Descargar la aplicación
95.23% Istri Kecil CEO Tampan & Dingin / Chapter 80: Bab 80

Capítulo 80: Bab 80

"A-aku membunuh adikku sendiri."

"Tidak sayang. Itu bukan salahmu. Kamu bahkan baru tau faktanya hari ini. Jadi ku mohon jangan menyalahkan dirimu sendiri sayang."

Dinda menatap pak Ferdi. Beliau mengisyaratkan agar Dinda tetap berada di sisi suaminya. Sudah tentu kali ini tuan Arjun lah yang paling membutuhkan keberadaan Dinda.

----

Hari telah berganti, tuan Arjun baru bisa tertidur menjelang subuh. Setelah lelah menangis ia langsung tertidur di atas sofa.

Sementara itu pak Ferdi terus terjaga dengan Dinda mengawasi tuan Arjun yang sudah terlelap itu.

"Papa pasti ketakutan kan saat bersama orang-orang jahat itu?" tanya Dinda.

"Itu sudah nasib apa nak. Jika bisa, biarlah papa yang menanggung derita itu sampai mati. Asal keluarga kita tidak mengalami hal serupa."

"Papa harus tetap sehat. Demi mama." kata Dinda lirih.

"Mama? Bagaimana keadaannya sekarang nak?" tanya pak Ferdi.

"Mama menunggu papa. Terus menunggu kedatangan papa."

"Dimana mamamu sekarang nak?"

Dinda tersenyum pada pak Ferdi "Nanti Dinda antarkan papa kepada mama. Makanya, papa harus cepat sembuh."

"Iya nak. Papa akan semangat untuk sembuh. Demi mamamu."

"Mbak Ambar sudah mempunyai anak sekarang. Papa dan pak de sudah jadi kakek sekarang."

"Benarkah? Papa jadi tidak sabar untuk cepat-cepat berkumpul lagi dengan kalian semua."

"Papa harus cepat sehat. Tetap hidup sampai Dinda tua. Bahkan kalau bisa, sampai anak-anak Dinda dewasa nanti."

"InsyaAllah nak."

----

Dinda kembali ke kediaman bersama tuan Arjun malam harinya. Kembali sebentar agar tidak ada orang yang curiga pada mereka.

Tuan Arjun Saputra dan Dinda berpisah kembali ke tempatnya masing-masing.

"Akhirnya kau pulang juga. Sudah kencannya?" tanya Daniar.

"Sudah dong. Ini adalah kencan yang paling menyenangkan bagiku."

"Memangnya kalian kemana? Naik kapal pesiar kah?"

"Tidak juga sih. Yang jelas, itu sangat menakjubkan."

Dinda duduk di tepian ranjangnya untuk melepaskan penatnya. Membuka tapi branya dan membuka kacamata pelindung itu ke sembarangan tempat."

"Kamu itu ngawur loh. Nanti ada pengawal yang lihat bagaimana?"

"Anggap saja bonus. Lagian juga ukuran braku kecil. Mereka mana nafsu Daniar. Laki-laki itu sukanya milky yang montok. Sedangkan punyaku, kau lihat sendiri kan. Meski sering kali di tiup, tapi tidak kunjung mengembang."

"Kau kira kue. Yang di kasih fermipan langsung mengembang."

"Kayanya sih pasang silicon bagus deh. Biar milky Dinda guedhe."

"Dinda.. Astaghfirullahalazim pikiranmu kotor sekali."

"Hehehehe...."

----

Malamnya ketika Dinda hendak menemui tuan Arjun di perpustakaan. Dinda bertemu dengan Bella yang baru keluar dari perpustakaan tuan Arjun dengan menangis.

"Loh mbak Bella, mbak Bella kenapa menangis?" tanya Dinda khawatir.

"Nggak apa kok, hanya kelilipan saja. Mbak harus pergi dulu ya."

"Eh tapi mbak."

Entah mengapa Bella menghindari Dinda kali ini. Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu?

"Arjun, apa yang kau lakukan pada mbak Bella? Kenapa dia menangis?"

Tuan Arjun Saputra meletakan buku yang ia baca, kemudian menatap Dinda.

"Aku hanya bicara terus terang saja. Dan setelahnya dia menangis."

"Memangnya apa yang Arjun katakan?"

"Dia ingin pergi dari kediaman ini."

"Lagi? Bukannya kemarin kan sudah pergi bersamaku Arjun."

"Bukan keluar untuk jalan-jalan sayang. Tapi pergi yang tidak akan pernah kembali lagi."

"Maksud Arjun pamitan?"

"Ya sepertinya begitulah."

"Mbak Bella mau kemana?"

"Entahlah. Ia ingin bercerai denganku."

"Ya sudah cerai saja. Toh kalian tidak saling menyukai kan?"

"Tapi Dinda sayang. Kamu tau kan kalau aku itu paling benci perceraian. Jadi mana bisa aku menceraikannya."

"Itu namanya kamu egois Arjun. Mbak Bella punya cinta yang lain dan kamu pun juga sama. Jadi kenapa tidak berpisah saja untuk mendapatkan kebahagiaan kalian masing-masing."

"Jadi kau tidak akan marah ketika dia ingin pergi dari sini."

"Enggak, daripada kita terus mengekang. Apa salahnya sih melepaskannya dan melihat dari jauh."

"Tapi Dinda sayang...."

"Arjun, tolonglah. Biarkan mbak Bella pergi. Kasihan dia."

"Hmmmm...."

"Ayolah Arjun. Kasihan mbak Bella."

"Kau tau dia bersikap seperti itu karena seorang pria? Dia berkhianat Dinda. Aku tidak suka."

"Kau ini.... Bahkan kau sendiri tidak mencintainya kan? Lalu untuk kau menahannya jika sudah tidak bisa. Kasihan mbak Bella. Dia juga ingin punya keluarga sendiri. Hidup dengan pria yang ia cintai dan bahagia selamanya."

"Tidak bisa, dia istriku juga."

"Ya makannya mbak Bella minta cerai."

"Tapi...."

"Arjun, jangan egois begitu. Melepaskan untuk kebahagiaan seseorang itu juga pahala loh."

"Dinda sayang dengar...."

"Tapi aku tidak mau dengar. Walau kau melarangnya, Dinda akan tetap membantu mbak Bella kabur darimu."

"Astaghfirullahalazim ini bocah. Malah dukung yang nggak benar."

"Setan kecilku tunggu." seru tuan Arjun.

Namun Dinda tidak bergeming, tetap melenggang dengan santai pergi dari hadapan tuan Arjun.

"Dasar bayi besar itu kayaknya ingin jadi buaya deh. Semua wanita dia embat. Dasar Arjun buaya datar eh salah buaya darat hemmm...." gerutu Dinda.

"Gimana kalau Dinda buka peternakan buaya saja ya di sini? Hahahahah pasti seru. Apa lagi kalau buayanya ganteng-ganteng hehehehe."

"Jangan mimpi kamu ya?"

Ternyata tuan Arjun mengikuti Dinda dari belakang. Menjadi pendengar yang baik di belakangnya. Mendengar dengan jelas setiap perkataan yang keluar dari mulut Dinda.

"Aaaahh Arjun menguping."

"Mau apa? Buka peternakan buaya? Nanti juga kasih ikan piranha juga deh.."

"Enggak kok Arjun salah dengar tuh."

"Semua boleh pergi Dinda. Asalkan kau tetap stay bersamaku. "

"Semua harus pergi Arjun. Biar Dinda jadi istri satu-satunya."

Tuan Arjun tekekeh saat Dinda terus saja mengikuti gaya bicaranya. Entah siapa yang mengajarkan, kelakuan Dinda seperti tidak ada habisnya.

----

Dinda dan Daniar sedang menonton film horor malam ini Dinda yang notabene penakut itu hanya bisa menutupi wajahnya dengan bantal saat hantunya terus muncul.

"Sudah ah sudah Daniar matiin. Dinda takut."

"Ah elah, gitu saja takut."

"Daniar, nanti Dinda nggak berani tidur sendiri."

Jeddeeeer....

Nampaknya di luar tengah turun hujan yang deras. Dengan kilat yang menyambar dan guruh yang saling bersahut-sahutan.

"Daniaarrrr...."

"Sudah sudah ada aku. Tidur saja, aku akan menemanimu malam ini."

"Benar ya?"

"Iya, tidur saja. Aku ingin menghabiskan dulu film ini."

----

Dinda terbangun saat hujan sudah berhenti. Sedangkan Daniar sudah tidak ada di sampingnya.

"Daniar membohongiku. Katanya akan menemaniku di sini malam ini. Tapi kok malah nggak ada. Awas ya kau Daniar. Huh!!"

Walau hujan sudah berhenti, namun kilat masih terus menyambar. Cahaya yang sekilas ada sekilas tidak ada membuat Dinda semakin ketakutan.

"Apa aku pergi saja ke tempat Arjun ya. Ngeri sekali di sini sudah mana paviliun nya di pojok lagi."

Dinda membalut tubuhnya dengan selimut. Mengendap-endap keluar dari paviliunnya sendiri. Walaupun nyalinya ciut, Dinda terpaksa melarikan diri untuk berlari ke tempat suaminya.

Duuuuaaaaaakkkkkkk....

"Aarghh...." Dinda terjerembab tersungkur ke tanah yang basah.

"Siapa sih yang menendang kakiku?"

Namun ketika menoleh ke belakang tidak ada siapapun di sana.

"Nggak ada siapa-siapa di sini."

"Hiiii hiiii hiiii hiiii...."

Kedua mata Dinda seketika membola. Buku kuduknya berdiri ketika mendengar suara yang akrab di telinganya.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C80
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión