Kakiku rasanya lelah sekali dan kepalaku rasanya sangat sakit karena sudah beberapa jam ini aku berjalan tanpa tentu arah setelah pertengkaranku dengan Jimin ditambah lagi dengan guyuran hujan yang sangat deras. Dan dari yang kulihat Jimin juga tak menahanku atau mencariku setelah pertengkaran itu.
Kurebahkan tubuhku pada salah satu kursi yang berada di halte yang cukup jauh dari rumah Jimin bahkan aku tak tauh sekarang aku dimana. Yang pasti kondisi tempat ini, sangat gelap dan kurang pencahayaan dan yang ada hanyalah jalanan sepi.
"Dasar Kim Sena bodoh, seharusnya kau tak mengambil keputusan bodoh seperti ini"
Ucapku pada diri sendiri sambil memukul beberapa kali kepalaku.
Bukannya aku menyesali perbuatanku karena tak bisa percaya pada Jimin. Hanya saja aku tidak mengunakan kepala dingin saat akan menyelesaikan salah pahamku dengan Jimin. Yang pasti akan berakhir seperti saat ini.
Aku hanya bisa pasrah sambil sesekali merutuki kebodohanku. Aku harus kemana?, dan dimana aku harus tinggal?. Aku bahkan tak membawa sehelai bajupun bahkan ponselku juga tertinggal di rumah Jimin.
Kurasa awal pertengkaran sepertu inilah yang bisa membuat banyak pasangan mudah bercerai. Dan kurasa sebentar lagi hal terburuk itu akan menimpah pernikahanku dengan Jimin.
Dan aku hanya bisa pasrah dan berserah pada Tuhan, Jika memang ini adalah pilihan terbaik maka aku akan merelehkan Jimin meskipun rasanya pasti akan sangat berat. Tapi apa boleh buat, Tuhan yang mengatur segalanya dan manusia hanya menjalankan sesuai dengan skenario yang Tuhan buat.
Perlahan sorot mataku mulai memudar bayangan jalan raya juga perlahan mulai mengabur dan sekarang sakit dikepalaku tambah sakit dan tubuhku perlahan melemas hingga akhirnya aku tak sadarkan diri, ditempat yang bahkan tak kuketahui.
'Jika Tuhan hanya ingin menguji kekuatan dari pernikahanku dengan Jimin melalui masalah ini, maka Tuhan sudah pasti memenangkan permainan ini karena aku sudah di pastikan kalah'
*
Perlahan mataku mulai terbuka kupengagi kepalaku yang masih terasa pusing. Mataku kemudian menatap pada selang infus yang menancap dengan sempurnah di legan kiriku.
"Aku dimana?"
Gumamku perlahan sambil memperhatikan seisi kamar yang tanpa asing ini.
Bunyi pintu yang terbuka membuatku dengan spontan menoleh. Kudapat sosok pria tinggi yang sudah bersiap rapi untuk pergi ke kantor sepertinya. Tunggu dulu kenapa wajah pria itu tanpa tak asing di mataku.
Semakin dekat pria itu dengan sosok diriku yang masih tersandar di punggung kasur maka semakin jelas pula wajah pria itu. Dan mataku seketika membulat saat melihat sosok pria yang tak terduga itu.
"Hae In?"
Gumamku tak percaya.
Tangan Hae In perlahan menyentuh keningku memeriksa kondisi tubuhku yang sepertinya mengalami demam. Buru-buru kutepis tangan Hae In itu dengan sedikit ketus.
"Jangan sentuh aku"
Kataku dengan nada dingin.
Kulihat Hae In sepertinya tidak menangapi sikap dinginku yang memang sedikit keterlaluan. Bahkan Hae In hanya tersenyum menangapi tingkahku.
"Stelah kau habiskan sarapanmu kau harus langsung minum obat"
Jelas Hae In sambil meletakan obat di atas nakas.
"Kenapa aku bisa berada disini?!"
tanyaku dengan dingin.
"Aku melihatmu pingsan ditengah jalan"
Jawab Hae In seadanya sambil memasukan kedua tangannya ke kantong celana.
Kusentuh keningku yang terasa hagat mungkin karena guyuran hujan semalam dan rasa stresku yang membuatku akhirnya sakit seperti saat ini.
Ingin rasanya aku kembali ke rumah Jimin untuk melihat kondisi Jimin saat ini. Tapi egoku terlalu tinggi, dan jika dilihat Jimin juga tak kunjung mencariku apa memang Jimin tak peduli padaku lagi? Apakah perceraian adalah hal yang diinginkan oleh Jimin?
Kupengagi kepalaku yang terasa sakit. Dan kulihat saat ini Hae In sedang menatapku dengan iba tapi entahlah aku tak terlalu peduli dengan tatapan Hae In itu. Karena sekarang aku harus memikirkan dimana nantinya aku akan tinggal dan memulai kembali kehidupanku jika memang benar nantinya aku akan berpisah dari Jimin.
"Kau bisa tinggal disini jika kau mau"
Ucap Hae In sambil menatapku lekat, spontan aku terkejut dengan ucapan Hae In barusan. Sepertinya pria ini bisa membaca pikiranku.
"Aku kasian padamu, kenapa kau masih ingin bertahan pada pria berengsek seperti Jimin?"
Tanya Hae In yang lebih mengarah pada kata-kata sindiran.
Meskipun aku masih kesal dengan Jimin atas ketidak terbukaannya padaku tapi tetap saja saat ini dan sampai sekarang Jimin masihlah berstatus sebagai suamiku dan aku tidak mau ada yang menjelekan Jimin sedikitpun.
"Jangan menilai Jimin seolah kau mengenalnya !"
Ucapku tegas dan itu berhasil membuat Hae In tersenyum sinis padaku.
"Tentu saja aku mengenalnya, lalu bagaimana denganmu?, aku ragu jika kau mengenal Jimin sepenuhnya selama 6 bulan pernikahan kalian!"
Jelas Hae In dengan tatapan penuh artinya yang tak dapat kuartikan sama sekali.
"Aku hanya ingin memperingatkan padamu, lepaskan Jimin sebelum kau terluka lebih dalam. Karena Jimin bukanlah pria yang pantas untuk mendapatkan cinta darimu!"
Ucap Hae In tegas seolah pria itu bisa meramal masa depan dari hubunganku dan Jimin.
Aku hanya bisa mendegus kesal mendegar ucapan Hae In yang semakin lama semakin tidak masuk akal lebih tepatnya semua ucapan Hae In itu memiliki maksudnya tersendiri tapi aku tak tauh apa itu.
"Apa kau musuhnya Jimin ?, karena itu kau berkata seperti itu agar semua orang yang berada disisi Jimin mulai membenci bahkan meningalkannya termasuk aku?"
Tanyaku seakan menebak sosok Hae In yang masih penuh dengan misteri.
"Bisa dikatakan peranku lebih dari seorang musuh bagi Jimin. Tapi aku tak akan membahas itu karena semuanya tidak ada gunanya karena kau tak akan percaya dengan ucapanku sebelum Jimin sendiri yang mengatakannya"
Ucap Hae In sambil mencari sesuatu di ponselnya.
"Tapi aku ragu apakah Jimin akan mengungkapkan semua kebohongannya padamu atau tidak?"
ucap Hae In lagi lalu pria itu memberikan ponselnya padaku. Di layar ponsel itu terdapat sebuah artikel yang menjelaskan tentang kesuskesan yang diraih oleh Jimin selama beberapa bulan pernikahan kami.
Mulai dari kepemilikam saham yang semakin meningkat, Keberhasilan Jimin dalam mendapatkan Pulau Nami Island, Lalu keberhasilan Jimin dalam menguasai pangsa pasar di amerika secara sepenuhnya.
Setelah kubaca semua isi artikel yang baru saja Hae In tunjukan padaku aku tak merasa ada yang aneh dari artikel itu.Aku bahkan merasa bangga dengan keberhasilan Jimim yang bisa ia raih hanya dalam beberapa bulan tepatnya pada bulan-bulan pernikahan kami.
"Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukan padaku?"
Tanyaku to de poin.
"Apa kau tidak merasa curiga dengan semua keberhasilan Jimin itu?, Bagaimana jika semua keberhasil Jimin itu ia dapatkan dari sebuah taruhan?"
Tanya Hae In dengan wajah seriusnya.
"Taruhan?"
tanyaku bingung.
Memangnya taruhan seperti apa yang Jimin lakukan?, Tapi Jimin tak mungkin melakukan semua itu kan? lagipula kenapa Jimin harus melakukan taruhan?. Dan kurasa wajar saja jika seorang pembisnis melakukan taruhan dengan kata halusnya ini lebih bisa disebut sebagai tender.
"Aku tak akan menjelaskannya padamu, karena akan lebih baik jika kau bertanya pada Jimin langsung."
Ucap Hae In sebelum akihirnya ia menyuruhku untuk menghabiskan bubur buatannya dan menyuruhku untuk meminum obat demam yang telah ia siapkan. Sebelum akhirnya Hae In melangkahkan kakinya pergi meningalkan kamar ini.
Tapi langkah kaki Hae In terhenti dan kini Hae In berbalik menatapku yang masih terpaku dengan semua ucapannya.
"Jika pada akhirnya kau akan berpisah dari Jimin, maka aku siap untuk menjadi penganti Jimin"
Unjar Hae In yang membuatku langsung menatapnya terkejut.
Apa saat ini Hae In sedang mendoakan hal terburuk dalam pernikahnku dengan Jimin?. Meskipun aku masih memiliki banyak keraguan terhadap Jimin bahkan segala hal-hal misterius mengenai Jimin aku masih berharap pada Tuhan untuk membuat pernikahanku dengam Jimin bertahan sampai kami tua bahkan sampai kami sama-sama tak bernafas lagi.
Membayangkan tentang perpisahan saja sudah membuat hatiku sakit. Bahkan saat ini aku masih bertaya-taya apakah Jimin sedang mencariku atau tidak?, dan Bagaimana kabar Jimin saat ini. Apakah Jimin sudah makan atau belum karena tipe Jimin jika tidak diingatkan untuk makan maka ia akan lupa waktu dengan pekerjaannya sendiri.
*
Langkah kakiku perlahan berjalan keluar kamar, kulihat sosok Hae In tengah sibuk dengan ipadnya. Apa semua pembisnis selalu saja sibuk dengan ipad atau leptop?. Melihat Hae In seperti itu membuatku terigat akan Jimin dan sekarang aku sangat merindukannya.
Jika saja Hae in yang kulihat saat ini adalah Jimin maka, Jimin pasti aku langsung meletakan ipad yang ia pengang lalu berjalan kearahku dan secara perlahan membawaku masuk dalam pelukannya sebelum akhirnya ia menciumku.
Jimin sangat romantis, mungkin karena itulah aku sangat jatuh cinta padanya. Tapi sekali lagi aku merutuki kebodohanku yang tidak berpikir panjang dulu sebelum aku meningalkan rumah Jimin lebih tepatnya meninggalkan Jimin sendirian.
Sorat mata Hae In kini sedang menatapku dengan lekat dan itu membuatku sedikit merasa risi. Kulangkahkan kakiku untuk mendekat kearah Hae In yang masih terududuk di sofa panjang itu. Belum sempat aku mengutarakan pikiranku pada Hae In, suara ketukan pintu membuat niatku tertunda.
Hae In berjalan kearah pintu dan sesampainya di depan pintu Hae In langsung membuka pintu itu dan menunjukan sosok wanita yang tak asing lagi di depan mataku. Bahkan wanita itu berhasil membuat hatiku kembali panas.
"Apa yang dilakukan wanita itu disini?"
Tanya Hyejin dengan sinis yang spontan kubalas dengan tatapan sinis juga.
"Apa kau berselingku dari Jimin?"
Ucap Hyejin asal tebak, sambil menyungingkan senyum sinisnya padaku.
"Jaga ucapan itu, seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu!, Apa yang kau lakukan di kantor Jimin waktu itu!, Apa kau sedang mengodanya!"
Tanyaku dengan penuh penekanan disetiap kalimat.
"Aku tidak menyangkah jika seorang pengusaha terkenal seperti dirimu ternyata begitu murahan!"
Ucapku lagi dengan nada sinis.
Bisa kulihat raut wajah kesal dan emosi yang dipancarkam oleh Hyejin saat kulontarkan kata-kata ejekan itu. Dan kurasa semua kalimatku itu tepat pada sasaran.
Saat ini tangan Hyejin tengah melanyang diudara dan bersiap untuk menamparku tapi dengan sigap Hae In langsung menahan tangan Hyejin dan menatapnya dengan wajah dingin.
"Jangan pernah menyakitinya, jika kau tak ingin aku berhenti membantumu!"
Ucap Hae In sinis lalu menghempaskan tangan Hyejin dengan kasar sehingga raut wajah Hyejin berubah menjafi kesal setengah mati.
Dengan langkah kaki kesal Hyejin pergi meninggalkan rumah Hae In. Aku bisa mendengar ocehan kasar yang masih saja terlontarkan dari mulut ketus Hyejin yang mengarah padaku.
"Kau baik-baik saja?"
tanya Hae In dengan nada kahwatir.
"Jangan peduli padaku"
ucapku seadanya sebelum akhirnya aku beranjak pergi dari rumah Hae In. Tapi tangan kekar Hae In menahanku untuk tak pergi dari rumah ini sendirian.
"Akan kuantar kemanapun kau inginkan"
Kata Hae In setelahnya ia pergi mengambil kunci mobil dan secara perlahan menarikku untuk mengikuti langkah kakinya.
*
Setelah kupikirkan mungkin ada baiknya jika aku membicarakan madalah perceraianku dengan Jimin secara baik. Karena aku tak bisa hidup seumur hidupku dengan status yang saat ini sudah tak jelas lagi akan mengarah kepada perpisahan atau malah berujung pada saling percaya.
Dan disinilah aku, berada tepat di depan pintu gerbang rumah Jimin. Rasanya berat sekali untuk kakiku melangkah memasuki rumah Jimin, tapi apa boleh buat aku harus menguatkan diriku sendiri untuk menyelesaikan masalah ini.
Karena ego tak akan pernah bisa menyelesaikan sebuah masalah, dan oleh karena itu aku akan menghilangkan egoku meskipun rasanya sakit. Selain itu ucapan Hae In ada benarnya, lebih baik berpisah sekarang dari pada aku harus semakin terluka lebih dalam atau lebih tepatnya rasa cintaku yang terlalu dalam untuk Jimin yang membuatku tak bisa melepaskannya.
"Apa kau yakin akan kembali ke rumah ini?"
tanya Hae In kahwatir.
Aku sendiri sempat binggung dengan Hae In yang terkesan begitu peduli padaku. Bahkan aku sampai sempat bertanya-tanya apakah Hae In ini memiliki perasaan padaku? bukannya aku gr atau apa aku hanya ingin mengetahui saja. Bagaimana dan sejak kapan perasaan Hae In mulai muncul untuku.
Begitupun dengan Jimin aku sangat penasaran kapan dan bagaimana caranya Jimin bisa langsung mencintaiku dan berpikir untuk menikahiku. Padahal aku dan Jimin sama-sama tak saling mengenal. Dan sampai sekarang itupun masih menjadi teka-teki bagiku dan tentunya bagi kalian juga.
"Terima kasih karena telah mengantarku"
Ucapku seadanya sebelum akhirnya aku melangkahkan kakiku menuruni mobil Hae In.
Setelahnya aku kembali melangkahkan kakiku masuk ke dalam perkarangan Jimin yang sama sekali tak terkunci oleh pagar. Jantungku rasanya berpacu lebih cepat dari biasanya. Apakah ini pertanda jika aku memang akan berpisah dari Jimin?.
Kuketuk pintu besar yang menjadi akses untuk masuk kedalam rumah Jimin. Tak perlu menunggu waktu lama, karena setelah beberapa detik kulihat sosok Bibi Sun sudah membukakan pintunya untukku. Bisa terlihat raut wajah bahagia dan sedih secara bersamaan yang dipancarkan oleh Bibi Sun.
Aku sempat binggung dengan ekspresi Bibi Sun, tapi semuanya terjawab saat kulihat kondisi rumah ini. Sungguh berantakan banyak sekali berkas-berkas kerja Jimin yang berserakan dilantai. Dan saat ini ke empat pelayan itu sedang membereskan kekacauan yang sudah dapat kutepat pelakunya.
"Dimana Jimin?"
tanyaku pada Bibi Sun yang langsung menunjuk kearah kamar Jimin.
Kulangkahkan kakiku dengan berat menuju keambang pintu kamar Jimin. Kuketuk pintu itu beberapa kali, tapi tak ada respon dari Jimin. Kutolehkan wajahku kearah Bibi Sun yang masih berdiri di belakangku.
"Tuan Jimin ada di dalam Ny."
ucap Bibi Sun dengan nada sedih.
Kubuka kenop pintu itu dengan hati-hati. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok Jimin yang saat ini tengah terbaring lemah diatas kasur dengan perban yang melakat di kepalanya serta selang infus yang menjuntai di lengan kiri Jimin.
Terutama kondisi kamar yang terlihat sangat berantakan, banyak sekali berkas kerja Jimin yang berserakan. Hatiku pilu saat melihat Jimin dengan kondisi yang tak kuketahui. Apa yang terjadi pada Jimin?.
"Se---na.....Sena"
Gumam Jimin dalam tidurnya. Aku bahkan bisa melihat air mata yang tumpah begitu saja dari mata Jimin saat ia tidur.
Kulangkahkan kakiku mendekat kearah Jimin. Sesampainya aku didekat Jimin, Hatiki kembali terasa teriris lebih dalam. Apa Jimin mengalami kecelakaan?, Tapi bagaimana bisa?.
Kusentuh luka di kening Jimin yang telah di perban dengan sempurnah. Tangiskupun tumpah membasahi kedua pipiku.
"Jimin ada apa denganmu?, kenapa kau sampai terluka seperti ini?"
tanyaku sambil menagis. Kugengam tangan Jimin yang masih saja terus memangil namaku dalam tidurnya.
Bibi Sun yang tengah mengantar segelas air kedalam kamar Jiminpun memberi tauhkan kejadian yang sebenarnya kepadamu. Bahwa Jimin mengalami kecelakaan saat ia malam-malam tanoa henti mencariku terus dan tak sengaja menabrak pembatas jalan yang menyebabkan Jimin mengalami kecelakaan seperti saat ini.
Dan untuk berkas-berkas Jimin yang berserakan dilantai tamu dan dikamar ini. Itu disebakan karena rasa stres yang dimilik oleh Jimin akibat kepergianku dan ia melampiskannya dengan bekerja tapi itu tak bisa mengembalikan rasa sakit Jimin akibat ditinggal oleh diriku.
Kulihat Jimin kini membuka matanya secara perlahan, menatapku dengan mata sayunya yang bahkan tak bisa kukihat dengan jelas.
"Sena-ah"
Panggil Jimin dengan suara lemahnya yang membuatku spontan langsung mengengam tangan Jimin erat.
"Aku disini Jimin"
kataku dengan suara yang masih bergetar.
"Kau sangat cantik bahkan saat kau menangis"
ucap Jimin sambil tersenyum tipis kearahku.
Aku tak pernah bisa mengerti sosok Jimin bahkan saat ini, Bagaimana ia bisa mengodaku saat dirinya sendiri tak sangup untuk berdiri. Dan kurasa semua misteri yang ada di Jiminlah yang membuatku tambah mencintainya.
"Sena-ah, aku minta maa....."
Ucapan Jimin terputus.
Kubungkam mulut Jimin dengan jari telunjukku saat kulihat Jimin yang sedang bersiap untuk berbicara lagi. Karena aku lebih peduli pada kesembuhan Jimin dibanding kata-kata maaf dari Jimin. Karena sejujurnya aku sudah memaafkan Jimin jauh sebelum ia meminta maaf padaku.
"Kau harus istirahat dan jangan banyak bicara"
Ucapku sedikit memerintah yang hanya dibalas senyum malaikat Jimin yang terlihat tak sama seperti dulu.
"Tetaplah disisiku"
Kata Jimin sebelum akhirnya ia memejamkan matanya untuk tidur. Tapi Jimin tak lupa mengengam erat tanganku selama ia tertidur.
Waktu kini menunjukan pukul 12 malam dan itu artinya aku sudah berada di kamar ini lebih dari 8 jam. Dan kini aku mengantuk kerebahkan kepalu diatas kasur disamping pundak Jimin. Namun niatku itu terhenti saat kurasakan belaian lembut dari tangan kekar Jimin perlahan menerpah wajahku.
Kutatap Jimin yang saat ini juga tengah menatapku. Tatapanya begitu lembut dan mampu menghipnoptisku untuk lebih lama menatapnya.
Sebelum akhirnya Jimin perlahan memposisikan dirinya untuk menyender pada dinding kasur.
"Aku merindukanmu Sena"
ucap Jimin seraya menatapku lekat sambil menyentuh lembut wajahku.
"Aku juga Jimin"
Jawabku tanpa kebohongan sama sekali.
Kini Jimin perlahan menarikku untuk ikut bersandar pada dinding kasur dan secara perlahan membawaku untuk bersandar pada pundaknya. Kurasakan jari-jari Jimin saat ini merekat sempurnah pada jari-jariku.
"Aku sangat mencintaimu istriku"
Ucap Jimin lemah sambil menatapku dengan mata sayunya sebelum akhirnya Jimin perlahan menciumku dengan lembut.
"Aku relah menukar segala harta yang kumiliki untuk bisa bersama dengamu"
Ucap Jimin lagi setelah ciuman kami usai.
"Dan tolong jangan pernah mengucapkan kata perpisahan dalam pernikahan kita. Karena aku tak tauh apakah aku masih bisa hidup jika aku tak melihatmu lagi"
Lanjut Jimin lalu kembalu meciumku lembut dan penuh perasaan.
Aku sendiri tak tauh Jimin apakah aku juga akan bisa hidup tanpa dirimu. Karena aku begitu mencintaimu dan sangat mencintaimu. Terserah apa yang akan dikatakan oleh orang tentang diriku. Karena akupun sulit untuk berpisah darimu Park Jimin.
Hai para reader Fake wedding. Gimana dengan kelanjutan ceritanya, Bagus engak? sudah bisa ketebak dengan kelanjutan ceritanya?.
Maaf ya kalau aku baru update hari ini soalnya aku ada banyak tugas kuliah kemarin. Tapu tenag aja kok kalau antusisa kalian melebihi bab sebelum ini aku janji bakalan uodate cerita selanjutnya
Terus tunjukkan antusias kalian untuk cerita ini ya. Dan kutunggu BOM COMENT, VOTE, ULASAN DAN BATU KUASANYA
LOVE YOU FULl ♡♡♡♡