Selama tiga hari kami hanya berdua. Jauh dari gangguan siapapun. Luka Aryo pulih dengan cukup cepat. Entah obatnya begitu manjur ataukah sakit itu diabaikan oleh Aryo. Sesekali aku teringat Dhayu dan Papa. Aryo pun tidak tahu bagaimana kabar mereka.
Anak buah Aryo sesekali datang membawa makanan dan pakaian bersih untuk kita. Pakaianku sekarang hanyalah sepotong jarik yang kulilitkan ke tubuhku. Kain itu terasa sejuk dan ringan. Tidak seperti pakaian wanita Eropa yang sangat tidak praktis. Aku nyaman dengan itu. Aku terlihat seperti wanita inlander. Setiap hari Aryo dengan telaten menyisir dan menggelung rambutku seperti wanita-wanita Jawa. Aktifitas kami sebagai suami-istri yang hidup tenang dan bahagia, jauh dari semua masalah. Aku menyukai kehidupanku selama bersamanya. Hingga suatu hari aku mendengar berita itu.
Aku bertanya kepada pria muda anak buah Aryo tentang keadaan Papa dan Dhayu.
"Ampun, Noni, sepertinya yang Noni cari tidak selamat malam itu."
Dadaku sesak. Aku menangis karena aku kehilangan sahabatku dan orang yang menyayangiku sebagai anaknya.
Aryo menarik lenganku dan membenamkanku dalam pelukannya.
"Maafkan aku, Margaret." bisiknya diantara isakku.
"Ampun, Raden..." pria muda itu berlulut dihadapan Aryo yang tampak akan murka kepadanya.
Tunggu dulu. Aryo tidak tampak terkejut. Dia marah, tapi bukan terkejut.
"Apakah kau sudah mengetahui ini sebelumnya?" tanyaku kepadanya sebari meloloskan tubuhku dari pelukannya.
Dia mengangguk. Wajahnya tampak suram. Aryo menyembunyikannya dariku.
Aku menatapnya marah.
"Kenapa?!" bentakku.
"Maafkan aku, Margaret."
"Aku tidak ingin menyakiti mereka, tapi kondisi malam itu tidak memungkinkan....."
Kuhempaskan tangannya yang mecoba meraih lenganku.
Aku sedih dan kesal.
Kenapa dia harus menyembunyikannya dariku. Kenapa harus malam itu? Padahal Papa berencana untuk menyusul Bibi Natalia di Batavia keesokan harinya. Kenapa harus malam itu?
Aku berjalan meninggalkan Aryo yang tampak pasrah. Aku menyusuri sungai dan berhenti diatas batu besar. Aku bersedih karena kehilangan mereka. Dan yang lebih menyedihkan adalah orang yang kucintai yang menyebabkan itu semua. Dadaku sakit.
Aryo tidak jujur kepadaku. Itu hal yang menyakitkan untukku.
Aku kecewa. Baru kali ini, untuk pertama kalinya aku kecewa dengan Aryo.
Apa lagi yang disembunyikannya dariku?
Apakah itu artinya malam itu dia tahu mereka terbunuh?
Aryo hanya berdiri tanpa suara disebelahku. Dia tidak mencoba untuk membela dirinya atau melakukan apapun. Aku pun merasa canggung karena masih kecewa kepadanya. Ini bukan seperti kita ditinggal kerabat karena kecelakaan atau sakit. Tapi malam itu, kami diserang dan dibantai oleh Aryo dan kelompoknya.
Aku begidik ngeri membayangkannya. Aku berada diantara pembantaian itu. Memang aku pun paham situasi ini tidak sama. Kondisi politik dan sosial menuntut orang-orang seperti Aryo harus bertindak. Mereka muncul untuk menunjukkan kekuatannya. Tapi menyaksikannya dan bagaimana Aryo melakukannya sungguh diluar bayanganku. Aryo yang begitu lembut kepadaku bisa membunuh orang tanpa ampun.
"Margaret..." suaranya begitu lirih, nyaris aku tidak mendengarnya. "Maafkan aku..."
Berapa kali dia mengatakan maaf kepadaku. Bukan kata-kata itu yang kuinginkan.
"Margaret... Aku.." kata-katanya terputus saat aku dengan tiba-tiba berdiri diatas batu dan melompat kedalam sungai.
Aku sempat mendengar dia berteriak.
Aku hanya ingin mendinginkan kepalaku. Kepalaku terasa berat. Dan kata-kata maaf yang terus diucapkan membuatku merasa sangat tidak nyaman. Aku bingung dengan perasaanku. Aku takut. Aku pun orang asing ditanah ini. Mungkin Aryo tidak akan membunuhku. Bagaimana dengan yang lain?
Baru saja beberapa menit aku mendorong tubuhku kedalam air, sebuah tangan menangkap pinggangku dan menyeret ku keluar dari air.
"Ya Allah, Margaret... Apa kau ingin mati?" nafasnya terengah-engah dengan tubuhku dipangkuannya.
Aku hanya ingin mendinginkan kepalaku. Aku hanya berenang.
"Margaret... Jangan membuatku takut..."
Dipeluk erat tubuhku. Wajahnya dibenamkan dirambutku.
"Aku tidak mampu kehilangan dirimu.. Aku mohon."
Aku menelan ludahku. Aku masih merasa kacau dengan perasaanku.
"Aku hanya ingin berenang..." kataku pelan, pada akhirnya.
"Berenang?!" serunya "Kau melompat dengan wajah seakan kau tidak ingin kembali. Bagaimana mungkin kau bilang kau hanya ingin berenang?!"
Pelukan itu semakin erat, sampai pundakku terasa nyeri.
"Jangan membuatku takut lagi, Margaret... Aku sungguh takut kehilanganmu..."
Maaf sudah delay beberapa hari karena tugas negara yg numpuk... Meronta untuk diselesaikan ???
Happy reading.... ?