Hari minggu itu sekolah tampak ramai. Tak satu pun guru yang tahu mengenai kegiatan hari ini dan Katerina sudah membujuk Pak Usman untuk merahasiakan hal itu juga.
Di depan gerbang Nita dan Nicky menjadi penerima tamu yang menunggui pintu masuk. Siapa pun yang masuk harus memasukkan uang seribu rupiah ke dalam kotak.
Mereka sangat gembira karena selain murid-murid SMP Matahari, banyak juga orang luar yang datang menonton, hasil promosi cuci mobil kemarin. Acara mereka adakan di dalam aula dengan kunci yang dipinjamkan oleh Pak Usman.
Pertama kali mereka mementaskan drama A Midsummer Night's Dream. Pagi-pagi sekali mereka telah menyiapkan setting-nya sehingga pukul 10 pertunjukan sudah bisa dimulai.
Sara dan Hery memainkan sebagian besar alat musik karena Tri dan Iko bergantian muncul di beberapa adegan sebagai pemain. Tetapi mereka cukup mahir mengambil waktu sehingga musiknya tidak ketinggalan.
Katerina menyaksikan penampilan mereka di antara penonton dan puas sekali dengan hasilnya. Bahasa Inggris yang digunakan cukup sederhana dan naskahnya diadaptasi ulang sehingga kebanyakan penonton mengerti maksudnya. Apalagi ternyata Nicky dan Neill berhasil main dengan sangat lucu sebagai tokoh-tokoh sentral dan membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Adegan terakhir, saat keenam orang desa mempertunjukkan drama mereka di hadapan pangeran, mengundang applause penonton meriah sekali. Akhirnya tibalah saat Nicky masuk panggung membawa sapu dan menutup pertunjukan.
"If we shadows have offended, think but this and all is mended..."
-Kalau kami telah menyinggung, mohon dimaafkan-
Mereka semua keluar dan membungkuk bersama.
Sara kemudian muncul dan mengangkat tangannya meredakan tepuk tangan orang-orang. "Acara belum berakhir karena setelah ini kita akan mengadakan Lelang Budak!" Anak-anak SMP Matahari bertepuk tangan gembira, sedangkan orang-orang luar tampak kebingungan. "Sementara itu buat yang lapar atau haus, kami menyediakannya di stand belakang kalian...harganya terjangkau dan oke punya."
Yang pertama naik ke atas panggung adalah Hery, ia duduk di pinggir dan memainkan harmonikanya sebagai musik pengiring.
"Maksud lelang ini adalah mencari dana untuk biaya pementasan drama kami ke Jakarta. Semua orang yang laku di sini akan menjadi budak pembelinya—eits! Cuma dalam batas-batas yang wajar, lho... misalnya diajak nemenin jalan-jalan harus mau, disuruh ngebawain barang-barang, disuruh-suruh ke kantin ato apa, kek... boleh aja! Nah orang pertama yang kami tawarkan adalah... Hendry!"
Hendry maju membawa bola Basket dan dengan keren sekali mendribblenya di panggung, lalu membungkuk pada penonton dan tersnyum manis sekali.
"Hendry ini jago olahraga, apalagi Basket, bisa diminta jadi pelatih Basket pribadi selama seminggu, atau dijadiin bodyguard karena badannya tinggi besar... disuruh ngangkat-ngangkat barang juga oke... Ada yang mo pindahan, nggak? Lumayan, lho..." Sara tertawa, "Oke... tawaran dibuka dengan lima puluh ribu!"
Seorang anak laki-laki mengangkat tangan. Wajahnya tampak tersenyum jahil.
"Ada yang menaikkan tawaran?" tanya Sara lagi.
"Enam puluh ribu!"
"Tujuh puluh ribu!"
"Tujuh puluh lima!"
Tawaran demi tawaran terus mengalir dan akhirnya Sara mengetuk palu pada penutupan seratus lima puluh ribu rupiah. Hendry terjual pada seorang anak perempuan pendiam dari kelas 2 yang tampaknya menaruh perhatian khusus padanya.
Berikutnya adalah Nita. Ia menarik banyak perhatian orang karena ia memang cantik sekali, terutama dengan kostum Titania yang masih ia pakai. Tawaran dimulai dari lima puluh ribu. Banyak sekali tawaran naik tetapi akhirnya yang mendapatkan Nita adalah sahabatnya dari kelas A.
Katerina curiga Nita sengaja menyuruh Lidya untuk membeli dirinya, malah mungkin dengan uang Nita sendiri. Hal itu membuatnya tersenyum sendiri karena teringat 10 tahun lalu Chris juga berbuat curang dengan meminta Katerina membelinya di lelang budak.
Lelang demi lelang dilakukan dan anak-anak 3C bisa puas melihat hasil penjualan yang sangat menarik. Nikita dijual paling mahal pada segerombolan cewek dari kelas 3 yang ribut sekali. Mereka segera mengerubungi tangkapannya dan mengajaknya menemani ke mal segera setelah lelang. Tapi Sara dengan tegas mengatakan pekerjaan baru dimulai esok hari di sekolah, dengan kecewa mereka mundur.
Giliran Neill tiba. Ia naik ke atas panggung dan membungkuk dengan jenaka, kali ini tampil dengan rambut panjangnya.
"Berikutnya adalah Neill... Dia adalah seorang cowok keren yang bahasa Inggrisnya jago banget, kamu bisa minta diajarin sama dia... Orangnya lucu banget dan buat kamu-kamu yang yang lagi bete lebih baik nyoba ngobrol sama dia daripada nyoba drugs, oke... Lalu..."
Belum sempat Sara menyelesaikan kata-katanya, terdengar suara seruan dari tengah penonton yang mengganggu...
"Hei..! Dia itu kan pembunuh...!!"
Semua orang terkejut memandang ke asal suara itu.
"Apa kamu bilang?" tanya Sara tajam, "Jangan coba-coba merusak acara, ya!"
"Gua ngomong bener... Gua kenal dia di Jakarta. Dia itu pembunuh! Kalo nggak percaya coba cek ke sekolahnya yang di sana..."
Sara, Katerina, dan semua orang menatap ke arah Neill, tetapi panggung sudah kosong. Anak laki-laki itu telah berlari kencang keluar aula, dan menghilang. Nikita yang terkejut sigap mengejarnya, tapi kemudian ia kembali dengan tangan hampa.
"Kamu bicara apa tadi?" tanya Katerina pada anak yang tadi berteriak, "Coba katakan dengan jelas kejadiannya...!"
Anak itu mengangkat bahu, "Di sekolahnya yang lama dia terkenal berandalan... dan dia punya musuh tetap dari geng kelas 2. Suatu kali dia ngajak anak itu ketemuan di puncak gedung sekolah dan mendorongnya jatuh... Anak itu mati setelah koma di rumah sakit seminggu... Peristiwa itu dianggap sebagai kecelakaan dan dia dibebasin tanpa tuduhan karena ayahnya punya banyak uang..."
Katerina sangat terpukul. Demikian pula anak-anak yang lain. Mereka tak pernah mengira masa lalu Neill begitu kelam di balik sikapnya yang selalu lucu dan ceria.
Acara lelang dihentikan karena masing-masing sudah tak bersemangat akibat kabar itu. Aula pun dibereskan dan orang-orang pulang.
Saat hendak menutup pintu, Katerina menemukan wig di samping aula, wig panjang yang selama ini dikiranya rambut asli Neill. Ia bahkan tak tahu bagaimana tampang asli Neill karena ia selalu menyamarkan dirinya... mungkin untuk menghindari hal seperti tadi...?
Tapi Neill, suatu saat pasti rahasia akan terungkap juga... Mengapa kau tidak jujur dari awal...?
***
Katerina berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Rio tetapi di sana telah ada dua orang polisi preman yang menunggu.
"Ibu Katerina? Saya membawa berita penting untuk anda." kata salah seorangnya. Katerina menjadi was-was.
"Berita...apa?" tanyanya.
"Orangtua dari anak yang dititipkan di depan rumah Pak Rio sudah kami temukan."
"Oh, ya? Di mana dia sekarang?"
"Ibu bayi itu memang seorang pengidap AIDS dan kemarin baru masuk rumah sakit ini dengan kondisi kritis."
Katerina menekap mulutnya terkejut, "Ba.. bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia sedang sekarat, Bu.... dan terus menerus minta bertemu dengan anaknya..."
Katerina mendesah sedih. Ia segera menelepon mamanya agar membawa Chris ke rumah sakit. "Begitu Chris tiba di sini saya akan membawanya menemui ibunya..."
"Kami akan tunggu di luar." Kedua polisi itu permisi. Tinggallah Katerina di dalam kamar Rio, duduk termenung di sisi pembaringannya dengan sedih. Ia belum berhasil menemukan Laura, dan kini Neill tiba-tiba menghilang. Akhirnya ia menangis di tangan Rio.
"Aku butuh kamu, Yo...kasih tahu aku mesti bagaimana.. Aku nggak kuat sendirian..." Ia menangis terisak-isak lama sekali. Tangan Rio sampai basah kuyup oleh airmatanya.
TOK!
TOK!
Mama dan Susan datang bersama Chris. Katerina segera membawa anak itu untuk menemui ibu kandungnya.
"Kalian tolong jaga Rio... aku mau bawa Chris sebentar." Ia menemui kedua polisi itu yang kemudian membawanya melewati lorong-lorong rumah sakit ke sebuah bangsal. Di antara tempat tidur yang berjejer di situ, terbaring seorang perempuan cantik dengan tubuh sangat kurus dan berwajah pucat. Rambutnya keriting panjang indah membalut wajahnya yang tampak kuyu.
"Ibu Donna..." panggil dokter sambil menyentuh bahu perempuan itu. pelan-pelan matanya membuka...dan menatap tepat pada Katerina yang sedang menggendong Chris.
"A.. anakku... anakku sayang... kamu baik-baik saja...?" bisiknya lemah.
Katerina mendekatkan Chris agar bisa dijangkau oleh tangannya yang lemah. "Dia baik-baik saja... Dia sehat..."
"Syu...kurlah..." Donna tidak memegang Chris, melainkan tangan Katerina,
"Tolong...jagalah...anak..saya..baik-baik... Jagalah dia...seperti anakmu sendiri..."
Katerina mengangguk pasti, "Saya berjanji."
"Te..ri..ma..kasih.." Dengan ekspresi kesakitan perempuan itu mencoba terenyum...lalu kepalanya tergolek ke samping.
Katerina membawa Chris cepat-cepat dari situ. Ia tak ingin Chris merekam kejadian itu dalam ingatannya... kejadian mengerikan saat menyaksikan ibu kandungnya meninggal di depan matanya sendiri...
Ia tidak akan mencari tahu apa pun tentang perempuan itu. Latar belakangnya, pekerjaannya, atau apa pun... Ia tidak ingin tahu, biar tak usah menceritakannya kelak bila Chris dewasa...
Itu... bila Chris bisa tumbuh dewasa...
Katerina masuk kembali ke kamar Rio dan menyerahkan Chris pada Susan. Ia menyuruh mereka pulang sementara ia sendiri akan menjagai Rio sampai malam. Sebenarnya ia mau menangis sendirian.
SURAT DARI MICHAEL
-----
Dear, Miss Katerina
Aku sangat terkejut mengetahui tentang menghilangnya Laura. Aku juga bingung karena sudah lama dia tidak mengirim surat padaku—kami berdua saling berkiriman surat sendiri, tidak melalui surat umum 3C—kurasa memang keadaan jadi berbahaya.
I'm so sorry on what happened to Rio... I hope he'll recover soon. I'm sorry too for the wedding... Kau benar, yang penting dia selamat dulu, pernikahan bisa dilakukan kapan saja.
Wow... kejadian di kelas waktu itu memang menegangkan..untunglah Sara dan Dian bertindak cepat. Semoga sukses dengan pementasannya...kalo soal nyari dana untuk biaya ke Jakarta, sih, mudah... Kalian adakan lelang saja seperti dulu. Kalo benar-benar desperado aku kirimin juga, deh...uang sakuku yang dollar kalau dirupiahin lumayan banget, lho...
Bagaimana keadaan anakmu? Kuharap semakin membaik.
Aku salut sama Sara yang main Basket bisa ngalahin laki-laki... TOP banget, deh... Aku sendiri masih ikut Basket tapi sementara berhenti karena pergelangan kakiku masih retak waktu maen skateboard—you're right. It is dangerous.
Salam buat anak-anak, ya... Suruh mereka terus menulis surat. I miss them.
----
Katerina membacanya kemudian bersiap-siap menulis balasan ketika tanda di komputer menunjukkan bahwa sebuah e-mail baru masuk. Ia mengklik dan membaca e-mail baru itu.
----
Dear, Miss Katerina
You wouldn't believe it! Pak Pos baru mengantarkan surat ke rumahku. It's from Laura! Dia bilang berhasil lolos dari ayahnya. Sekarang ia dan ibunya sedang bersembunyi di suatu tempat yang dirahasiakan. Keadaannya baik-baik saja. Sebulan pertama ia tidak berani keluar untuk memposkan surat karena itulah beritanya sangat terlambat kuterima. Dia juga tidak berani menghubungi salah satu dari kalian. Dia sudah membaca apa yang terjadi pada Rio dan menduga itu adalah perbuatan orang-orang suruhan ayahnya...
Sekarang mereka sedang mengajukan visa untuk pergi keluar negeri, rasanya Indonesia sudah tidak aman lagi. Aku hanya bisa berharap dia akan baik-baik saja dan terus menghubungiku... Aku akan menghubungi kalian juga...
----
Katerina lega sekali mengetahui Laura baik-baik saja... Memang rasanya mustahil Laura kembali pada mereka dalam kondisi seperti ini, jadi ia hanya bisa mendoakan Laura tetap berhasil menghindari ayahnya.
Mujur sekali Laura dan Michael saling mengirim surat, sehingga Katerina bisa mengetahui kabarnya.
Ah...satu masalah lagi telah terselesaikan.
Keesokan harinya Katerina memberitahu pada anak-anak 3C bahwa Laura selamat dan mereka akan terus mendengar kabarnya dari Michael. Minggu ini adalah hari-hari terakhir belajar karena minggu depan sudah ulangan umum semester ganjil, karena itu ia meminta mereka untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Neill tidak masuk sekolah. Demikian pula Nicky, hal itu membuat Katerina bertambah pusing. Akhirnya ia menemui Bu Amelia dan meminta saran.
Masalah Neill saya sudah tahu," kata beliau tenang, "Ia tidak pernah terbukti bersalah dan sebagai guru kita tidak boleh berprasangka buruk pada murid. Sebaiknya kamu coba datang ke rumahnya untuk memastikan apa yang sebenarnya yang terjadi." Bu Amelia mengeluarkan sebuah file dan mencatatkan alamat Neill dari situ, "Di Bandung ia tinggal dengan neneknya."
Katerina menerima alamat itu lalu permisi. Ia menunggu sampai sekolah usai dan mengajak Hendry, Denny, Dian, dan Sara untuk menemaninya menemui Neill. Ia berharap kehadiran mereka dapat meyakinkan Neill bahwa teman-teman sekelasnya peduli padanya. Mereka tiba di depan rumah Neill jam dua sore. Neneknya yang membuka pintu tampak sangat senang melihat kehadiran mereka.
"Wah..wah..kalian baik sekali mau datang ke sini menjenguk Neill, padahal saya belum sempat memberitahu sekolah bahwa hari ini Neill sakit dan tidak bisa masuk sekolah..."
Mereka saling pandang keheranan.
Nenek mengajak mereka naik tangga dan membawa mereka ke sebuah kamar besar bernuansa biru di ujung koridor. Saat membuka pintu mereka menemukan Neill sedang terbaring di tempat tidurnya dengan kompres di kening dan termometer di mulut.
"Hallo, Neill.." sapa Katerina sambil menghampirinya. Neill membuka mata pelan-pelan lalu tersenyum. Katerina gemas melihat bahkan di rumahnya Neill masih iseng memakai wig rambut pendeknya, menyembul dari balik kompres.
"Wah...hai, Bu...hai teman-teman. Kalian baik banget mau ngejenguk aku..." katanya ceria.
"Kamu, kok, tiba-tiba sakit, sih?" tanya Dian, "Kemarin masih sehat-sehat saja..."
"Ooh..itu ...kemarin aku janji mau menjemput nenek di stasiun jam 1...waktu lelang barulah aku ingat aku udah telat dan buru-buru pergi naik motor... Di tengah jalan hujan turun deras banget dan aku kena flu berat. Tapi gara-gara itu Nenek jadi nggak tega marahin aku..he..he..." Ia tertawa jahil.
Mereka saling pandang lagi.
"Kamu kemarin bukannya kabur karena... ada orang yang teriak itu?" tanya Sara pelan, "Orang iseng yang manggil kamu..er..pembunuh..."
Neill menggeleng keheranan, "Kenapa mesti kabur gara-gara dia? Aku, sih, nggak peduli...sudah banyak orang bersikap begitu waktu aku masih di Jakarta. Toh, kenyataannya hal itu tidak benar..."
Ganjalan di dada Katerina rasanya terlepas dan meninggalkan satu ruang yang lega, "Syukurlah kalau kamu nggak apa-apa, kami percaya sama kamu...dan selalu mendukungmu..."
"Itu harus!" seru Neill ceria.
"Kamu sudah ke dokter?" tanya Katerina lagi.
"Tadi pagi dokternya sudah datang ke sini dan aku dikasih obat banyak banget..." keluh Neill. "Aku benci dokter dan obat-obatnya..."
"Tapi kan itu demi kesehatan kamu, Neill..."
"Nggak semua penyakit bisa disembuhkan, lho, Bu..." tukas Neill cepat, "Kadang-kadang orang tetap meminum obat walaupun mereka tahu itu sia-sia..."
"Kamu ini..." Katerina memukul bahu Neill pelan, "Pokoknya kamu harus minum obat biar sehat dan minggu depan bisa ikut ujian."
"Oke."
Katerina merasa senang karena ternyata Neill baik-baik saja. Ia telah salah duga...dan kali ini ia senang telah melakukan kesalahan. Mendengar bahwa Nikita juga hari itu tidak masuk sekolah membuat Neill segera memutar nomor teleponnya dan menghubungi Nikita.
Sampai deringan terakhir telepon di ujung sana tidak juga diangkat. Neill tampak kesal sekali. "Dasar bodoh... Bodoh! Bodoh!"
"Kenapa? Ada apa dengan Nicky?" tanya Katerina khawatir.
"Entahlah..teleponnya tidak diangkat. Aku curiga dia kabur dari rumah..."
"Kabur? Kenapa?"
Neill menarik nafas panjang, "..Dia bilang tidak mau bermain drama dan memutuskan kabur sebelum pertunjukan..."
"Neill?!"
"Bohong, kok... HAHAHAHA." Neill tertawa puas sekali melihat mereka semua kuatir. "Nicky itu ngerasa nggak betah tinggal di Bandung dan dia homesick ingin pulang ke Rusia.. tapi papanya melarang. Pokoknya Nicky harus tetap di sini sesuai keinginan kakeknya."
Buyarlah semua bayangan Katerina tentang kondisi Nikita yang sebenarnya. Nikita bukanlah yatim piatu yang terpaksa tinggal bersama keluarganya dari pihak ayah yang bisa menampungnya.
"Kenapa dia harus tinggal di sini kalau dia tidak mau?" tanya Sara heran, "Dia kan bisa protes."
"Iya dia pernah bilang mau kabur dari rumah kakeknya sebagai tanda protes... biar ortunya menyesal dan membawanya kembali ke Rusia."
"Aku masih nggak ngerti..." komentar Hendry.
"Dulu...ayah Nikita bertengkar dengan kakeknya dan memutuskan hidup di Rusia selamanya. Karena itu Nikita tak pernah diajari bahasa Indonesia... Namun perselisihan itu berakhir tahun lalu saat neneknya meninggal. Beliau berpesan supaya ayah dan anak kembali rukun karena sebenarnya mereka saling menyayangi. Karena itulah, untuk menunjukkan niat baiknya, ayah Nikita menyuruhnya tinggal di sini..."
"Kamu kok tahu banyak tentang dia, Neill?" tanya Katerina keheranan. "Malah...sebenarnya saya heran kenapa kamu begitu baik mau mengajari Nicky bahasa Indonesia..."
Neill memutar-mutar bola matanya seolah berpikir keras, tetapi di bibirnya tersungging cengiran iseng, "Mmh...kenapa, ya..? Mungkin karena waktu pendaftaran murid baru dulu aku ketemu Nicky... sama adik perempuannya, Pasha, yang cantik?"
Serentak semua menggetok kepalanya dengan gemas. Neill memang tidak berubah.
"Tapi bagaimana kalau Nicky kabur beneran...?" tanya Katerina khawatir.
"Nggak apa-apa...palingan juga dia datang ke sini... Dia kan nggak bisa bahasa Indonesia dan nggak punya tujuan lain..." Neill mengangkat bahu.
Seperti ramalan yang jadi kenyataan, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dan masuklah Nicky, yang terkejut sekali melihat mereka rame-rame ada di dalam.
"Hallo, Nicky..." sapa mereka serentak. Nicky tampak sewot sekali.
"Hallo..." jawabnya kaku.
"Why didn't you come to school today?" tanya Katerina. Nicky hanya mengangkat bahu, menggumamkan sesuatu dalam bahasa Prancis. Neill tampak kesal melihatnya bersikap seperti itu.
"He, Kodok! Bu Katerina nanya kenapa kamu hari ini nggak masuk sekolah..." cetusnya. Nicky mengerutkan kening keheranan.
"Pardon - maaf?"
"She asked you, why didn't you come to school this morning - kenapa tadi kamu nggak sekolah?"
"Oh..." Nicky mengangkat bahu acuh, "Because I was sick - karena sakit?"
Serentak mereka semua menggetok kepalanya dan Nicky pun tertawa. Katerina memutuskan tidak akan bertanya lagi, karena toh ia sudah tahu jawabannya.
"Are you running away from home right now - apa kamu kabur dari rumah?" tanyanya kemudian. Nicky melotot sekejap pada Neill, tapi lalu mengangguk juga.
"Yeah...I want my dad to take me back to Russia - ya, aku ingin ayah membawaku pulang ke Rusia." keluhnya.
"Don't you like it to be here? Is Bandung not good enough for you - kamu nggak suka di sini, apa Bandung seburuk itu buatmu?" tanya Katerina sedih. Nicky menggeleng cepat-cepat.
"No... I like it here. It's fine...but..." Ia tertunduk bingung dan seketika Katerina mengerti apa yang sebenarnya dialami Nicky.
"You don't miss Russia that much, do you? You only miss your family... and you have a crazy idea that your dad is trying to dump you here forever? Is it right?"
Nicky mengangkat wajahnya putus asa, "I.. I am so afraid that he will never come back and take me..."
Katerina tersenyum dan merangkul Nicky. "Ayahmu sangat menyayangimu, Nikita... Mungkin ia menyerahkanmu tinggal bersama-sama ayahnya di Bandung untuk memberitahunya bahwa ia juga sangat menyayanginya. Mungkin ini adalah cara mereka yang tidak menggunakan kata-kata..."
"So...?'
"Kamu sayang ayahmu?" tanya Katerina tegas.
"Of course."
Tentu saja.
"Dan kalau nanti papamu sudah tua dan hidup sendirian... apakah kamu mau menemaninya?"
Nicky mengangguk, "Iya."
"Tapi bagaimana kalau kamu begitu sibuk dengan pekerjaanmu dan tak bisa berada di sampingnya...? Maukah kamu memberikan anakmu supaya bisa menemaninya? Maksudku...setidaknya selama setahun membiarkan anakmu tinggal bersamanya agar ia tidak kesepian?'
Nicky tertegun... Ia menunduk dan pelan-pelan mengangguk. Matanya meredup dan semua bisa melihat kesepiannya mulai memudar. Ia lalu berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Bla..bla..bla..." katanya dalam bahasa Rusia. Sedikit sekali yang terdengar jelas oleh Katerina, satu yang dimengertinya hanyalah kata spasibo yang berarti terima-kasih.
"Nicky... boleh kami mengantarmu pulang?" tanya Katerina sambil berjalan mengejarnya. Yang lain segera mengikutinya kecuali Neill yang terlalu lemah untuk bangun.
"Ya..ya.. tinggalin aja gua sendiri! Nggak masalah, kok...!" omelnya.
Katerina tertawa dan balik sebentar.
"Maaf, Neill.. tapi Nicky sedang dalam masalah besar, dan dia sedih... Besok kami akan datang lagi menjenguk kamu..." Ia mengambil wig dari dalam tasnya dan menaruhnya di meja. "Ini rambut kamu kemarin ketinggalan... sampai jumpa!"
"Sampai jumpa..." Neill tertawa. Ia memejamkan mata agak lama dan mendengarkan suara langkah kaki-kaki itu menjauh. Pelan-pelan ia membuka tirai jendelanya dan melongok keluar. Ia memandang keenam orang itu berjalan keluar gerbang rumahnya dengan langkah bersemangat dan wajah yang ceria.
Di rumahnya, Nikita dimarahi habis-habisan oleh kakeknya. Tanpa mempedulikan kehadiran Katerina, kakek itu mengomel terus tentang tanggung jawab dan disiplin... tetapi Nikita sama sekali tidak tampak terganggu akan hal itu.
Mungkin karena ia tidak mengerti bahasa Indonesia dengan sempurna...
"Kakekmu khawatir sekali karena kamu menghilang seharian padahal tidak pergi ke sekolah... Beliau sudah menghubungi papamu dan ia sedang mengurus tiket untuk berangkat ke sini..." kata Katerina kemudian saat kakek sudah pergi, menerjemahkan segala ucapannya tadi. Wajah Nikita tampak cerah sekali mendengarnya.
"Really? Great...!"
Katerina geleng-geleng saja.
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO