Alta segera memasuki ruang UKS yang pintunya terbuka lebar, mengagetkan Aruna, anggota PMR yang sedang bertugas hari ini. Dengan segera Alta membaringkan tubuh Lamanda di salah satu tempat tidur. Lamanda yang masih menangis membuatnya semakin kesulitan bernapas, wajah gadis itu terlihat pucat. Alta berdecak melihat Kara yang masih bengong melihatnya.
Berbekal informasi yang pernah diketahuinya lewat internet, dengan sedikit gemetar, dibukanya tiga kancing teratas kemeja Lamanda, Alta juga segera melepaskan ikatan rambut gadis itu, melepas sepatu dan melonggarkan sabuknya, "Lo masih mau diam aja? Gue nggak mau tanggung jawab kalau misalnya dia mati," desis Alta sambil melirik sinis Kara yang masih diam.
Kara yang langsung tersadar segera menghampiri dan mengecek keadaan Lamanda. Deru napas Lamanda tidak teratur. Dilihatnya pelipis Lamanda yang berkeringat, Kara segera mengecek telapak tangan Lamanda, dingin dan lembab. Ia mengeluarkan barang-barang di saku Lamanda.
Dengan segera, Kara mengambil non rebreathing mask dan memasangkannya ke wajah Lamanda dengan cekatan. Kemudian ia terus memantau dan memeriksa pernapasan Lamanda yang sedikit demi sedikit mulai teratur. Kara segera mengangkat kepala Lamanda dan meninggikan bantalan untuknya.
Lamanda bernapas lega karena tidak mati hari ini. Dilihatnya siswi dihadapannya sedang tersenyum, Lamanda membalas senyuman itu, mewakili ucapan terimakasihnya. Diliriknya Alta yang menatapnya datar, Lamanda membuang pandangan ke arah lain.
Karena hening, Kara memilih duduk di kursi samping tempat tidur Lamanda, tepat di seberang Alta. Ini kali pertama ia melihat seorang Alta bersama dengan seorang perempuan. Jadi jangan salahkan Kara yang kaget setengah mampus tadi. Dilihatnya wajah Alta yang menunjukkan ekspresi datar seperti biasanya. Lelaki itu sibuk memainkan kemeja di tangannya. Tidak ada yang memulai pembicaraan kembali.
Kara yang mulai jengah, seketika bersyukur karena bel masuk berbunyi. Ia berdiri merapikan roknya lalu melihat ke arah Lamanda dan Alta bergantian, "Gue balik duluan, nggak apa-apa kan?"
Alta mengangguk samar, dengan semangat Kara keluar dari ruangan yang mendadak horror karena Alta.
Hampir setengah jam Alta duduk menunggu Lamanda. Tidak ada yang memulai pembicaraan membuat ruangan hening. Lamanda masih memalingkan wajahnya ke arah lain sedangkan Alta hanya diam. Tangannya ia selipkan di sela-sela rambut Lamanda, memijat perlahan kepala gadis itu karena sempat mengeluh pusing tadi.
Alta sudah menghubungi Keral bahwa ia tidak bisa masuk kelas karena ada urusan dan menyuruh Keral untuk memintakan izin pada Mrs.Andin yang saat ini kebagian mengajar di kelasnya.
Saat hendak memainkan ponselnya dengan sebelah tangan, terdengar suara yang tidak asing bagi Alta. Ia melihat ke arah Lamanda yang sudah memegangi perutnya dengan wajah merah padam. Gadis itu bahkan masih enggan untuk menatap ke arahnya.
Alta segera beranjak dari duduknya dan keluar UKS, ia menuju kantin dan memesan bakso serta teh hangat untuk Lamanda. Tidak sampai sepuluh menit, pesanannya sudah siap karena sudah masuk jam pelajaran, jadi tidak perlu mengantre. Selesai membayar, Alta melangkahkan kakinya kembali ke UKS.
Lamanda menoleh ke arahnya begitu pintu terbuka, namun tidak lama karena buru-buru gadis itu mengalihkan pandangan kembali. Alta berdecak, ia meletakkan nampan di nakas kecil kemudian duduk di pinggiran tempat tidur. Ia meraih kepala Lamanda dan melepaskan non rebreathing mask yang terpasang di wajah gadis itu dengan hati-hati.
"Makan dulu," perintah Alta.
Lamanda menggeleng. "Gue kenyang," kilahnya, padahal yang dirasakan justru sebaliknya karena ia memang tidak sempat makan tadi.
"Nggak usah bohong, gue denger perut lo bunyi tadi."
Pipi Lamanda memanas. Ia jadi tengsin sendiri. "Tapi gue nggak mau makan."
"Bisa nggak sih lo nurut dikit?! Berhenti jadi pembangkang, gue muak!!"
"Kalau lo muak, harusnya lo nggak usah ganggu ataupun ikut campur hidup gue!"
"Berhenti ngomong hal yang bikin gue marah, Lam!!!"
"Lo nyuruh gue berhenti? Gimana kalau gue juga nyuruh lo berhenti? Berhenti gangguin gue ataupun ngaku sebagai Davino lagi. Biar kita impas."
"Gue emang Davino!! Harus berapa kali gue bilang biar lo percaya?!"
"Davino udah meninggal!!"
Prangggg
Alta melempar gelas berisi teh hangat yang dipesannya tadi membuat suara pecahan kaca beradu dengan lantai. Napasnya memburu, terdengar begitu jelas karena ruangan tersebut kembali senyap. Tidak ada teriakan dan bentakan seperti sebelumnya.
"Lo bilang Davino meninggal tapi lo nggak bisa nunjukin dimana makamnya."
Alta menoleh ke arah Lamanda yang memandang ketakutan ke arahnya. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca dan Alta benci akan hal itu.
"Jujur ke gue, sebenernya apa yang lo harapin?" tanya Alta membuat Lamanda memandangnya penuh kebingungan karena tidak mengerti kemana arah pembicaraan Alta.
"Lo berharap Davino udah meninggal atau masih hidup?"
Lamanda diam. Ia tercekat hingga merasakan sakit di tenggorokannya..
"Jawab, Lam!!"
Lamanda terisak. Ia memiringkan tubuhnya dan memunggungi Alta.
"Gue nyuruh lo jawab! Bukan nangis kayak gini!!!" teriak Alta, membuat Lamanda semakin terisak.
"Apa yang bisa bikin gue percaya kalau lo Davino?" tanya Lamanda di sela isakannya.
"Capek ngomong sama lo. Dari dulu lo emang nggak berubah. Egois," kata Alta.
Dengan pelan, Alta membantu Lamanda untuk duduk meskipun gadis sempat menolaknya tadi. Ia meraih mangkok berisi bakso dan menghadap Lamanda. Ia menyodorkan satu bakso kecil ke arah mulut gadis di depannya.
"Makan," perintahnya.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Al."
"Gue bilang makan ya makan!!" bentak Alta.
Mungkin karena takut atau juga... karena lapar, Lamanda membuka mulutnya. Tapi, tidak bertahan lama karena ia kembali memuntahkan baksonya ke mangkok membuat Alta menatapnya tajam.
"Panas," kata Lamanda pelan.
Alta memilih opsi teraman, ia menyerahkan mangkok bakso tersebut ke Lamanda agar gadis itu makan sendiri.
"Masih pusing?" tanya Alta lembut, sangat kontras dengan bentakannya beberapa menit yang lalu.
Lamanda menghentikan gerakannya yang akan memasukkan bakso ke mulutnya lalu melihat Alta. "Sedikit," jawab Lamanda. Kemudian, ia merasakan kepalanya disentuh. Lagi. Ia merasa dadanya berdesir ketika Alta mendekatkan jarak mereka dan mulai memijit kepalanya. Tapi, entah kenapa ia tidak bisa menolak, tubuhnya mendadak takluk pada Alta. Orang yang telah memperkenalkan diri sebagai masa lalunya.
"Jadi, apa yang bisa bikin gue percaya kalau lo Davino?"
Alta menurunkan tangannya kemudian menatap lekat mata Lamanda. Ia menahan tengkuk Lamanda dan mendekatkan wajahnya, ia bahkan dapat merasakan jika Lamanda menahan napas. Dalam sekali gerakan ia mencium Lamanda, mendaratkan bibirnya tepat di bibir Lamanda. Membuat gadis di depannya itu terbelalak kemudian mendorong tubuhnya.
Plakk
Alta mengepalkan tangannya, ia menatap tajam Lamanda. Kemudian menyeringai.
"Sejak kapan lo berani nampar gue?"
***
Ia bangkit dan duduk di tepian ranjang. Matanya menerawang. Dulu Alta tidak pernah merasa sesepi ini. Sejak memasuki semester 3, Alta memutuskan untuk tinggal di apartemen, jika di rumah ia hanya tinggal dengan Viola -mamanya- dan beberapa asisten rumah tangga, itupun kalau Viola sedang di rumah. Sejak Sean, papanya meninggal, mamanya jadi super sibuk mengurusi perusahaan dan mengaharuskan ia sering ke luar kota ataupun luar negeri sehingga membuatnya jarang berada di rumah.
Alta mengarahkan pandangan pada laci nakas, ia membukanya dengan perlahan. Diambilnya sebuah album foto tebal bersampul cokelat tua. Ia menghela napas kemudian meletakkan album itu kembali, tidak ingin membukanya. Alta beranjak ke arah balkon lalu duduk di sofa, memandangi langit barat yang mulai menunjukkan lembayung senja. Sebentar lagi, beberapa menit lagi ia akan mendapatkan sebuah pertunjukan gratis.
Ia tersenyum kecil ketika melihat angka yang tertera di Casio G Shock hitamnya. 16:46.
Tepat ketika ia melihat matahari yang mulai tenggelam, segerombolan burung senja melintasi langit, membentuk siluet hitam karena tertabrak sinar matahari. Kadang Alta merasa iri dengan burung-burung senja itu, mereka bisa berkumpul dengan keluarga mereka, mencari makan bersama lalu pulang sebelum petang tiba juga dengan bersama.
Alta meraih ponsel di saku celanya, ia menekan tombol satu dan lansung terhubung dengan ponsel seseorang di seberang sana.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.
Alta menjauhkan ponsel dari telinganya, ia tersenyum kecut. Setiap saat, saat senja entah kenapa ia mendadak menjadi melankonis begini. Alta meletakkan kembali ponselnya lalu melihat langit barat yang mulai merah menyala.
Bahkan seseorang yang sangat ia cintai enggan untuk berada di sampingnya saat ini.
***
Terimaksih sudah membaca sejauh ini:)