Bandara tidak seramai saat siang. Hanya beberapa orang yang terlihat berlalu lalang setelah mendarat dari penerbangannya sekarang ini. Maklum saja, sudah hampir tengah malam sekarang.
Aaron menyeret dua koper milik istri dan anaknya. Dia bersama Khan mengantar Alea dan Timothy untuk kembali ke Indonesia, sesuai jadwal. Iya, liburan telah usai, saatnya kembali ke rutinitas. Harusnya. Tapi Aaron memutuskan untuk tinggal lebih lama di Brisbane, menemani Khan dan Digta.
"Jangan ngomong apa-apa soal Troy. Oke?" sekali lagi Aaron memperingatkan istrinya. Dia tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang keadaan sahabatnya.
Alea hanya mengangguk, lalu mencium sang suami. Meski berat, dia harus merelakan sang suami menetap disini lebih lama, demi sang sahabat. Karena biar bagaimanapun, Troy punya andil yang besar dalam hidup mereka.
"Hei, Boy, jaga Mama selama Papa tidak ada. Kamu tahu Papa sayang kalian." Aaron berkata dengan penuh kasih sayang, menunggu jawaban dari Timothy.
"I love you too, Dad." lalu Timo memeluk ayahnya.
"Kabari kalau sudah sampai. Love you." kini giliran Aaron memeluk dan mencium istrinya.
"Semua baik-baik aja. Dia akan bertahan dan kembali sehat." ucap Alea, berusaha membesarkan hati suaminya.
Aaron selalu membenci perpisahan. Terlebih dengan keluarga kecilnya. Mereka tidak pernah terpisah sejauh ini. Dan yang lebih menyebalkan lagi, dia tidak tahu berapa lama mereka akan berpisah, karena Aaron tidak bisa memastikan kapan Troy akan sadar.
Ketika anak dan istrinya sudah menghilang dibalik pintu keberangkatan, Aaron menemui Khan yang masih setia menunggu. Keduanya lalu bergegas menuju rumah sakit, menemani Digta yang sendirian disana.
"Apa kamu tahu dimana Fenita?" tanya Aaron tiba-tiba.
"Saat ini beliau di Canberra, beberapa hari yang lalu Mr. Darren berkunjung kesana. Tapi tidak menemukan keberadaan beliau." jawab Khan, sedikit putus asa.
Khan tahu kalau bosnya masih menyimpan perasaan kepada Fenita. Karena hal itu tergambar jelas dimata Troy. Bagaimana kehidupan hampa itu dijalaninya setelah berpisah dari sang istri. Dan Khan harus melihat itu untuk kedua kalinya.
"Kamu tahu dimana kediaman keluarga Mayer?"
"Yes, Sir."
"Tolong jadwalkan penerbangan ke Canberra secepatnya, kita harus segera memberitahu Fenita tentang ini." kata Aaron, menjelaskan maksud dari rencananya.
Khan hanya menganggukkan kepala dan mengingat hal itu. Dia harus bergerak cepat karena apa saja bisa terjadi, bahkan dalam hitungan detik.
Pemeriksaan pagi sedang berlangsung. Seharusnya obat bius Troy sudah habis, tapi kenapa dia belum bangun juga? Pertanyaan itu menghantui ketiganya, khawatir kalau ada skenario buruk yang harus mereka hadapi.
"Kami masih memantau keadaan pasien. Ini hanya dugaan sementara, tapi kami khawatir kalau pasien kemungkinan mengalami koma." jelas Dr. Thompson kepada ketiganya.
"Jangan bercanda, Dokter, hidup teman saya dipertaruhkan disini." bentak Digta, tidak percaya dengan penjelasan sang dokter.
"Ini masih dugaan, Sir, belum final. Maka dari itu kita akan melakukan tes lagi. Memastikan semuanya sekali lagi sebelum memberikan vonis."
Rasanya sangat menyesakkan dada. Kenapa kejadian ini harus terjadi?
Memang semua hal yang terjadi atas kehendak Tuhan, dan pasti ada hikmah dibalik semuanya. Tapi rasanya ini terlalu sulit untuk dicerna.
"Aku akan mencari Fenita, dia harus tahu keadaan Troy." ucap Aaron, ketika mereka hanya duduk terdiam.
"Mungkin mudah menemukannya, tapi apa akan semudah itu membawa Fenita kesini?" nada Digta terdengar pesimis.
Fenita mungkin orang yang penurut, tapi bila dilihat, sepertinya dia juga punya sifat keras kepala. Sama seperti Troy. Dan membawa Fenita kesini akan sedikit perlu usaha ekstra bila mengingat ada seorang Mayer yang melindungi. Tentu itu harus dipikirkan juga.
"Mayer bukan orang yang mudah diajak kompromi." Digta memperingatkan. Banyak desas desus yang mengatakan bahwa Fritz Mayer, meski tampak lembut tapi juga keras.
"Aku tahu, aku akan berusaha." jawab Aaron.
Dia pernah beberapa kali berurusan dengan Fritz Mayer untuk urusan pekerjaan. Dan diakuinya, itu bukah hal yang mudah untuk bisa menyenangkan hati sang Mayer. Meski sulit menyenangkan hatinya, ada benefit besar bila kita berhasil melakukan hal itu.
"Kapan kamu berangkat?"
"Setelah hasil pemeriksa keluar."
Dua hari selanjutnya digunakan mereka untuk mulai membagi tugas. Siapa yang akan berjaga di siang hari dan malam hari. Agar mereka bisa bergantian istirahat dan tidak drop. Sebenarnya hanya Digta dan Aaron yang menjaga, karena Khan harus mem-back up pekerjaan yang ditinggalkan Troy sementara waktu ini.
"Melihat hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, kami menyimpulkan bahwa pasien mengalami koma."
Penjelasan dokter rasanya ada yang salah. Baik Aaron maupun Digta tidak mempercayai hal itu. Apa pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin? Kenapa Troy bisa koma kalau mereka sudah berusaha? Apa rencana Tuhan untuk Troy saat ini?
...
Sama seperti kebanyakan ibu hamil yang lainnya, Freya sangat bahagia dan bersyukur. Semua tenaga dan pikirannya tercurah hanya untuk bayi yang sekarang sedang tumbuh di dalam tubuhnya.
Setiap hari, dia akan didampingi oleh tenaga ahli untuk membantu Freya mengolah tubuh dan pikirannya. Bahkan terkadang Fritz akan dengan senang hati ikut. Membuat mereka seperti layaknya pasangan biasa. Siapa yang mengira, kalau mereka adalah kakak adik.
Tujuan Fritz selalu mendampingi Freya adalah supaya sang adik tetap merasa tenang dan mendapat sosok suami yang tidak ada. Dan ya, Fritz yang telah jatuh hati kepada keponakannya rela memberikan seluruh waktunya. Tanpa syarat.
Semuanya berjalan lancar dan bahagia. Tak ada gangguan ataupun masalah. Dan Freya benar-benar melupakan laki-laki yang seharusnya ada disampingnya sekarang.
"Maaf, Sir, seseorang bernama Aaron Greene ingin menemui Miss Mayer." ucap Brendan.
Sang kepala pelayan sengaja menemui Tuannya terlebih dahulu sebelum meneruskan pesan kepada sang Nona. Hal itu tak lepas dari perintah sang tuan untuk memberitahunya semua hal yang menyangkut adiknya sebelum sampai ke telinga Freya.
"Aku akan menemuinya. Jangan biarkan Freya tahu." jawab Fritz sambil bangkit dari duduknya.
Aaron Greene? Untuk apa dia mencari Freya? Apa ini ada hubungannya dengan Troy?
Meski banyak spekulasi kenapa seorang Aaron Greene datang kemari, semuanya tetap menjurus ke satu orang itu. Troy Darren. Bahkan sekarang laki-laki itu menggunakan sahabatnya untuk bisa bertemu dengan Freya.
"Mr. Greene." Fritz menyambut kedatangan tamu istimewanya.
"Mr. Mayer." dengan sikap sopan, Aaron menyalami sang tuan rumah.
Fritz menyuruh tamunya untuk duduk dengan isyarat. Yang dipahami oleh Aaron. Keduanya duduk di ruang tamu.
"Boleh saya bertemu Fenita? Ada hal yang harus saya sampaikan kepada Fenita." Aaron berusaha berterus terang. Tanpa perlu basa-basi.
"Untuk keperluan apa?"
"Troy. Ini menyangkut sahabatku."
"Maaf Mr. Greene, tapi tidak ada Fenita di rumah ini. Dan kalau menyangkut masalah dengan Mr. Darren, silahkan hubungi pengacara saya." tampak Fritz tidak mau memperpanjang pembicaraan mereka. Dia lalu bangkit dan meninggalkan ruang tamu.
"Apa begitu perlakuan kamu kepada Troy? Aku mengakui dia memang salah, tapi apa kamu tahu bahwa Fenita juga memiliki kesalahan?" Aaron sengaja meninggikan suaranya, berharap Fenita akan mendengarnya dari dalam rumah dan menemuinya.
Persetan dengan sopan santun, Aaron mulai hilang kesabaran hanya dalam waktu yang singkat. Setiap waktu yang dia lewatkan sangat berharga, terlebih menyangkut Troy.
"Terlepas dari siapa yang salah, keduanya sudah mengambil jalan masing-masing. Jadi untuk apa membahas hal itu lagi?" suara tenang Fritz terdengar, datar tanpa emosi. "Kalau tidak ada yang penting, silahkan meninggalkan rumah ini."
Fritz masuk ke dalam rumah, bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Dan Aaron yang dipandu Brendan keluar dari kediaman keluarg Mayer.
Aaron tidak langsung pergi begitu saja setelah mendapat perlakuan tidak baik. Dia yakin, cepat atau lambat Fenita akan keluar rumah. Saat itu terjadi, Aaron bisa langsung mengatakan tujuannya kepada Fenita.
Sayangnya setelah 3 hari menunggu dan memantau, tidak ada tanda-tanda Fenita menampakkan diri. Rasa putus asa mulai mendatanginya.
"Apa aku harus bertahan? Sampai kapan?" tanya Aaron melalui sambungan telepon. Disela menunggu, Aaron menelepon istrinya.
"Sabar sebentar lagi. Aku yakin Fenita akan muncul." suara Alea selalu bisa membuat Aaron merasa tenang. Meski itu hanya lewat sambungan telepon.
"I hope so."