Descargar la aplicación
42.7% JEJAK WAKTU / Chapter 41: BAB 40. KAMU DAN AKU

Capítulo 41: BAB 40. KAMU DAN AKU

Perutku mulai terasa lapar. Aku lihat kembali buntelan makanan yang disiapkan oleh pemilik kuda seblumnya. Ada pisang dan entah buah apa ini. Berwarna coklat berkulit keras. Aku belum pernah melihatnya di Belanda.

Pisang sudah sering aku tahu. Tapi untuk buah yang satu ini, bagaimana memakannya?

Akhirnya kuputuskan hanya memakan pisang saja.

Aku keluar dari gubuk. Ini buruk sekali kudaku hilang.

Kemana Aryo?

Bagiku gubuk ini tidak terlalu buruk. Yang membuatku merasa buruk adalah tempat ini jauh dari pemukiman penduduk. Nyaris di tengah hutan. Bisa saja hewan buas ada disini. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah aku tidak memiliki bekal makanan yang cukup untuk lebih lama disini.

Sungai didepan gubuk itu kelihatannya cukup bersih. Minimal aku tidak akan mati keharusan disini.

Aku sering melakukan kegiatan outdoor saat kuliah. Tapi tidak pernah sekalipun aku berburu. Mungkin ini saatnya aku bertahan hidup dengan berburu.

Wah, jika saja aku bisa bercerita tentang hal ini kepada teman-temanku pasti mereka tidak akan percaya.

Mengingat tentang teman-temanku, aku kembali teringat soal dukun yang pernah disebutkan oleh Dhayu.

Aku harus kembali ke Batavia. Aku ingin pulang.

Matahari sudah cukup tinggi. Udara sudah mulai terasa gerah. Kilauan air sungai tampak begitu memikat. Sudah lama aku tidak berenang.

Semoga tidak ada buaya disini. Aku jadi tertawa sendiri, mengingat film-film yang menampilkan hewan buas yang selalu berakhir tragis.

Aliran sungai itu begitu tenang. Seakan memyemangatiku untuk segera terjun kedalamnya.

Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada seorangpun disini. Aku berjalan ke tepian sungai, lalu kulepas semua pakaianku.

Well, disini tidak ada larangan bagi kaum nudist, kan? Jadi tentunya tidak masalah jika aku berenang telanjang.

Ada sebuah batu menjulang yang cukup besar ditepian sungai.

'Spot yang menarik untuk melompat.' pikirku.

Setelah memposisikan diri segera aku terjun kedalam sungai.

"Margaret!!"

Ada seseorang yang berteriak memanggilku saat aku mulai masuk kedalam air.

Ketika aku akan kembali naik ke permukaan, aku merasakan sepasang lengan yang menarik tubuhku dan membawaku ke tepian sungai. Aku tahu itu Aryo. Aku membiarkan dia mengangkat tubuhku.

"Kau gila, ya?!"

Aryo sangat marah. Aku tidak meresponnya. Mataku kupejamkan.

"Apa sebegitu inginnya kau mati?!"

Ada nada khawatir dalam suaranya.

Dia meletakkan tubuhku yang telanjang diatas pangkuannya.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku hanya diam dan tetap memejamkan mataku. Aku menikmati ini. Aryo mengkhawatirkanku. Aku bahkan harus menahan diriku agar tidak tertawa saat melihatnya begitu panik.

"Margaret! Aku mohon bangunlah."

Direngkuhnya tubuhku dengan tubuhnya.

Dia terlalu panik untuk memperhatikan aku yang sesekali sedikit membuka mataku untuk melihat ekspresinya.

Pakaiannya yang masih lengkap, basah kuyup karena berusaha menolongku.

Ditempelkannya pipinya ke pipiku.

"Margaret, aku mohon. Aku mohon bangunlah."

Dia meletakkan tubuhku pelan-pelan diatas tanah. Dia menundukkan wajahnya ke wajahku. Dia akan melakukan nafas bantuan untukku.

Begitu bibirnya yang terbuka menempel ke bibirku, segera saja aku meresponnya. Merubah upaya nafas bantuan menjadi ciuman. Dia tersentak kaget, tapi kemudian dia menikmatinya. Sudah terlalu lama aku merindukan bibirnya. Bibir tipis yang selalu memabukkanku. Kulingkarkan lenganku ke lehernya dan menariknya lebih dalam. Kami tenggelam dalam ciuman yang dalam. Lidahku segera bergerak mencari lidahnya. Kami berciuman dengan penuh kerinduan. Ciuman itu berakhir saat Aryo menarik tubuhnya. Kami sama-sama hampir kehabisan nafas.

Aryo melepas pakaian atasnya dan menutupkan ke tubuhku.

Aku tersenyum kepadanya.

Matanya menatapku dengan penuh cinta.

"Kau... Kau..."

Nafasnya masih terengah-engah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya tentang sesuatu hal.

Kemudian dia tundukkan lagi kepalanya dan mencium bibirku sekali lagi. Kali ini hanya ciuman ringan. Dia segera menarik dirinya sebelum ciuman itu menjadi lebih panas.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada kesal.

Aku tahu dia kesal karena khawatir kepadaku. Dia pasti masih teringat, bahwa pertemuan pertama kami adalah saat dia menyelamatkan aku yang tenggelam di sungai.

"Berenang." jawabku ringan.

"Kau..."

"Aku bisa berenang. Aku bahkan mahir berenang. Aku sudah pernah bilang kepadamu, bahwa aku bukan Margaret van Jurrien yang kau selamatkan di Batavia." ujarku sambil tersenyum dalam pelukannya.

Aku bangkit dan melepas pakaiannya yang ditutupkan ke tubuhku dan berlari ke sungai.

Aryo mengejarku.

"Margaret! Tunggu!" serunya. "Kau gila! Pakai pakaianmu!" teriaknya dari tepian sungai

"Aku tidak punya baju ganti lagi." jawabku dari tengah sungai.

Dan melanjutkan berenang hingga aku merasa cukup lelah.

Aryo menunggu di tepian sungai. Bajunya yang sebelumnya basah sudah hampir mengering.

"Ayolah, kamu bisa sakit jika terus berada di air!" serunya

Hatiku tertawa. Aryo masih mempedulikanku. Dia masih mencintaiku.

Aku keluar begitu saja dari air dengan tubuhku yang telanjang. Aryo segera berlari dan menutupi tubuhku dengan bajunya.

"Kenapa, sih?" tanyaku kesal. "Disini hanya ada kamu dan aku. Kenapa mesti ditutupi?" Aku mencebik kesal.

Aryo menggelengkan kepalanya.

"Noni cantik, kita bahkan ketika mandi tidak seharusnya telanjang." jelasnya sambil menyentil hidungku.

Kami berjalan menuju pondok.

"Ah, tunggu, bajuku tertinggal di dekat batu itu."

Tunjukku ke arah batu besar yang kugunakan sebagai pijakan untuk melompat ke sungai.

"Aku ambilkan, kamu masuk dulu."

Aryo membantuku mengeringkan tubuh dan rambutku. Sentuhannya begitu lembut, seakan khawatir akan membuat kulitku lecet.

Saat tangannya menyentuh perutku yang mulai membuncit, tangannya gemetar.

"Apa benar ini anakku?"

Aku mengangguk dan menyentuh jemarinya dengan tanganku. Merengkuhnya untuk melakukan mengusap perutku.

Matanya berair.

"Anakku..." suaranya lirih seakan menahan tangis.

Air mataku menetes menyaksikan pemandangan indah didepan mataku.

"Dit is onze baby, schat." ujarku sambil terisak.

(*ini anak kita, sayang)

Aryo beringsut dan memelukku.

"Maafkan aku, Margaret. Maafkan aku.."


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C41
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión