Sang playboy adalah lelaki normal, namun hidupnya jauh dari kata normal....
Masa lalunya tak seindah nama dan statusnya saat ini yang diraih dengan air mata dan pengorbanan yang melelahkan.
Masa lalu menyedihkan yang membuat dirinya menjadi manusia layaknya iblis tak bermoral.
Masa lalu yang membuatnya harus membunuh hatinya sendiri di setiap waktu agar bisa bertahan demi memenuhi ambisi balas dendamnya pada orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan kecilnya dengan ibu yang disayanginya.
Terkadang, saat ia membuka mata di pagi hari, ia berharap apa yang dilaluinya saat ini hanyalah mimpi buruk belaka, sayangnya segala luka di hatinya membuatnya seperti diguyur air dingin untuk menerima kenyataan pahit itu.
Ponselnya kembali berdering.
Ia bangun, memperbaiki posisinya. Duduk bersandar pada papan kepala tempat tidur dengan satu kaki ditekuk, sementara kaki satunya diluruskan mengarah ke bagian bawah kasur, ponsel Misaki berada tak jauh dari jempol kakinya.
"Halo?" jawabnya seraya siku kanannya ditumpukan pada lutut yang ditekuk.
<Oh! Wataru-kun! Ini aku Futaba!>
"Ada apa, Futaba-san?"
<File yang sudah kujanjikan sudah terkirim, termasuk foto mengenai perempuan itu yang sempat kubicarakan beberapa saat lalu.>
Wataru terdiam.
Otaknya yang masih berdenyut sesekali oleh efek mabuk, agak kesulitan memproses informasi itu.
<Wataru?>
"Ya. Aku dengar, Futaba-san. Terima kasih."
<Eh... Wataru-kun... ada satu hal yang ingin kusampaikan.>
"Ya? Apa itu?"
<Sepertinya aku salah mengenai pekataanku yang lalu.>
"Apa maksudmu, Futaba-san?"
<Eng... ah, itu.... aku hanya sedikit kaget melihat foto perempuan itu yang sangat berbeda. Dia siapa, sih? Pacarmu, ya? Sampai menyelidiknya seperti ini? Keluargamu apa seketat itu dengan calon istrimu?>
Wataru menghela napas kasar.
"Sudah kubilang bukan!"
<Ah... baiklah. Baiklah. Tapi, apa ada permintaan lain terkait perempuan itu?>
Lelaki itu berpikir sejenak, kondisinya belum stabil untuk mengambil keputusan, jadi ia menggeleng pelan seraya berkata, "kurasa saat ini cukup."
<Ah! Syukurlah!>
Ada nada lega tak biasa dalam nada suara Futaba, ini membuat Wataru menautkan keningnya secara otomatis, tapi ia tak membahasnya lebih jauh.
Apakah ia membenaninya dengan permintaan itu di saat tengah sibuk mengurus kasus penting?
"Kalau begitu terima kasih, Futaba-san. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu yang tertunda."
<Ya. Sama-sama. Bukan masalah.>
Sesaat Wataru hendak mematikan ponselnya, Futaba buru-buru menambahkan dengan nada tak biasa setengah berseru panik.
<Wataru!>
"Ya?" sebelah keningnya naik.
<Tolong berhati-hati, ya!>
"Apa?"
Wataru diliputi keheranan hingga ia sedikit menjadi bengong.
<Ahahaha! Aku hanya ingin mengatakannya saja!>
"Jangan bicara yang aneh-aneh!"
<Maaf. Tapi, sebagai detektif dan kau yang memiliki jejak catatan sebagai asisten detektif, pastinya punya musuh di mana-mana, kan?>
"Kurasa kau terlalu berlebihan, Futaba-san. Itu sudah lama sekali."
<Ya. Aku tahu, tapi jangan remehkan rasa sakit hati orang lain dan balas dendam yang dibawanya.>
Senyum tipis muncul di bibir Wataru. Ia tahu benar apa maksudnya. Namun, saat itu, ia beraksi bukan sebagai Miyamoto Wataru ketika memecahkan kasus dan mengejar penjahat, melainkan hanya anak SMA biasa tanpa nama yang kadang muncul di TKP. Lagi pula ia hanya terlibat dengan kasus-kasus ringan semata.
"Terima kasih atas perhatianmu, Futaba-san. Aku bisa menjaga diri."
<Ya. Aku tahu itu dengan pasti. Tapi orang-orang yang kau sayangi dan cintai belum tentu demikian.>
Bibir Wataru melekat erat, ia tak punya siapa pun yang berharga di sisinya saat ini selain ibunya. Itulah salah satu tujuannya menjadi playboy, menghindari hubungan menyakitkan itu. Hubungan yang menurutnya sulit untuk bertahan dan hanya mendatangkan banyak masalah.
"Tenang saja. Tak ada yang istimewa buatku."
<Kau dingin sekali. Jangan lari dari perasaanmu sendiri, Wataru. Kau bisa menyesal nantinya.>
"Ah! Berisik!" ia menyipitkan mata tak suka.
<Kau pasti pernah menginginkan dan mencintai seseorang, kan?>
Tenggorokannya tercekat.
"Tak ada yang seperti itu."
Hatinya bimbang.
Jika dikaitkan dengan perempuan hantu itu, ia masih seperti berada dalam labirin yang luas tanpa tahu harus mengarah ke mana.
"Mainan yang menarik," celutuk Wataru tanpa sadar, dengan nada berbisik. Bibirnya tersenyum kecil.
<Apa? Mainan? Mainan apa?>
"Ah! Bukan apa-apa. Aku rasa permintaanku kali ini terlalu berat dan egois, ya? Maaf, Futaba-san. Saat ini kau pasti sibuk sekali."
<Ah... hahaha! Tidak apa-apa. Aku, kan, juga hutang budi dan nyawa padamu. Dan itu saja pesanku sebelumnya. Tolong berhati-hatilah! Apalagi kau sekarang adalah pria sukses yang sangat terkenal. Juga sangat kaya. Bisa gawat juga jika ada yang mengenalimu dari masa lalu.>
"Ya. Baiklah. Terima kasih."
<Hati-hati, ya, Wataru!>
"Iya! Berisik banget, sih!" koarnya galak.
<Hahaha! Aku tutup ya!>
"Ya..." balasnya dengan nada malas.
Pembicaraan itu pun selesai.
Wataru meletakkan ponsel dengan ogah-ogahan di sisi tempat tidur..
Suasana apartemennya sepi.
Ia menghela napas panjang, matanya menyapu seluruh ruangan yang temaram itu.
Apa yang akan selanjutnya ia lakukan?
Kepalanya masih sedikit sakit, tangan kanannya memijat dahinya sejenak. Perasaan malas dan masa bodoh merayapi hatinya.
Ia mendongakkan kepala, mengerang guna mengusir rasa sakit yang masih saja menyiksanya.
Ketika kepalanya ditegakkan, matanya melirik ke kiri bawah, ke arah kasur yang dinaikinya.
Tatapannya memelas saat ujung-ujung jemarinya menyentuh kasur tersebut, tepat di bagian ia menghempaskan tubuh Misaki dan mengintimidasinya.
Jijik? batin Wataru diselingi dengusan lemas dan dingin.
Hatinya terkoyak ketika mengingat perempuan itu pergi dengan alasan ibunya sakit, tapi apakah itu benar? Atau ia sedang menipunya? Lelaki bernama Ishida itu, apakah nama marganya atau nama pemberiannya? Ia tak bisa menebak pasti kedekatan Misaki dengan lelaki itu. Apa pun itu, Ishida sepertinya memiliki perhatian khusus baginya.
Apakah selama perempuan itu menghilang, lelaki itu juga bersamanya?
Wataru tiba-tiba merasa kesepian dan tertinggal. Hatinya menjadi dingin.
Ia benci perasaan tak berdaya yang menyerangnya saat ini, tapi kali ini hanya bisa mengalah tanpa berusaha melawan.
Tawa getirnya terlihat sekilas, kemudian ia membaringkan tubuhnya dengan posisi seperti huruf C pada bagian kasur di mana Misaki dulu berada.
Setitik kebencian memancar di matanya, tapi ada kehangatan tersembunyi yang diam-diam meluruhkan semua itu.
Ekspresinya menjadi datar.
Dengan gerakan pelan dan hati-hati, telapak kanannya menyapu permukaan kasur, hatinya merasa tertekan.
Semenjak Misaki tak sadarkan diri, ia seolah kembali pada dirinya di masa lalu. Kembali menjadi seperti orang pesakitan yang selalu bermuram durja. Bagaimana bisa ia seperti ini sekarang? Wataru tak pernah membayangkan berurusan dengan Misaki akan membuat perasaannya jungkir balik, terhempas dan terombang-ambing di lautan keraguan dan ketidakpastian. Rasanya ia seperti orang bodoh.
Perasaanya tak menentu, sungguh aneh.
Dan ketika kedua matanya menutup, ia melanjutkan tidurnya dengan mendekatkan wajahnya pada bagian kasur di mana tubuh Misaki pernah terbaring. Menekan satu sisi wajahnya di sana, dan pelan-pelan terbuai masuk ke dalam dunia mimpi.
***