik, Alta meraih tangan Lamanda yang bergetar hebat dan menggenggamnya. Dapat ia rasakan kulit dingin Lamanda. Bahu gadis itu juga naik-turun dengan napas berat dan tidak teratur.
"Gg-gue takut."
Dua kata itu sudah cukup untuk Alta mengerti, maka dengan sigap ia beranjak ke arah jendela lalu menutup tirainya, menghidupkan saklar lampu ruangan, mematikan AC dan kembali duduk.
Alta meraih ponsel di saku kemejanya lalu menghubungkanya pada headset. "Bilang kalau takut hujan."
Detik berikutnya dengan perlahan ia memasangkannya pada telinga Lamanda sampai matanya menangkap banyak tanda merah di leher Lamanda. Ia mengulurkan tangannya mencoba memastikan.
"Shit!" umpatnya.
Lamanda mengerti dan mengingat itu membuatnya terisak kembali. Ia tidak menyangka jika kembali ke sin membuatnya semakin banyak masalah dan hari-hari buruk yang terus terjadi.
Tidak peduli betapa sesak dan sakit dadanya saat ini, Lamanda tetap menangis sampai dirasakannya tubuhnya menghangat karena dekapan Alta.
"Dont be afraid. I am here."
***
Alta melonggarkan pelukannya kemudian menyingkap rambut yang menutupi wajah Lamanda. Dilihatnya Lamanda yang tertidur pulas dalam pelukannya. Butuh waktu lama membuat gadis itu tenang bahkan setelah setengah kemejanya basah oleh air mata Lamanda.
Tanda merah itu membuat Alta mengepalkan tangannya. Vero pantas disebut brengsek dan Alta tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuh Lamanda lagi.
Perlahan Alta melepaskan pelukannya lalu meletakkan kepala Lamanda di sandaran sofa. Ia beranjak dari duduknya dan keluar ruangan setelah mengunci pintu terlebih dahulu.
Niatnya ia akan membelikan makanan untuk Lamanda karena ia tidak sengaja mendengar perut Lamanda berbunyi saat tertidur tadi. Mengingat itu membuat Alta geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Selesai membeli makanan di kantin ia kembali ke ruang musik dengan cepat-cepat takut kejadian beberapa jam yang lalu kembali terjadi.
Setelah berhasil membuka pintu Alta langsung masuk dan duduk disamping Lamanda yang masih tertidur. Diletakkannya kantong kresek berisi makanan yang dibawanya di sisi sofa. Tangannya tetulur menepuk-nepuk pipi Lamanda.
"Lamanda,"
"Bangun udah sore."
Tidak ada respon, Alta memencet hidung Lamanda karena biasanya hal itu merupakan cara terampuh.
Merasakan kesulitan bernapas Lamanda membuka matanya perlahan, ia mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya.
"Makan dulu."
Lamanda menoleh ke samping, mendapati Alta yang sedang menatap ke arahnya lalu pandangannya jatuh pada kotak sterofoam di tangan Alta. Lamanda menggeleng.
"Gue nggak lapar."
Meskipun sebenarnya Lamanda sangat lapar tapi mengingat kejadian tadi membuatya tidak nafsu. Ia berharap semoga semua hanya mimpi buruk tapi kenyataan kembali menjatuhkannya.
"Tadi perut lo bunyi. Berisik," ketus Alta membuat wajah Lamanda memerah karena malu.
Alta meraih sendok kemudian menyendokkan satu suapan penuh nasi dan menyodorkannya ke mulut Lamanda.
"Gue bisa ma--" satu sendok nasi mendarat di mulutnya, "ghue bbhisa hakan ghendiri." Lamanda mencoba meraih sendok di tangan Alta namun gagal. Jadi Lamanda kembali diam sambil mengunyah makannya.
"Buka mulutnya. Aaa." Alta kembali menyodorkan suapan nasi ke arah Lamanda setelah melihat Lamanda berhenti mengunyah.
Tidak mau. Lamanda menutup mulutnya rapat-rapat.
"Gue tinggal ya."
Dengan cepat Lamanda membuka mulut menerima suapan Alta.
Alta terkekeh, "Good girl," lalu tangannya terulur ke kepala Lamanda. Mengacak rambut gadis itu dan menariknya mendekat lalu mencium pelipis Lamanda singkat.
***
Komentar dong haha.