Rabu pagi ini Troy segera bergegas mengenakan jasnya dan mempersiapkan segala kebutuhannya untu satu hari itu. Dia harus mengajar di pagi hari, lalu mengunjungi hotel dan mengecek segala persiapan untuk acara malam minggu nanti. Meeting dengan beberapa petinggi perusahaan untuk membahas proyek baru. Hari yang sangat padat menurut Troy.
Kelas akan dimulai 15 menit lagi, tapi dia malah baru saja mengeluarkan mobil dari parkiran apartemen. Bisa dipastikan dia akan terlambat sampai di kelas. Tapi untungnya dia sudah memberitahu sang ketua kelas kalau dia akan datang terlambat. Yah meskipun sang ketua kelas tidak pernah mau menanggapi pesan ataupun panggilan yang dilakukannya, kecuali untuk kepentingan perkuliahan. Menyebalkan!
Keterlambatannya kali ini karena dia bangun kesiangan. Dia harus mengurus acara yang akan diadakannya besok Sabtu malam. Dan Troy ingin acara itu berjalan dengan lancar dan manis, karena dia menujukan acara itu untuk Fenita. Semoga saja gadis itu menyukainya dan mau meluangkan waktunya sebentar untuk Troy. Memberi kesempatan pasa Troy untuk menyalurkan kerinduannya.
Memang bisa saja dia menyerahkan tugas ini kepada sekretarisnya atau kepada Mr. Khan, tapi Troy ingin dia sendiri yang menyiapkan segala sesuatunya. Karena acara kali ini spesial.
Setengah berlari, Troy berusaha mencapai kelas secepat mungkin. Dia benar-benar tidak ingin mennjadi contoh yang buruk bagi anak didiknya yang datang terlambat, seolah tidak menghargai orang lain. Bahkan Troy tidak mempedulikan pandangan orang-orang sekitar yang memperhatikannya.
"Maaf atas keterlambatannya."
Lalu kelas dimulai setelah sesi absen. Masih membahas materi sebelumnya yang sepertinya masih belum dipahami oleh sebagian besar mahasiswanya. Tapi Troy berusaha sabar dan tekun untuk menjelaskan. Ternyata, menjadi pengajar itu memang harus memiliki stok sabar yang banyak. Selain itu juga dituntut untuk bisa kreatif.
Dua jam yang biasanya terasa lama kini terasa cepat. Itu karena banyak pertanyaan yang diajukan, membuat Troy harus memutar otak untuk menjawabnya. Diskusi dua arah ini membuat semuanya merasa relaks, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan waktu. Tahu-tahu sudah waktunya mengakhiri kelas.
"Ketua kelas, tolong daftar teman-teman yang akan datang ke acara makan malam. Aku harus menyiapkan undangan agar mereka bisa bergabung." ucap Troy, membuat Fenita menghentikan aktifitasnya.
"Yes, Sir." jawab Fenita singkat.
"Oh, apa kamu ada waktu setelah ini? Ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan."
Fenita hanya memandangi kelasnya yang kini tinggal diisi tiga orang. Dirinya, Jovita dan Troy.
Melihat Jovita yang menganggukkan kepalanya membuat Fenita sedikit khawatir, tapi pada akhirnya Fenita menganggukkan kepala sembari menjawab, "Yes, Sir."
Lagipula Fenita merasa dia tidak memiliki jawaban lain selain mengangguk 'iya'karena Jovita sendiri harus mengejar kelas selanjutnya.
"Kamu ada kelas setelah ini?" tanya Troy saat mereka berdua berjalan menuju parkiran.
"No, Sir." hanya itu jawaban Fenita. Antara 'yes' dan 'no'.
"Bagus, karena ini akan sedikit lama. Kita akan mengunjungi lokasi yang akan dipakai untuk acara besok." Troy dengan sopannya membukakan pintu mobilnya untuk Fenita. Membiarkan gadis itu masuk ke mobil.
Mobil dikemudikan menuju Commonwealth Avenue. Tak sampai 30 menit perjalanan, Troy sudaj menyerahkan kuncinya kepada petugas valet, lalu bersama Fenita memasuki hotel. Keduanya lalu dipandu oleh staff hotel untuk menuju ballroom hotel. Disana sudah ada beberapa orang yang sibuk menata meja dan menghiasi ruangan.
"Apa ruangan ini yang akan kita pakai?" akhirnya Fenita menyuarakan isi pikirannya.
"Iya. Mereka mulai mendekor hari ini." jawab Troy puas memandang ballroomyang sebentar lagi akan berubah wajah. "Aku serahkan sisanya ke kamu."
Fenita sedikit kaget dengan perkataan Troy. Apa maksudnya 'menyerahkan sisanya ke kamu'? 'Kamu' yang dimaksud apakah dirinya?
"Maaf, Sir, tapi sepertinya itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan." Fenita berusaha menolak dengan halus. Dia tidak mau menerima tanggung jawab sebesar ini, mempertaruhkan reputasi mantan suaminya.
"Oke kalau kamu nggak mau." Troy berusaha untuk tidak memaksa. Meminimalisir ketegangan diantara mereka.
Troy lalu mengajak Fenita melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka menuju taman yang ada di hotel. Hamparan rumput hijau tersaji di depan mata Fenita. Menyejukkan hati. Masih dalam diam, keduanya lalu menuju meja terdekat untuk menikmati kudapan sebelum makan siang.
"Fe, ada yang ingin aku katakan." kali ini laki-laki yang ada di depan Fenita mengubah perannya. Bukan lagi menjadi dosennya, melainkan laki-laki yang pernah mengisi hatinya beberapa tahun yang lalu.
Tak tahu harus berkata apa untuk menjawabnya, Fenita memilih untuk diam.
Perlahan tangan Troy mengenggam tangan Fenita, rasanya sungguh menenangkan. Tangan yang hanya bisa dia damba untuk disentuh, sekarang berada tepat dibawah telapak tangannya. Andai bisa menghentikan waktu, Troy akan menggenggam tangan itu selamanya.
"Aku nggak pernah mengajukan surat perceraian itu ke pengadilan."
Tidak ada petir yang menyambar meski itu dalam bayangan Fenita sekalipun. Dia hanya merasa kaget dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Troy. Laki-laki yang berusaha dia hindari setengah mati tiba-tiba saja mengatakan hal yang sulit dipercaya.
Dia tidak pernah mengajukan surat perceraian mereka? Itu tandanya mereka masih suami-istri yang sah dimata hukum dan agama? Tapi kenapa?
"Kita masih suami-istri yang sah." kata itu terucap dari mulut Troy. Seolah ingin menekankan kepada Fenita tentang fakta yang dua tahun belakangan ini tidak diketahui.
"Kamu bercanda?" suara Fenita terdengar sinis. "Tapi terima kasih untuk leluconnya." Fenita lalu bangkit dari duduknya, berusaha meninggalkan Troy disana sendirian.
"Fe, aku nggak pernah lupain kamu barang sedetikpun. Aku gila karena kamu pergi begitu aja. Aku cuma pengen kita bareng lagi kaya dulu. Maaf, aku selalu menjadi laki-laki yang egois."
Bahkan setelah mendengar pengakuan Troy, Fenita tidak menghentikan langkahnya. Dia terus berjalan menuju lobby hotel dan berusaha mencari taksi untuk mengantarkannya kembali ke rumahnya.
...
Troy tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, atau dengan Fenita. Baru saja dia mengungkapkan apa yang selama ini ingin dia beritahukan kepada istrinya itu. Berharap bahwa Fenita paling tidak akan merasa tersentuh, tapi faktanya tak seindah bayangan.
Jangankan merasa tersentuh, berhenti untuk mendengarkan apa yang dia katakan saja tidak. Apa Fenita benar-benar sudah move on dari Troy? Apa Tuan Mayer benar-benar telah memberikan apa yang selama ini tidak bisa dia berikan kepada Fenita? Satu hal yang pasti, perasaan Fenita sudah tertutup untuk Troy.
Pemikiran itu terus berkecamuk di dalam otaknya. Mengambil alih semua fungsi tubuhnya. Membuat Troy merasa akan menjadi gila bila tidak mendapat pertolongan. Pertolongan macam apa yang dia ingin dapatkan?
Jelas saja hanya satu orang yang mampu menolongnya. Bahkan penolongnya tidak memiliki gelar dokter ataupun titel lain dibidang kesehatan. Tapi memang benar, hanya orang itu yang bisa.
Entah karena jengkel atau sedih, Troy menitikkan air mata. Memalukan untuk mengakui bahwa pada akhirnya dia kalah dari seseorang yang bahkan tingginya tidak melebihi tinggi badannya. Seseorang yang bahkan tidak kuat mengangkat air galon. Seseorang yang bahkan tidak bisa mengemudikan mobil. Seseorang yang bahkan dengan mudahnya meneteskan air mata karena film sedih yang ditontonnya.
"Fe, kembali. Balik ke aku. Aku butuh kamu." tangisan yang selama ini ditahannya keluar. Dua tahun yang berat dan penuh perjuangan untuk tidak menitikkan air mata akhirnya runtuh.