Aku menatap lekat-lekat manik legam mata Aryo. Aku menelan ludahku dalam-dalam.
Tatapannya perpaduan antara kesedihan, cinta, sekaligus putus asa.
Dulu, kupikir hidup di masa lalu akan lebih nyaman, tanpa internet, tanpa medsos. Semua lebih sederhana.
Tapi sekarang merasakan, menjadi wanita dimasa lalu bukan suatu pilihan tepat bagiku.
"Aku ingin pulang..." rengekku kepada Aryo.
"Ingin kembali ke Belanda?"
Aku menggeleng. Aku ingin kembali ke jamanku bersamamu. Kita bisa hidup bahagia disana.
"Aku ingin bersamamu. Bagiku kamu adalah tempatku pulang." jawabku. "Aku akan menunggumu...hingga waktuku berakhir."
"Kenapa kau harus berkata demikian?!" tanya Aryo tidak senang. "Aku tidak suka dengan kata 'akhir'.
"Aku pun juga tidak menyukainya." sahutku pelan.
Tapi disini menyesakkan. Kenapa harus aku yang terdampar di dunia semacam ini?
"Rumah ini, aku membelinya dari seorang mantan pegawai VOC sebelum dia lari jauh ke seberang." kata Aryo menjelaskan. "Aku yang meminta kepada Papamu untuk kemari." lanjutnya.
Pantas saja ada pakaiannya didalam kamar dan juga dia sama sekali tidak asing dengan ruang-ruang di rumah ini.
"Hmm.." Aku hanya mengangguk.
"Jagalah kesehatanmu. Dan jagalah anak kita."
Sekali lagi aku menganggukan kepalaku.
Bahkan saat seperti ini pun dia masih terlihat tampan dan penuh wibawa.
Akankah anak kita sepertinya? Aku tersenyum memikirkannya.
"Ada apa?" tanyanya melihat aku tersenyum.
"Wajahmu sangat indah."
Dia memutar bola matanya.
"Kau masih bisa bercanda?"
Aku terkekeh.
"Aku serius. Aku ingin anakku setampan dirimu."
"Atau secantik dirimu." balasnya sambil mengecup keningku. "Aku akan segera pergi. Aku tidak ingin Papamu terlibat masalah karenaku."
"Ingat! Aku menunggumu. Jangan membahayakan dirimu."
Konflik selama masa penjajahan setahuku sering terjadi. Selama aku berada disini. Belum satu kalipun aku melihat suatu peperangan.
Beruntunglah diriku.
Papa kembali bersama seorang wanita berambut pirang yang diikat tinggi dibalik topi anyamannya. Baju yang dikenakan begitu simpel. Tidak ada renda maupun pita. Mirip seorang biarawati.
Dia segera memelukku begitu melihatku. Aku membalas pelukkannya.
"Kau hamil... Ya Tuhan!" serunya dengan mulut ternganga.
Aku hanya tersenyum melihatnya.
"Kita baru tidak bertemu selama beberapa tahun saja, kenapa kau seperti melihat orang yang baru kaukenal?"
Serius, memang baru kali ini aku melihatnya. Aku hanya tahu dia bernama Natalia, selebihnya aku sama sekali tidak tahu.
"Kau sudah dewasa sekarang. Kau jadi lebih pendiam." katanya sambil menyeretku kedalam kamar yang disiapkan untuknya. Seorang pria inlander membawakan kopernya mengikuti kami.
"Taruh saja disitu! Dan tolong tutup pintunya!" perintahnya pada pria itu.
Tunggu! Aku pernah melihat pria itu di rumah Aryo.
Ya, ini adalah rumahnya. Tentu saja pelayan disini adalah orang-orangnya.
Bibi Natalia adalah orang yang berisik. Dia bercerita dan bertanya banyak hal.
" Tunggu! Seriuskah ini keponakanku yang bandel? Kenapa tidak seperti Mijn kleine Margie." ujarnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. "Kau... Kau sangat berubah... Nyaris seperti orang lain, Margie. Kau bahkan tidak ingat tentang Max, anjingmu."
"Banyak yang sudah terjadi disini, Bibi Natalia." sahutku.
Tentu saja aku tidak tahu kehidupan gadis van Jurrien ini sebelum di Batavia.
"Kau tampak tidak bahagia, Mijn kleine meisje, kenapa?" tanyanya. "Bibi disini untukmu. Itu permintaan Papamu dalam suratnya."
"Bedankt." sahutku singkat
Aku benar-benar tidak mengenalnya.
"Apa inlander itu masih mengganggumu?" tanyanya.
"Inlander? Wie?" tanyaku balik.
"Itu... Ah...siapa namanya, aku lupa. Dia yang pernah menculikmu."