Life must go on.
Meski sempat merasa patah hati, tapi Troy tetap bersikap profesional. Dia tetap berangkat ke kantor dan ke kampus, memberikan nilai akhir untuk para mahasiswa dan menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan. Enam bulan yang diberikan oleh Professor Kendrick untuk menjadi dosen pengganti memberikan banyak pengalaman untuknya. Meski pengalaman menyenangkan sedikit tertutup dengan pengalaman menyedihkan.
Beberapa hari setelah urusannya di kampus berakhir, Troy memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kembali ke tempat asalnya dan berkumpul dengan keluarga serta teman-temannya.
Troy berusaha bersikap biasa saja, seolah tidak pernah terjadi hal apapun selama dia berada di Canberra. Dia sengaja menghindari rumahnya. Beberapa hari dia tinggal di hotel, atau mungkin menginap di apartemen Digta. Dan juga sesedikit mungkin bertatap muka dengan sang mama karena pasti beliau akan menanyakan berbagai hal yang membuat Troy muak.
"Kalau ada masalah tuh dibicarakan, cari solusi bersama. Bukannya malah dieman gitu." Digta, yang merasa prihatin dengan keadaan sahabatnya itu, mulai bertindak.
Digta sebenarnya tidak keberatan Troy tinggal di apartemennya. Toh dia juga jarang pulang kesana karena dia masih tinggal dengan kedua orangtuanya. Yang membuat Digta merasa prihatin adalah kelakuan Troy yang tidak normal. Seperti kembali ke kebiasaannya yang dulu. Bekerja tak kenal waktu, minum minuman beralkohol, merokok dan melupakan kegiatannya untuk makan. Tapi memang dia bisa memaklumi tingkah sahabatnya itu.
Bayangkan saja,dia sudah ditinggalkan oleh dua perempuan yang disayanginya. Mereka meninggalkan Troy dengan cara yang sama, pergi begitu saja dari hidup Troy tanpa sepatah katapun. Ditambah lagi, satu perempuan yang sudah diusahakan Troy agar kembali ternyata sama saja. Atau mungkin malah perempuan itu akhirnya memiliki pasangan dengan pria lain di sana? Seperti gosip yang belakangan ini beredar, bahwa Fritz Mayer akhirnya berhasil memenangkan hati Fenita.
Tuhan, tolong jauhkan berita buruk itu dari telingan sahabatku, batin Digta putus asa.
"Apa dulu aku sering menyakiti perasaan perempuan?"
"Yah kalau diingat memang seperti itu. Tapi kebrengsekanmu sudah berakhir ketika kamu bertemu Belle." jawab Digta, sedikit aneh menyebut nama 'Bellle' lagi setelah sekian lama.
Troy kembali menegak minumannya. Dia memang terkenal kuat minum, karena batas toleransi alkohol yang tinggi. Mungkin hasil dari dia banyak meminum sejak ditinggal Belle dulu. Dan sepertinya kini dia merasa bahwa alkohol sebanyak apapun diminumnya, dia tetap merasa sadar.
"Hei, maaf telat. Anakku tidur sedikit larut malam ini." kata Aaron yang mulai mendudukkan tubuhnya disamping Troy.
"Hei, Bapak Baik kita sudah datang." sambut Troy dengan riangnya.
Mendapati sambutan semacam itu, Aaron cuma bisa menduga bahwa Troy sudah mabuk. Terlihat dari banyaknya botol vodka yang telah kosong dan berserakan di meja. Sejurus kemudian Aaron menatap Digta, berusaha mencari penjelasan. Namun Digta hanya bisa mengangkat bahunya, karena dia sendiri tidak tahu inti permasalahan Troy Darren kali ini.
"Aku merasa iri sama kalian. Kalian nggak pernah dicampakan oleh perempuan. Harga diri kalian masih utuh. Beda sama aku yang sudah dicampakan dua kali oleh perempuan. Rasanya menyebalkan. Andai mereka berdua tidak memiliki kekuatan yang berdiri dibelakang mereka, aku yakin tidak akan ada lagi yang namanya Annabelle Foster dan Fenita Miracle."
Aaron dan Digta hanyabisa saling bertukar pandang.
Memang benar, kedua perempuan yang telah mencampakan Troy memiliki laki-laki dengan kekuatan yang tak bisa diremehkan. Belle beruntung karena bisa menikahi pengusaha sukses dan penuh kekuatan seperti Mr. Hasan. Oh untuk Fenita, meski baru gosip bahwa dia dekat dengan Fritz Mayer, tapi tidak ada yang berani mengusik keluarga Mayer. Sempurna!
Aaron memang bukan laki-laki yang sempurna seperti Troy, tapi hidupnya lebih mudah daripada yang dilalui Troy. Memiliki pekerjaan sebagai pengacara yang cukup terkenal dan istri yang mandiri tampaknya cukup memuaskan. Ditambah lagi anak laki-lakinya yang berumur 3 tahun kini sedang lucu-lucunya. Itu membuat Aaron banyak bersyukur karena hidup yang begitu indah. Paling tidak untuk dirinya.
Dan Digta, meski belum memiliki istri, tapi dia adalah dokter muda yang cukup sukses. Bisa dibilang banyak perempuan tergila-gila kepadanya. Dan sekali lagi, jika dibandingkan dengan kehidupan Troy yang mewah, kehidupan Digta tidak akan mampu menyaingi Troy. Meski begitu, dia cukup bahagia dengan hidupnya, yang meski sepi perempuan, tapi setidaknya dia bisa mempelajari banyak hal tentang perempuan dari kedua sahabatnya itu.
Keduanya mengakui dan menyadari bahwa kehidupan Troy yang paling gemerlap. Keluarganya memiliki usaha yang berkembang pesat, menguasai bisnis di Indonesia. Belum lagi di beberapa negara tetangga Indonesia. Semua perempuan tentu rela bertekuk lutut dihadapan Troy agar mereka bisa mencicipi menjadi milik orang terkaya di negri ini. Itu membuat Troy dengan mudah menemukan perempuan untuk bersenang-senang. Hingga dia bertemu dengan Belle dan Fenita. Dua perempuan yang mampu membalikkan hidup Troy yang sempurna, sekarang penuh dengan nelangsa.
"Ayo pindah kamar. Lebih baik kamu tidur di kamar daripada ngomong nggak jelas." Digta dibantu Aaron dengan sabarnya memapah Troy untuk pindah ke kamar. Mengistirahatkan sahabatnya itu agar bisa kembali berpikir dengan jelas.
"Aku harap kehidupan cintamu dengan Fenita segera menemui titik terang. Dan kalian bahagia." ucap Aaron yang ikut membantu Digta memindahkan Troy.
Yah, hanya doa dan harapan yang bisa mereka ucapkan sekarang. Karena segala usaha sudah dilakukan Troy namun belum membuahkan hasil. Biarlah Tuhan ikut campur tangan kali ini.
...
Sudah beberapa hari Freya tidak enak badan. Setiap pagi dia akan muntah bahkan sebelum perutnya terisi. Benar-benar menyiksa. Ditambah lagi dia harus mulai kuliah dan bekerja.
"Gimana kalau kita ke dokter aja? You look so pale." Jovita yang menemani sahabatnya di kamar terlihat khawatir.
"Nggak, aku masih bisa berangkat ke kampus." kata Freya, berusaha bangun untuk berganti baju.
Freya merasa bahwa tubuhnya baik-baik saja, kecuali perutnya. Andai dia tidak merasakan mual yang berlebihan, mungkin dia masih bisa ikut lari marathon saat ini juga. Entah apa yang salah dengan tubuhnya kali ini. Bahkan untuk beberapa makanan pun dia akan memuntahkan kembali. Apa dia alergi?
Seperti biasa, Paul akan mengantar dan menunggui Freya selama dikampus. Dan hari ini Jovita juga akan menemaninya meski tidak ada kelas. Semua itu dilakukan karena merasa khawatir kondisi Freya akan bertambah buruk. Terlebih lagi, Fritz saat ini tidak ada di kota ini, jadi otomatis kakak Freya Mayer itu meminta Jovita untuk menjaganya.
Setelah mengikuti satu kelas, keadaan Freya tampaknya semakin memburuk. Wajahnya semakin pucat dan lemah. Membuat Jovita semakin khawatir.
"Ayo kita ke rumah sakit. Kamu harus diperiksa." bujuk Jovita sembari menarik lengan Freya.
"Nanti, setelah kelas kedua selesai oke?" akhirnya Freya menjawab. Dia tahu bagaimana kondisi tubuhnya, dan sepertinya sebentar lagi batas akhir tubuhnya bisa bertahan.
Benar saja, saat melewati koridor menuju kelas selanjutnya, tiba-tiba saja Freya jatuh pingsan. Membuat Jovita yang ada disampingnya terkaget dan berteriak. Untung saja Paul dengan sigap menangkap tubuh Freya sehingga tidak menyentuh lantai dan segera membawanya ke mobil. Jovita masih gemetaran ketika memangku Freya menuju rumah sakit. Kalau dia tidak menggigit bibirnya kuat-kuat, dia akan menangis panik. Jovita sangat berterima kasih karena Paul mau ngikuti mereka dibelakang tadi.