Prolog
"Andaikan sebuah luka adalah hal yang abadi. Maka obat yang paling pantas untuk mengobati luka adalah keterbiasaan menahan rasa sakit."
***
Sudah lebih dari lima belas menit lelaki berseragam sekolah itu mengamati gadis yang duduk di halte dari dalam mobil yang ia parkirkan di depan ruko. Tidak ada yang ia lakukan selain hanya memandanginya bergantian dengan foto kecil di tangannya. Melihat gadis itu sepertinya akan menangis, lelaki itu memilih memalingkan wajahnya. Ia paling tidak bisa melihat perempuan menangis, terlebih karenanya jadi ia mengalihkan fokus pada objek lainnya.
Sebenarnya, tadi ia baru saja pulang dari sekolah dan pandangannya tidak sengaja menubruk sosok gadis itu. Otomatis ia meminggirkan mobilnya dan berhenti tepat di seberang gadis itu. Ia mengerjap berkali-kali lalu merogoh dompetnya dan mengeluarkan lembar kecil di dalamnya. Jantungnya berdegup cepat saat menyadari bahwa gadis itu adalah sosok yang dicarinya selama ini.
Gadis yang selama ini mengusik pikirannya dan membuatnya tidak tenang.
Gadis yang telah berhasil menghancurkan sebagian hidupnya.
***
Senja kali ini Jakarta lagi-lagi diguyur hujan. Selalu begitu sejak bulan Juni lalu. Terlihat beberapa pejalan kaki melangkah tergesa dengan payung di tangan dan sebagian lagi memilih berteduh di emperan toko bersama pengendara motor yang tidak membawa mantel. Bunyi klakson terdengar bersahutan karena macet yang tidak kunjung usai sejak beberapa jam yang lalu, menyisakan umpatan dari pengendaranya.
Dari tempat duduk paling ujung di halte, Lamanda memperhatikan jalanan di hadapannya. Ia dapat merasakan tangannya mulai mendingin. Sesekali ia mencoba menarik napas dengan susah payah karena dadanya terasa sesak, keringat dingin mulai mengucur bebas di pelipisnya. Lamanda ingin berlari masuk ke dalam bus atau angkot yang berhenti di depannya, atau segera meraih ponsel di tasnya lalu menghubungi kakaknya. Namun tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan, seakan saraf motoriknya sudah enggan bekerja.
Ia mendadak membeku.
Lamanda hanya tidak suka hujan. Ia merasa trauma dengan guyuran air langit itu, terlebih suaranya begitu meyeramkan baginya.
Ia kalut karena sendirian di halte itu sedangkan hujan semakin deras. Lamanda menutup telinganya dan reflek menangis. Ia terusan menunduk dalam hingga sentuhan di bahunya membuat tangisnya terhenti. Ia perlahan mendongak melihat sosok yang menyentuhnya tadi. Matanya membulat begitu melihat lelaki di hadapannya sekilas tidak begitu asing. Mengingatkannya pada sosok yang seharusnya tidak ingat. Tubuhnya sampai bergetar hebat. Ia sudah hendak berdiri, namun kakinya begitu lemas sehingga membuatnya hampir terjatuh. Beruntung saja lelaki itu mencekal lengannya dan menahannya berdiri.
Belum sempat Lamanda berkata dan menenangkan degup jantungnya, lelaki itu sudah menutupi kepalanya menggunakan jaket lalu menariknya menembus hujan. Hal itu membuat Lamanda terusan berontak karena takut, namun tenaganya memang tidak sebanding dengan lawannya hingga lelaki itu mendorongnya masuk ke dalam mobil. Lamanda sudah hendak keluar tapi lelaki itu lebih cepat mengunci pintu mobilnya dari luar.
Lamanda kalah telak.
Begitu lelaki itu masuk dan menatapnya tajam, Lamanda beringsut menjauh, tapi hal itu justru membuat lelaki itu mendekat.
"Lupa sama gue Lamanda?"
Lamanda terperangah karena lelaki itu mengetahui namanya. Ia memandangi lelaki itu dengan ketakutan berlebih. "Ss-siapa?"
Lelaki itu menyeringai. "Davino."
Pelan namun membuat jantung Lamanda terguncang dan berdetak cepat.
Lamanda menggeleng. "Siapa lo sebenarnya?"
"Gue Davino," jawab lelaki itu.
"Nggak! Davino udah meninggal!!" seru Lamanda histeris. Ia terisak lagi karena lelaki di depannya itu begitu menakutkan dan kembali membuka lukanya, membuat kinerja jantungnya semakin tidak stabil.
"Meninggal, huh? Kalau gitu tunjukin gue makamnya."
Lamanda langsung diam. Karena ia sendiri tidak tahu dimana makam Davino. Ingin bertanya pada keluarganya pun, Lamanda tidak tahu karena tidak begitu dekat dengan keluarga Davino. Yang ia tahu, Davino telah meninggal. Apalagi ia ingat jelas kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
"Davino meninggal itu cuma harapan lo. Sayangnya Davino masih hidup dan ada di depan lo sekarang. Karena apa? Karena Tuhan adil."
"Lepasin gue dan berhenti buat lelucon!!"
Lelaki itu tidak peduli. Ia mulai melajukan mobilnya dan tidak menghiraukan teriakan gadis yang duduk di sebelahnya.
"Berhentiin mobilnya!! Gue nggak kenal lo!!"
"Diem Lamanda!!!" teriak lelaki itu saat Lamanda mencakar tangannya dan memukul bahunya. Ia menghempaskan tubuh gadis itu hingga membentur jendela mobil. Karena jika dibiarkan bahaya bagi keselamatan keduanya.
Namun lelaki itu acuh membuat gadis itu menangis tanpa henti. Tidak ada teriakan dan pukulan lagi, mungkin sudah lelah. Hal itu membuat lelaki itu menyetir mobil dengan tenang. Hingga sepuluh menit kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah bergaya american colonial yang berhalaman rerumputan dan di pagar kayu setinggi dada.
Lelaki itu menoleh ke samping. Ke arah Lamanda yang diam dan sesekali sesenggukan. Kemudian menjulurkan tangannya dan menarik kalung yang melingkar di leher Lamanda, membuatnya putus menjadi dua bagian.
Mata Lamanda membulat. Ia hendak meraih kalungnya di tangan lelaki itu namun terlambat karena kalung itu sudah dimasukkan ke dalam saku celana lelaki tersebut. "Balikin kalung gue!!"
"Nggak."
"Please," kata Lamanda. Ia sudah merendahkan dirinya dengan menyatukan telapak tangannya dan memohon pada lelaki itu. Itu kalung pemberian Davino padanya dan ia harus menjaganya sebisa mungkin. Sayangnya, benda itu sudah menjadi dua bagian dan berada di tangan oranglain.
"Gue nggak mau kalung ini ada di tempat yang salah."
"Maksud lo apa?"
"Lo aja nggak inget dan nggak percaya kalau yang punya kalung ini masih hidup, masih pantas lo pakai kalungnya?"
"Karena lo emang bukan Davino!!"
Lelaki itu tersenyum sinis. Ia keluar dari dalam mobilnya setelah itu membuka pintu Lamanda dan membentangkan jaketnya.
"Turun," perintah lelaki itu. Lamanda menurut dan segera turun. Ia mengusap wajah sembabnya begitu Alta memandangnya lekat.
"Balikin kalungnya," pinta Lamanda dengan tatapan memohon.
"Kalungnya bakal gue balikin kalau lo udah percaya dan emang pantas pakai kalung gue lagi."
Setelah itu ia memandangi tubuh Lamanda yang basah kuyup separuh lalu itu memberikan jaketnya begitu saja pada Lamanda.
"Lamanda, gue emang bukan Davino yang dulu," ucapnya begitu pelan, seperti bisikan.
Lamanda langsung memandangnya dengan alis berkerut.
"Gue Alta. Davino yang sekarang."