Descargar la aplicación
96.42% Istri Kecil CEO Tampan & Dingin / Chapter 81: Bab 81

Capítulo 81: Bab 81

"Kenapa suaranya sama seperti yang ada di film tadi."

"Aaaaaaaa Arjuuuunnnn...." Dinda yang ketakutan segera berteriak sambil berlari ke arah paviliun tuan Arjun.

"Hahahaha kau lihat itu? Dia konyol sekali bukan?"

Ternyata itu adalah Dona dan Denok yang mengerjai Dinda.

"Rasakan, itu balasan karena kenakalannya kemarin. Hampir membuatku jatuh dari kursi roda."

Dona sepertinya sangat puas membuat Dinda kalang kabut ketakutan.

"Tak ku sangka. Ternyata dia takut dengan hantu nyonya Dona." Denok menimpali.

Keduanya pun larut dalam tawa mereka di kegelapan malam.

Kraaaakkkk.... Kraaaakkkk.... Kraaaakkkk.... Kraaaakkkk....

"Suara apa itu nyonya?" tanya Denok.

"Kenapa ada suara burung gagak malam-malam begini."

"Nyonya ayo kita kembali. Denok sangat takut...." Rengek Denok.

"Kamu ini, tidak ada apa-apa. Itu hanya suara burung."

"Tapi nyonya...."

Wuuuusssshhhh...

Terlihat sangat jelas sebuah kain putih melayang di udara dan berhenti di sebuah ranting pohon.

"Aaaa nyonya...."

Denok kocar-kacir berlari ketakutan.

"Den.... Denok.... Jangan tinggalkan aku."

Tanpa sadar, Dona yang awalnya duduk di kursi roda bangkit dan berlari mengejar Denok untuk kabur.

"Hahahahahaha..."

Kali ini giliran Daniar yang tertawa. Menarik Dinda dari balik pohon.

"Lihat mana ada hantu Nyonya. Itu hanya Denok dan Nyonya Dona. Kamu ini penakut sekali. Kalau tadi aku tidak menghentikanmu berlari menghampiri tuan. Mau taruh dimana mukamu ini. Dan sekarang lihatlah badanmu kotor sekali."

"Ya bagaimana? Tadi aku jatuh di tendang mereka." kata Dinda kesal.

"Tapi apreasi perlu kamu dapatkan Dinda. Caramu menirukan suara burung gagak itu sangat menakjubkan."

"Ah kamu ini bisa saja." Dinda tersipu malu.

"Ayo kita kembali. Kamu harus mandi, badanmu kotor dan bau got."

"Ya ya ya.... Awas saja mereka. Akan aku membalasnya nanti."

"Iya iya.. Nanti saja ya balas dendamnya. Ayo cepat pulang. Ini sudah hampir jam setengah sebelas malam."

"Tapi kenapa Dona bisa berlari ya. Padahal kan kakinya sedang sakit."

"The power of kepepet. Biasalah." Kata Daniar dengan percaya diri.

"Menakjubkan sekali. Ulahmu membuat dia lebih sehat di banding sebelum di hukum oleh Arjun. Dia dulu bahkan berjalan dengan bantuan tongkat. Tapi sekarang.." Dinda bertepuk tangan untuk Daniar.

"Biasalah.... Daniar gitu loh. Hehehe.."

"Tunggu!!"

"Apa lagi Dinda?"

"Selimutku bagaimana? Itu ada di atas pohon."

"Maaf ya, sepertinya aku melemparnya terlalu kuat." Daniar menyesal.

"Hemmmm gak mau tau besok kamu ambil selimutku. Itu adalah selimut penuh kenangan tau."

"Halah apa. Selimut bau iler begitu, kenangan apanya."

"Daniaaaarrrr...."

----

"Sumpah ini sakit sekali Daniar. Aku tidak sadar kalau lututku berdarah."

"Sumpah Dinda, aku juga bosan mengobati lututmu yang terus berdarah. Baru juga mulus sudah lecet lagi. Kalau nggak lutut pasti sikutmu yang lecet."

"Iya ya.... Untungnya semua koreng itu nggak berbekas. Strong sangatlah kulitku."

"Ya iyalah. Sabun mandimu itu mahal Dinda. Sudah ada campuran Skeencare nya. Lah coba kalau kamu seperti aku, pakai sabun gif saja sudah bangga."

"Hahahaha, Daniar Daniar.."

"Tapi ajaib sih, nyonya Dona saja langsung sembuh tadi."

"Ayo taruhan, besok dia masih pakai kursi roda atau tidak."

"Nggak usah taruhan segala deh Dinda, kayak kamu punya duit saja. Kamu lupa atau bagaimana taruhan yang kemarin-kemarin saja belum kamu bayar."

Jlebb.... Perkataan Daniar seperti menembus jantungnya.

"Hehehehe jadi kamu berharap banget ya uang itu."

"Ya enggak juga sih. Cuma nyesek saja."

____

Tak terasa hari sudah menjelang pagi saja. Burung-burung pun sudah mulai beterbangan mencari sarapan. Para abdi dalem juga sudah memulai aktivitas mereka masing-masing.

Begitu pula dengan Dinda, pagi-pagi sekali dia sudah berada di depan paviliun nya. Yang tengah sibuk dengan senam aerobiknya seorang diri.

"Dinda, kamu harus nafas banyak-banyak, udaranya masih segar belum terkontaminasi bau keringat abdi dalem. Tarik nafaass.... Hembuskan.. Tarik lagi.. Hembuskan."

"Haaaahhhh.... Senang sekali rasanya paru-paru ku ini. Hehe."

Dinda merapikan rambutnya dengan mengikat kuncir kuda di belakang. Rambutnya sudah panjang itu sedikit membuatnya risih.

Dinda berlari-lari kecil mengikuti para pengawal yang juga tengah berolahraga pagi itu.

"OMG, aku sudah lama tinggal di sini. Tapi baru tahu kalau para pengawal suka lari pagi dengan telanjang dada begitu. Mana perutnya kotak-kotak lagi. Aaaahh Dinda harus ikutan lari pagi bersama dengan mereka."

Dasar Dinda, dia terlalu fokus pada tubuh kekar para pengawal yang tengah berlari santai itu.

"Mana mereka semua ganteng-ganteng lagi."

Para pengawal itu berhenti di sebuah tanah yang cukup lapang tepat di gerbang utama.

"Selamat pagi nyonya."

Dinda tidak sadar, saat kesadarannya kembali Rendi sudah berdiri di hadapannya.

Dinda memiringkan kepalanya karena pandangannya tertutup oleh tubuh Rendi yang tidak kalah kekar.

Glekkkk.. Dinda tidak sengaja melihat tubuh atletis Rendi. Meski di balut kaos tipis, tapi karena keringat yang membasahinya. Kaos itu seperti menyatu dengan kulit Rendi. Dan tidak bisa menyembunyikan tubuh indahnya.

"Bisa geser sebentar, anda menghalangi sarapan pagiku."

"Maaf sebelumnya. Nyonya harus kembali, wanita tidak boleh berada di sini."

Dinda menatap kesal Rendi yang terus saja berusaha menghalangi penglihatannya.

"Ahhhh.... Kau ini tidak suka sekali melihatku bahagia." gerutu Dinda.

"Kembalilah, atau Tuan akan marah nanti."

"Arjun? Ya ampun dia tidak akan marah loh. Ini kan cuma mengawasi saja. Kalau bisa, tolong tukar pengawal di paviliun ku dengan beberapa pengawalmu di sana. Dua saja sudah cukup kok. Kalau boleh biar aku bantu pilih."

"Maaf tidak bisa Nyonya, pengawal ini adalah pengawal khusus. Jadi tidak bisa bertugas untuk menjaga pintu."

"Kau ini tidak asyik sekali Rendi. Kaku kaya muka karyawan di tanggal tua."

"Maaf Nyonya. Lagi pula Tuan juga tidak akan mengizinkannya."

"Jadi kalau Arjun mengizinkan. Aku boleh meminta pengawalmu itu?" kata Dinda sembari terus mencuri pandang.

"Lalu setelah kamu mendapatkan pengawal itu mau di apakan?"

"Tentu saja mau menikmatinya.... Eh sayangku."

Tidak sadar, Dinda tidak tahu jika Tuan Arjun Saputra sudah berdiri di belakangnya.

Dengan gemas Tuan Arjun Saputra menarik telinga istri kecilnya itu dan kemudian membawanya pergi.

"Aaaa maaf sayang. Lepaskan dong. Malu tahu."

"Malu? Lalu tadi kamu tidak malu di sana."

"Ya, enggak lahlah. Senang malahan wlekkk."

"Dinda...."

"Hehehehe ampun. Abisnya.."

"Apa? Seksi?"

Dinda dengan cepat mengangguk.

"Mau lihat lagi?"

"Boleh?"

"Enggak lah. Lagian kamu juga sudah sering melihat yang seperti itu kan?"

"Punya siapa?"

"Suamimu ini lah."

"Apaan. Dulu itu pas awal sih iya. Tapi sekarang? Aku ingin melihat roti sobek Arjun."

"Ya sudah ayo kita ke kamar."

"Ahhhh punyamu itu bukan roti sobek lagi. Punyamu itu sudah kaya kue donat."

"Iya, nanti bikin roti sobek lagi deh."

"Hemm...."

"Sudah ayo kembali."

"Tapi...." Dinda kembali menoleh kepada para pengawal itu.

Glekkkk.... Dinda tersenyum tidak henti-hentinya memandangi mereka meski Tuan Arjun Saputra ada di sampingnya.

"Rendi, sudahi saja aktivitas anak buahmu itu."

"Baik Tuan. Ayo bubar."

Dengan sekali berteriak saja, mereka bubar saat di perintah Tuan Arjun Saputra.

Tentu saja membuat Dinda menjadi kesal dan menatap Tuan Arjun Saputra dengan wajah cemberut.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C81
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión